Judul : Seperti Dendam, Rindu Harus Di Bayar Tuntas
Penulis : Eka Kurniawan
Tahun : cetakan keempat 2016 (2014)
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Dimensi buku : 14x21 cm, 250 hlm
ISBN : 978-602-03-2470-8
Mungkin, bagi semua lelaki yang telah membaca karya ini, pelajaran paling berkesan yang bisa didapatkan adalah:Â Terimakasih Tuhan, aku bersyukur masih bisa ngaceng!
Sebuah novel karya Eka Kurniawan, seorang sarjana filsafat UGM lulusan tahun 1999. Novel ini memiliki judul cukup menarik, seperti dendam rindu harus dibayar tuntas, yang belakangan diketahui ternyata adalah kata-kata mutiara bokong sebuah Truk. Ya, truk, sebuah kendaraan paling bijaksana.
Setelah sekian lama tak menerbitkan novel, terakhir adalah Lelaki Harimau pada tahun 2004, Eka akhirnya kembali dengan seperti dendam, rindu harus dibayar tuntas pada tahun 2014. Novel ini disambut dengan euforia yang meriah oleh kalangan milenialis. Entahlah, mungkin dari judulnya saja novel ini sangat menarik perhatian kaum-kaum milenial yang belakangan mulai banyak terjangkit demam "Bucin; Budak Cinta". Maka, kata-kata seperti rindu, dendam dan lain sebagainya menjadi semacam stimulus yang merangsang nafsu rasa ingin tahu dan penasaran. Namun, meski demikiannya terkesan main-main (atau Eka memang pada dasarnya kontroversial, suka mian-main dan seenaknya sendiri), novel ini menyingkap satu pelajaran falsafah hidup yang begitu menyentuh sekaligus sangat prinsipil, terutama bagi para lelaki.
Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas menceritakan kisah tentang Ajo Kawir, seorang laki-laki yang tidak bisa ngaceng. Awalnya, burung Ajo kawir normal-normal saja, bisa ngaceng, sama perkasanya dengan bocah laki-laki lain. Namun suatu hari saat masih remaja, si Tokek, sahabat paling setia Ajo Kawir, mengajaknya untuk menonton seorang perempuan gila yang diperkosa oleh dua orang polisi brengsek. Setelah itu, Ajo Kawir tidak bisa ngaceng lagi, si burung memutuskan untuk tidur panjang.
Berbagai cara untuk membangunkan si burung pun dilakukan. Sungguh, ikhtiar Ajo kawir tidak lah main-main dalam persoalan ini. Kita patut memberinya apresiasi karena dengan berani menggosokkan cabai rawit pada si burung yang menyebabkan dirinya tersiksa dua hari dua malam. Atau kenekatannya, mungkin lebih tepat ke-goblokannya, yang menyundutkan seekor tawon (lebah) pada si burung yang ternyata hanya membikin bengkak namun tetap tidak mau bangun, juga membuatnya tersiksa dua hari dua malam.Â