Mohon tunggu...
Abdu Alifah
Abdu Alifah Mohon Tunggu... Human Resources - Karyawan

Seorang manusia biasa yang secara kebetulan dianugerahi hobi membaca!

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas [Filsafat Si Burung Tidur]

16 Januari 2019   19:45 Diperbarui: 17 Januari 2019   00:05 554
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Semua usaha yang dilakukan sungguh sia sia, termasuk usaha membaca majalah stensilan karya valentino hingga menyewa seorang pelacur. Semuanya nihil. Akhirnya, Ajo Kawir memutuskan untuk berhenti berusaha membangunkan si burung dari tidurnya dan menerima takdir paling tragis bagi seorang lelaki.

Ajo Kawir kemudian tumbuh dewasa menjadi seorang begundal, tukang kelahi dan bikin onar, beberapa kali tidak naik kelas saat SMA, dan pada akhirnya ia memutuskan untuk berhenti sekolah saja. Namun sebagaimana hidup seorang laki-laki pada umumnya, tentu saja Ajo Kawir juga memiliki rasa cinta, keinginan untuk pacaran, keinginan untuk jatuh cinta, atau mungkin juga patah hati, merindu, bergalau ria dan penyakit-penyakit anak-anak muda lainnya. 

Disinilah konflik-konflik mulai terjadi, saat ia mengenal si Iteung, seorang gadis yang dicintai Ajo Kawir dengan Tulus. Namun Ajo Kawir sadar bahwa dirinya tidak bisa ngaceng, tidak mungkin ia bisa mencintai seorang wanita tanpa memberinya kenikmatan. Seorang yang tidak bisa ngaceng, kata Ajo Kawir suatu ketika, tidak layak mencintai seorang wanita.

Ajo Kawir lalu memutuskan berhenti mencintai Iteung, walaupun pada akhirnya tetap tidak bisa dan merindu setengah mati. Untuk melupakan cintanya, Ajo Kawir menjadi seorang tukang pukul dan pembunuh. Ajo Kawir tidak peduli jika dirinya mampus, sebab sama saja, jika ia tidak mati dalam perkelahian, ia akan tetap mati disiksa kerinduan.

Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas merupakan novel yang sangat brutal, dark, gaduh, liar, jorok, tidak sopan, semi-erotis-porno-stensilan (sulit dibedakan), sex, mungkin filsafat sex atau filsafat burung (penis), tapi entah kenapa terasa begitu menarik. Beberapa orang, terutama yang pikirannya liar, atau bisa jadi malah mesum, mungkin akan menghabiskan novel ini dalam satu lahapan, lalu setelah itu akan menghembuskan nafas panjang dengan penuh perenungan, aku sungguh bersyukur masih bisa ngaceng!

Novel ini tidak terlalu rumit, ceritanya ringan-ringan saja dan hanya berfokus pada satu tokoh Sentral, Ajo Kawir. Meski tak dapat dipungkiri, novel ini secara alur sangat berantakan, kita mungkin akan dibingungkan dengan setting cerita yang terpotong-potong, tiba-tiba entah menceritakan siapa, atau plot yang seketika mundur, lalu maju lagi. Tapi, perlahan tapi pasti, satu-persatu masalah menjadi jelas di akhir cerita yang mengejutkan.

Kita akan dibuat terpingkal-pingkal oleh humor-humor yang disisipi Eka dengan makna-makna tersirat lewat percakapan-percakapan konyol antara Ajo Kawir atau Si Tokek, nasihat-nasihat Iwan Angsa atau Wa Sami seperti "hanya orang yang gak bisa ngaceng yang berkelahi tanpa takut mati". Atau banyak pula makna-makna yang dilontarkan langsung oleh tokoh-tokoh unik seperti Paman Gembul, Ki Jempers, bahkan Mono Ompong.

Sama dengan dua novel Eka yang sebelumnya, Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas diisi oleh tokoh-tokoh yang tidak waras dengan pikiran-pikiran yang setengah gila dan setengah filsafat yang dibalut oleh seorang Eka kurniawan dengan main-main dan menohok namun sebenarnya memiliki esensi yang sangat mendalam. Misalnya, percakapan absurd, kocak, nan mengharukan Ajo Kawir dengan kemaluannya yang tidak mau bangun, atau Ajo Kawir yang mulai berpikir bahwa kemaluannya sedang menempuh jalan sunyi seperti para sufi-sufi dan mahaguru. 

Pecakapan Ajo Kawir dengan burungnya memberikan makna falsafah yang begitu mendalam tentang hakikat cinta dan kehidupan. Si burung yang tidur dengan tenang dan damai tak peduli sang pemilik memiliki kehidupan yang brutal dan penuh kegaduhan menjadi semacam satu bentuk alegori tersendiri dalam kehidupan ini.

Lewat Alegori Filsafat si burung ini, Eka seakan ingin mengatakan, tetaplah tenang di dunia yang sedang menggila. Sebuah karya yang sangat layak untuk dibaca bagi siapa saja yang mengingikan ketenangan dalam kehidupan dunia yang penuh kegaduhan. Selamat membaca!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun