Tinggal di Wajo
Judul: Pemilu 1955 di Sulawesi Selatan/Tenggara (Berebut Suara di Daerah Konflik. Strategi dan Pertarungan Ideologi Partai-partai Politik)
Penulis: Idwar Anwar
Tata Letak/Desain Grafis: Sawerigading Art
Penerbit: Pustaka Sawerigading (Anggota IKAPI)
Cetakan Pertama: Desember
DALAM buku-buku sejarah dan artikel-artikel yang kita baca selalu disebutkan bahwa Pemilu 1955 adalah "pemilu paling demokratis" yang pernah digelar di negeri kita.
Walau hanya berfokus pada Dapil Sulawesi Selatan/Tenggara atau Dapil XII, Idwar Anwar membantah teori tersebut dengan penelusuran pustaka yang dilakukannya.
Pemilu dwitahap memilih anggota DPR dan anggota Konstituante di zona merah Sulselra (Sulawesi Selatan Tenggara) kala itu diwarnai berbagai peristiwa terutama Pemberontakan Kahar Muzakkar yang mengganggu pemilu.
Buku ini menyajikan bukti dan referensi berupa hasutan-hasutan yang berlangsung sebelum Pemilu 1955.
Kendala awal yang dialami penyelenggara pemilu kala itu adalah wilayah-wilayah yang sulit dijangkau oleh penyelenggara pemilu.
Disebutkan bahwa pada Pemilu 1955 pada masa Orde Lama terdapat tiga macam peserta pemilu yakni partai, ormas, dan perorangan. Jadi ketiganya bersaing satu sama lain. Juga disebutkan bahwa pegawai pemerintah dapat bergabung pada salah satu partai politik. Bandingkan dengan dewasa ini di mana ASN (PNS/PPPK) tiada boleh bergabung dalam partai politik.
Bandingkan dengan pemilu-pemilu Orde Baru yang pesertanya hanya partai. Dewasa ini pemilu-pemilu era Reformasi pesertanya partai, tetapi mereka bersaing antarpartai. Calon perorangan atau calon senator bersaing antarperorangan, tidak seperti pada Pemilu 1955.
Teror para pemberontak benar-benar mengganggu pemilu hingga persentase kehadiran pemilih sangat rendah.
Buku ini menyajikan pertarungan ideologi antarpartai yang keras misalnya antara Masyumi, PKI, dan PNI.
Buku ini menggolongkan tiga kelompok partai peserta Pemilu 1955 yakni golongan keagamaan, golongan kebangsaan, dan golongan sosialisme/komunisme.
Dari buku ini juga kita mendapatkan referensi literasi geografis zaman awal kemerdekaan dengan kabupaten-kabupaten yang sering disebut seperti Kabupaten Makassar, Kabupaten Bonthain, Kabupaten Parepare, Kabupaten Mandar, Kabupaten Bone, dan beberapa nama geografis lainnya termasuk Kabupaten Sulawesi Tenggara.
Teror, penculikan, perang gerilya mewarnai masa-masa jelang Pemilu 1955. Persiapannya pun tergolong lama. Pemilu 1955 digelar 10 tahun pascaproklamasi kemerdekaan RI.
Pemilu 1955 diwarnai propaganda, agitasi, dan hasutan jelang pemilu! Di dalam buku ini kita memperoleh keterangan bahwa Partai Komunis Indonesia (PKI) tidak mempunyai kepengurusan di Wajo. Saya sebagai orang Wajo mencoba menelusuri dalam buku ini sekiranya siapa nama-nama pengurus PKI di Wajo kala itu. Tak ada referensi.
Buku ini ditulis berbasis penelusuran pustaka berupa buku, koran, jurnal, dan majalah dari berbagai tempat. Ada juga wawancara kepada pelaku sejarah yang masih hidup.
Buku ini wajib dibaca oleh para penyelenggara pemilu dewasa ini misalnya pantarlih, panwas, PPS, PPK, pengawas TPS, dan jajaran KPUD-KPUD, bahkan para penyelenggara dan pengawas pemilu dari desa hingga pusat.
Jelang Pilkada Serentak 2024 para penyelenggara dan pengawas Pilkada sekiranya membaca buku ini sebagai penyemangat menjadi pelaku sejarah terlibat dalam Pilkada Serentak kali perdana di negeri ini secara nasional berupa Pemilihan Gubernur, Pemilihan Bupati, dan Pemilihan Wali Kota!
Data yang disajikan dalam buku ini bahkan hingga sampai nama-nama partai dan nama-nama petarung dalam pemilu.
Idwar Anwar, alumnus Fakultas Sastra (kini Fakultas Ilmu Budaya) Unhas telah melahirkan puluhan buku sejak meninggalkan kampus. Idwar adalah kakak angkatan saya walau berbeda jurusan.
Namun dari segi penyuntingan buku ini masih perlu diperbaiki pada cetakan-cetakan berikutnya. Misalnya ditemukan kata-kata tak baku seperti 'sekedar' (seharusnya: sekadar), 'anggauta' (seharusnya: anggota). Mungkin terbawa oleh buku-buku referensi dengan ejaan lama.
Ada pula kata yang saltik seperti 'Belada' (seharusnya: Belanda). Penggunaan spasi seperti 'dikala' (seharusnya 'di kala'). Kata 'dipungkiri' (seharusnya: dimungkiri").
Kata 'komposi' seharusnya 'komposisi', 'provisi' seharusnya 'provinsi'. Istilah 'vote gather' mungkin yang dimaksud 'vote getter'. Juga ada penggunaan kata 'antar partai' yang seharusnya ditulis tanpa spasi 'antarpartai'.
Lalu apakah sudah ada praktik politik uang pada Pemilu 1955? Sejak kapan politik uang mulai dipraktikkan di Indonesia?
Menarik ditelusuri dalam buku ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H