Mohon tunggu...
Abdul Mutolib
Abdul Mutolib Mohon Tunggu... Guru - Pendidik dan pegiat literasi

Penulis buku teks pembelajaran di beberapa penerbit, pegiat literasi di komunitas KALIMAT

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Presiden Jokowi Jengkel, Positifkah?

30 Juni 2020   10:59 Diperbarui: 30 Juni 2020   11:54 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Saat ini lagi trending berita "Jokowi Jengkel, kinerja menteri-menterinya biasa-biasa saja".

Hampir semua lini masa dan media maenstream mengupasnya. Pujian, optimisme, cibiran, pesimisme dan respon masa bodoh bercampur aduk dengan perspektif dan nalar masing-masing. 

Sebagian masyarakat  berusaha masa bodoh dan emang gue pikirin. Namun karena peristiwa ini terkait dengan orang nomor satu dan menyangkut persoalan yang menjadi concern orang banyak, maka tetap menyedot perhatian masyarakat luas. 

Apalagi ekspresi kejengkelan  bapak presiden kali ini sangat fulgar atau istilah para pengamat politik tidak lagi pakai high context tetapi low context. Bahkan kemarahan kali ini disertai ancaman tindakan politik dan kepemerintahan seperti pembubaran lembaga dan reshuflle kabinet. 

Jengkel sendiri secara bahasa artinya kesal atau dongkol. Jengkel atau kesal biasanya masih berupa perasaan yang disimpan dan kalau diungkapkan pun tidak bersifat fulgar. Melihat ekspresi kejengkelan Presiden Jokowi yang begitu fulgar maka sudah layak kejengkelan tersebut disebut kemarahan meskipun kemarahan yang masih terkendali. 

Gaya marah-marah dalam kepemimpinan kadang dianggap sebagai salah satu strategi  untuk menyelesaikan persoalan tertentu yang ruwet atau menghadapi sistem yang tidak jalan atau berantakan seperti yang sering  dilakukan oleh wali kota Surabaya Ibu Risma dan juga pernah dilakukan oleh Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo pada awal-awal kepemimpinannya. 

Bahkan Ahok atau Basuki Cahya Purnama identik dengan marah-marah dan ngomel-ngomel dalam kepemimpinannya ketika menjadi gubenur DKI Jakarta. Karakter marah-marah Ahok menjadi pro kontra antara masyarakat yang memberinya kredit dan yang mengkritiknya. 

Anger is not leadership skill. Marah dalam kepemimpinan bukanlah skill yang perlu dikembangkan. Bahkan seorang pemimpin harus memiliki kestabilan emosi dan tidak mengumbar amarah. Kepemimpinan yang marah-marah cenderung tidak efektif dan menurunkan produktivitas organisasi. 

Secara psikologis dan neorologis marah-marah menyebabkan ganguan kesehatan bagi orang yang marah dan yang dimarahi. 

Namun marah itu sangat manusiawi. Manusia dibekali oleh Allah berbagai potensi termasuk potensi marah. Tidak semua marah itu buruk dan merugikan. Potensi marah itu seperti potensi syahwat yang harus dikendalikan dan disalurkan secara tepat. Ketika marah disalurkan secara tepat bukan lagi  merupakan aib dan keburukan. 

Marah dalam situasi dan kadar yang tepat juga tidak merugikan bahkan mendatangkan kebaikan dan menyehatkan. Inilah yang disebut kemarahan yang wajar. 

Setiap orang wajar marah kalau harga dirinya di injak-injak. Orang beragama wajib marah kalau agamanya dinistakan. Kita harus marah terhadap tindakan kezaliman. Tapi bagaimana menyalurkannya? Di sini lah diperlukan kewarasan nalar dan kebijaksanaan. 

Pemimpin juga perlu marah kalau situasi menghendaki demikian. Teladan umat manusia Nabi Muhammad saw yang dijuluki sebagai pemimpin paling berpengaruh sepanjang sejarah juga pernah marah dalam kepemimpinan beliau. 

Nabi marah ketika sahabat merayu agar ia tak memotong tangan seorang wanita yang mencuri. Alasan mereka, ia adalah wanita terpandang dari klan Bani Makhzum, salah satu suku besar Quraisy. Nabi tegaskan, "Apakah layak aku memberikan pertolongan terhadap tindakan yang melanggar aturan Allah?" (HR. al-Bukhari dan Muslim) 

Abu Bakar khalifah pertama pengganti Rasulullah saw Juga marah kepada kaum muslimin yang enggan membayar zakat. Bahkah Abu Bakar memerangi mereka. 

Namun kemarahan yang dipercontohkan oleh Nabi dan sahabat sangat jelas untuk kemaslahatan yang besar dan bukan untuk kepentingan pribadi. 

Kalau kita menyaksikan video yang viral tetang kemarahan Presiden Jokowi, nampaknya itu adalah kemarahan yang wajar dan diperlukan. Rakyat juga merasakan ada yang kurang tepat pada jalannya pemerintahan dalam menghadapi pandemi covid selama ini. Bahkan sejumlah tokoh menganggap kemarahan presiden ini terlambat dan mestinya dikeluarkan dua atau tiga bulan yang lalu. 

Lalu, apakah presiden cukup dengan marah-marah tersebut. Tentu semua sepakat tidak cukup. Perlu langkah kepemimpinan yang kongkrit lagi  dan progresif dengan menempatkan kepentingan bangsa di atas kepentingan gologan dan status quo politik. 

Apakah hal ini akan dilakukan oleh Presiden Jokowi? Silakan Anda bisa memberikan analisa dan perspektif yang lebih mencerahkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun