Mohon tunggu...
Abdul Zahid Ilyas
Abdul Zahid Ilyas Mohon Tunggu... Dokter - Sekolah Kedokteran Hewan dan Biomedis IPB

Dosen pada Sekolah Kedokteran Hewan dan Biomedis IPB dengan Bidang Keilmuan Epidemiologi Veteriner

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Pelibatan Partisipasi Masyarakat Lokal Dalam Pengendalian Rabies

28 Juni 2023   19:50 Diperbarui: 28 Juni 2023   19:55 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rabies sebagai Ancaman Kesehatan Masyarakat   

Rabies adalah penyakit infeksi akut pada susunan saraf pusat yang disebabkan oleh virus rabies yang termasuk kedalam genus Lyssa virus, famili Rhabdoviridae (Murphy et al., 2000). Penyakit ini bersifat zoonotik, yaitu dapat ditularkan dari hewan ke manusia melalui kontak dengan air liur carrier yang terinfeksi rabies pada kulit yang terluka. Manusia yang terinfeksi rabies umumnya berakhir dengan kematian (Dietzschold et al., 2005). Organisasi kesehatan Dunia (WHO, 2012) memasukan rabies ke dalam kelompok 15 besar penyakit yang mematikan pada manusia. Setiap tahun dipekirakan korban rabies di dunia mencapai 55 ribu orang, dengan 31 ribu kematian diantaranya berada di Asia dan 24 ribu sisanya di Afrika.

Rabies telah tersebar luas di berbagai penjuru dunia dengan wilayah penyebaran semakin meningkat dari tahun ke tahun. Dari lima benua, saat ini hanya Australia yang masih dalam status bebas rabies. Indonesia merupakan salah satu dari seratus lebih negara endemis rabies di dunia. Sampai saat ini hanya delapan provinsi yang dinyatakan bebas rabies yaitu Bangka Belitung, Kepulauan Riau, Papua, Papua Barat, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Dua puluh enam provinsi lainnya masih merupakan daerah tertular rabies. Kejadian luar biasa (KLB) rabies terbaru di Indonesia dilaporkan terjadi Kabupaten Sikka dan Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur (Juni, 2023).

Penyakit rabies 98% ditularkan melalui gigitan anjing, dan 2% lainnya ditularkan melalui kucing dan kera. Selama periode 2015-2019, kasus gigitan hewan penular rabies (HPR) dilaporkan mencapai 404.306 kasus dengan 544 kematian. Angka kematian akibat Rabies di Indonesia tergolong cukup tinggi yakni 100-156 kematian per tahun, dengan Case Fatality Rate (tingkat fatalitas kasus) hampir 100 persen. Lima provinsi di Indonesia dengan jumlah kematian manusia tertinggi saat ini adalah Sulawesi Utara, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, Sumatera Utara, dan Nusa Tenggara Timur. Hal ini menggambarkan bahwa rabies masih jadi ancaman serius bagi kesehatan masyarakat (Kemenkes 2019).

Strategi dan Kendala Pengendalian Rabies  

Indonesia bersama negara-negara endemik lainnya menargetkan bebas rabies pada tahun 2030 (Zero by 30). Strategi pengendalian rabies yang selama ini dilakukan meliputi kegiatan KIE (Komunikasi, Informasi dan Edukasi), vaksinasi, surveilans dan pelaporan, tatalaksana kasus gigitan terpadu, dan pengendalian populasi anjing. Namun upaya tersebut hingga saat ini belum memberikan hasil yang maksimal untuk mencapai eliminasi rabies di Indonesia.  Beberapa kendala yang dihadapi dalam pengendalian rabies di Indonesia adalah (1) terbatasnya sumber daya manusia di lapangan untuk membantu dinas terkait dalam pengendalian rabies, (2) kerjasama lintas kementrian/dinas terkait belum optimal (3) kesulitan dalam monitoring dan pengendalian pergerakan anjing, (4) banyak daerah yang merupakan remote area, (5) perbedaan sosial budaya antar wilayah dalam pemeliharaan anjing, dan (6) rendahnya kesadaran dan partisipasi masyarakat dan tentang penyakit rabies.

Untuk mengatasi berbagai kendala tersebut, maka pelibatan partisipasi masyarakat lokal menjadi sangat penting, dan diharapkan dapat mengakselerasi dan mengoptimalkan program pengendalian rabies di lapangan.

Pembentukan Kader Siaga Rabies (Kasira)

Upaya pelibatan partisipasi masyakat dapat dilakukan melalui upaya pembentukan Kader Siaga Rabies (Kasira) di setiap wilayah endemik rabies yang ada di Indonesia. Kasira adalah tenaga sukarela dengan kriteria tertentu yang berada di setiap desa, dipilih oleh dan dari masyarakat lokal, yang memiliki tugas membantu dinas terkait dalam kegiatan pengendalian rabies di lapangan. SDM Kasira berasal dari unsur masyarakat lokal seperti pemburu, posyandu, aparat desa, atau unsur lainnya sesuai dengan kebutuhan dan kondisi spesifik lokasi. Tujuan pembentukan Kasira adalah untuk membangun partisipasi aktif dan tanggung jawab masyarakat dalam kegiatan pengendalian rabies, sehingga dapat mempercepat terwujudnya keberhasilan pengendalian penyakit tersebut.

Tugas utama Kasira adalah membantu dinas terkait dalam melakukan kegiatan KIE (Komunikasi, Informasi, Edukasi) kepada masyarakat; mengkoordinasikan dan menggerakkan masyarakat; melakukan pelaporan kasus diduga rabies yang terjadi di lapangan; membantu dinas dalam kegiatan penanganan anjing, teknis pengobatan dan vaksinasi, serta pengendalian populasi anjing, dan; melakukan tindakan pertama dalam penanganan kasus gigitan di lapangan baik terhadap Hewan Penular Rabies (HPR) penggigit maupun korban gigitannya (manusia).

Untuk dapat melaksanakan tugas tersebut, Kasira haruslah terlatih dengan baik dan memiliki kompetensi memadai. Kompetensi Kasira dapat dibangun melalui kegiatan pelatihan yang dirancang sesuai tujuan yang diharapkan dan memiliki relevansi dengan tugas kader di lapangan. Materi pokok pelatihan yang perlu diberikan meliputi pengenalan penyakit rabies, manfaat vaksinasi dan pengobatan anjing, penanganan pertama kasus gigitan HPR di lapangan, pengenalan perilaku dan dan teknik penanganan anjing, pelaporan kasus gigitan HPR, pengendalian populasi anjing, teknik penyuluhan, konsep pendidikan orang dewasa, dan kepemimpinan kader (local community leadership). Melalui kegiatan pelatihan ini diharapkan kader memiliki pengetahuan, sikap positif dan keterampilan yang memadai dalam membantu kegiatan pengendalian rabies di lapangan.

Penguatan Kapasitas Kasira

Selain aspek kompetensi, kapasitas kader juga harus dibangun agar mereka dapat melaksanakan tugasnya secara optimal. Penguatan kapasitas Kasira dapat dilakukan dengan pembentukan kelembagaan kader, penyediaan SOP (Standart Operating Procedur) pengendalian rabies, media KIE dan keberadaan lembaga pembina kasira.

Kelembagaan Kasira adalah lembaga lokal yang dibentuk di tingkat kecamatan yang menjadi induk organisasi kader yang ada di setiap desa. SDM lembaga ini meliputi perwakilan dari unit pelaksana teknis Dinas Peternakan atau Dinas yang membawahi fungsi peternakan dan kesehatan hewan yang ada di kecamatan (disebut UPTD) atau Puskeswan (Pusat Kesehatan Hewan), Puskesmas, pemburu/pemilik anjing, posyandu, dan aparat kecamatan setempat. Tugas lembaga ini antara lain melakukan koordinasi dan fasilitasi kegiatan Kasira, melakukan komunikasi dan koordinasi dengan lembaga pembina Kasira, melaporkan kasus rabies ke dinas terkait, serta merancang dan mengusulkan kegiatan spesifik lokal terkait pengendalian rabies di lapangan. Selain itu, lembaga ini dapat berperan dalam mengoordinasikan dan mensinergikan program pengendalian rabies antar dua dinas terkait yang ada di tingkat kabupaten/kota, yakni Dinas Peternakan/Dinas yang membidangi fungsi peternakan dan kesehatan hewan, dan Dinas Kesehatan, sehingga pendekatan One Health dalam pengendalian penyakit tersebut dapat diimplementasikan di lapangan.

Selain pembentukan kelembagaan lokal di tingkat kecamatan, penguatan kapasitas Kasira harus didukung oleh adanya lembaga pembina terutama Dinas Peternakan/Dinas yang membidangi fungsi peternakan dan kesehatan hewan, Dinas Kesehatan, dan Perguruan Tinggi terkait. Dua lembaga pembina yang disebutkan pertama memiliki peran sangat penting dalam melakukan pembinaan dan pendampingan kader secara berkelanjutan dan memberikan respon atas laporan yang disampaikan kader. Sedangkan Perguruan Tinggi dapat berperan memperkuat kapasitas Kasira dalam pengendalian penyakit rabies melalui kegiatan penelitian, pelatihan, Kuliah Kerja Nyata (KKN), praktek lapang mahasiswa, serta kegiatan pengabdian masyarakat lainnya. Dengan peran aktif dan sinergi ketiga lembaga pembina tersebut dalam pembinaan Kasira diharapkan kapasitas kader akan mengalami perbaikan terus menerus (continuous improvement), serta komitmen dan motivasinya tetap terjaga dengan baik, sehingga mereka dapat melaksanakan tugasnya di lapangan secara optimal.

Selain aspek kelembagaan, untuk memperkuat kapasitas Kasira dalam pelaksanaan kegiatan KIE kepada masyarakat perlu disediakan Media KIE yang tepat. Pemilihan media KIE harus disesuaikan dengan karakteristik sasaran (umur, tingkat pendidikan, pengalaman, dan aspek sosio-kultur lainnya) dan tujuan yang hendak dicapai. Tujuan KIE yang bersifat informatif tentu memerlukan dukungan media yang berbeda dengan tujuan tujuan yang bersifat persuasif. Selain itu, pesan yang disampaikan dalam Media KIE harus disajikan secara lugas, menarik, dan komunikatif, sehingga mudah dimengerti oleh sasaran. Media KIE yang disediakan bisa dalam bentuk leaflet, poster, banner, slide, permainan edukatif dan sebagainya.

Penguatan kapasitas Kasira juga perlu dilengkapi dengan SOP Pengendalian Rabies yang mudah dipahami dan praktis diimplentasikan oleh kader di lapangan. SOP yang perlu disediakan meliputi SOP tatalaksana kasus gigitan terpadu, pengendalian populasi anjing, registrasi anjing, surveilans dan pelaporan, tata cara pemeliharaan anjing, dan SOP lain sesuai kebutuhan spesifik lokasi. SOP ini akan menjadi rujukan bagi kader, sehingga mereka dapat melaksanakan tugasnya dengan benar dan sesuai target yang diharapkan.

Kasira sebagai Ujung Tombak Pengendalian Rabies

Sebagai ujung tombak dalam pengendalian rabies di lapangan, keberadaan Kasira ini memiliki peran amat penting dalam menjembatani antara petugas dinas terkait dengan masyarakat; membangun partisipasi aktif dan kemampuan lokal; mendorong perilaku pemeliharaan Hewan HPR yang sehat dan aman bagi masyarakat dan lingkungan; memberikan informasi sedini mungkin kasus rabies yang terjadi di lapangan sehingga dapat direspon oleh petugas dinas terkait secara cepat dan tepat. Dengan demikian kehadiran kader terlatih ini sekaligus dapat memperkuat kapasitas dan kemampuan dinas terkait dalam melaksanakan program pengendalian rabies di lapangan.

Indikator Keberhasilan Implementasi Kasira

Indikator keberhasilan program implementasi Kasira tentu saja perlu ditetapkan sejak awal kegiatan. Hal ini penting agar sasaran capaian program menjadi jelas dan terukur, serta memudahkan dalam proses monitoring dan evaluasi. Keberhasilan implementasi Kasira di wilayah endemik rabies dapat diukur melalui beberapa indiator berikut: 1) peningkatan kapasitas Kasira, 2) peningkatan kecepatan pelaporan kasus gigitan, 3) peningkatan kecepatan respon terhadap kasus gigitan, 4) penurunan kasus gigitan HPR, 5) peningkatan kapasitas surveilans rabies, 6) peningkatan cakupan vaksinasi, 7) peningkatan pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat dalam pengendalian rabies, 8) ketersediaan data populasi anjing yang mutakhir di tiap desa, dan 9) penurunan kasus rabies pada HPR dan manusia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun