Mohon tunggu...
Abdu Alifah
Abdu Alifah Mohon Tunggu... Human Resources - Karyawan

Seorang manusia biasa yang secara kebetulan dianugerahi hobi membaca!

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas [Filsafat Si Burung Tidur]

16 Januari 2019   19:45 Diperbarui: 17 Januari 2019   00:05 554
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Judul : Seperti Dendam, Rindu Harus Di Bayar Tuntas

Penulis : Eka Kurniawan

Tahun : cetakan keempat 2016 (2014)

Penerbit : Gramedia Pustaka Utama

Dimensi buku : 14x21 cm, 250 hlm

ISBN : 978-602-03-2470-8

Mungkin, bagi semua lelaki yang telah membaca karya ini, pelajaran paling berkesan yang bisa didapatkan adalah: Terimakasih Tuhan, aku bersyukur masih bisa ngaceng!

Sebuah novel karya Eka Kurniawan, seorang sarjana filsafat UGM lulusan tahun 1999. Novel ini memiliki judul cukup menarik, seperti dendam rindu harus dibayar tuntas, yang belakangan diketahui ternyata adalah kata-kata mutiara bokong sebuah Truk. Ya, truk, sebuah kendaraan paling bijaksana.

Setelah sekian lama tak menerbitkan novel, terakhir adalah Lelaki Harimau pada tahun 2004, Eka akhirnya kembali dengan seperti dendam, rindu harus dibayar tuntas pada tahun 2014. Novel ini disambut dengan euforia yang meriah oleh kalangan milenialis. Entahlah, mungkin dari judulnya saja novel ini sangat menarik perhatian kaum-kaum milenial yang belakangan mulai banyak terjangkit demam "Bucin; Budak Cinta". Maka, kata-kata seperti rindu, dendam dan lain sebagainya menjadi semacam stimulus yang merangsang nafsu rasa ingin tahu dan penasaran. Namun, meski demikiannya terkesan main-main (atau Eka memang pada dasarnya kontroversial, suka mian-main dan seenaknya sendiri), novel ini menyingkap satu pelajaran falsafah hidup yang begitu menyentuh sekaligus sangat prinsipil, terutama bagi para lelaki.

Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas menceritakan kisah tentang Ajo Kawir, seorang laki-laki yang tidak bisa ngaceng. Awalnya, burung Ajo kawir normal-normal saja, bisa ngaceng, sama perkasanya dengan bocah laki-laki lain. Namun suatu hari saat masih remaja, si Tokek, sahabat paling setia Ajo Kawir, mengajaknya untuk menonton seorang perempuan gila yang diperkosa oleh dua orang polisi brengsek. Setelah itu, Ajo Kawir tidak bisa ngaceng lagi, si burung memutuskan untuk tidur panjang.

Berbagai cara untuk membangunkan si burung pun dilakukan. Sungguh, ikhtiar Ajo kawir tidak lah main-main dalam persoalan ini. Kita patut memberinya apresiasi karena dengan berani menggosokkan cabai rawit pada si burung yang menyebabkan dirinya tersiksa dua hari dua malam. Atau kenekatannya, mungkin lebih tepat ke-goblokannya, yang menyundutkan seekor tawon (lebah) pada si burung yang ternyata hanya membikin bengkak namun tetap tidak mau bangun, juga membuatnya tersiksa dua hari dua malam. 

Semua usaha yang dilakukan sungguh sia sia, termasuk usaha membaca majalah stensilan karya valentino hingga menyewa seorang pelacur. Semuanya nihil. Akhirnya, Ajo Kawir memutuskan untuk berhenti berusaha membangunkan si burung dari tidurnya dan menerima takdir paling tragis bagi seorang lelaki.

Ajo Kawir kemudian tumbuh dewasa menjadi seorang begundal, tukang kelahi dan bikin onar, beberapa kali tidak naik kelas saat SMA, dan pada akhirnya ia memutuskan untuk berhenti sekolah saja. Namun sebagaimana hidup seorang laki-laki pada umumnya, tentu saja Ajo Kawir juga memiliki rasa cinta, keinginan untuk pacaran, keinginan untuk jatuh cinta, atau mungkin juga patah hati, merindu, bergalau ria dan penyakit-penyakit anak-anak muda lainnya. 

Disinilah konflik-konflik mulai terjadi, saat ia mengenal si Iteung, seorang gadis yang dicintai Ajo Kawir dengan Tulus. Namun Ajo Kawir sadar bahwa dirinya tidak bisa ngaceng, tidak mungkin ia bisa mencintai seorang wanita tanpa memberinya kenikmatan. Seorang yang tidak bisa ngaceng, kata Ajo Kawir suatu ketika, tidak layak mencintai seorang wanita.

Ajo Kawir lalu memutuskan berhenti mencintai Iteung, walaupun pada akhirnya tetap tidak bisa dan merindu setengah mati. Untuk melupakan cintanya, Ajo Kawir menjadi seorang tukang pukul dan pembunuh. Ajo Kawir tidak peduli jika dirinya mampus, sebab sama saja, jika ia tidak mati dalam perkelahian, ia akan tetap mati disiksa kerinduan.

Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas merupakan novel yang sangat brutal, dark, gaduh, liar, jorok, tidak sopan, semi-erotis-porno-stensilan (sulit dibedakan), sex, mungkin filsafat sex atau filsafat burung (penis), tapi entah kenapa terasa begitu menarik. Beberapa orang, terutama yang pikirannya liar, atau bisa jadi malah mesum, mungkin akan menghabiskan novel ini dalam satu lahapan, lalu setelah itu akan menghembuskan nafas panjang dengan penuh perenungan, aku sungguh bersyukur masih bisa ngaceng!

Novel ini tidak terlalu rumit, ceritanya ringan-ringan saja dan hanya berfokus pada satu tokoh Sentral, Ajo Kawir. Meski tak dapat dipungkiri, novel ini secara alur sangat berantakan, kita mungkin akan dibingungkan dengan setting cerita yang terpotong-potong, tiba-tiba entah menceritakan siapa, atau plot yang seketika mundur, lalu maju lagi. Tapi, perlahan tapi pasti, satu-persatu masalah menjadi jelas di akhir cerita yang mengejutkan.

Kita akan dibuat terpingkal-pingkal oleh humor-humor yang disisipi Eka dengan makna-makna tersirat lewat percakapan-percakapan konyol antara Ajo Kawir atau Si Tokek, nasihat-nasihat Iwan Angsa atau Wa Sami seperti "hanya orang yang gak bisa ngaceng yang berkelahi tanpa takut mati". Atau banyak pula makna-makna yang dilontarkan langsung oleh tokoh-tokoh unik seperti Paman Gembul, Ki Jempers, bahkan Mono Ompong.

Sama dengan dua novel Eka yang sebelumnya, Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas diisi oleh tokoh-tokoh yang tidak waras dengan pikiran-pikiran yang setengah gila dan setengah filsafat yang dibalut oleh seorang Eka kurniawan dengan main-main dan menohok namun sebenarnya memiliki esensi yang sangat mendalam. Misalnya, percakapan absurd, kocak, nan mengharukan Ajo Kawir dengan kemaluannya yang tidak mau bangun, atau Ajo Kawir yang mulai berpikir bahwa kemaluannya sedang menempuh jalan sunyi seperti para sufi-sufi dan mahaguru. 

Pecakapan Ajo Kawir dengan burungnya memberikan makna falsafah yang begitu mendalam tentang hakikat cinta dan kehidupan. Si burung yang tidur dengan tenang dan damai tak peduli sang pemilik memiliki kehidupan yang brutal dan penuh kegaduhan menjadi semacam satu bentuk alegori tersendiri dalam kehidupan ini.

Lewat Alegori Filsafat si burung ini, Eka seakan ingin mengatakan, tetaplah tenang di dunia yang sedang menggila. Sebuah karya yang sangat layak untuk dibaca bagi siapa saja yang mengingikan ketenangan dalam kehidupan dunia yang penuh kegaduhan. Selamat membaca!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun