Mohon tunggu...
Abdullah Umar
Abdullah Umar Mohon Tunggu... Ilmuwan - Pengamat Hukum dan Politik

Mahasiswa Jurusan Hukum di Cairo University, Mesir

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Pemerintah Tolak Jadikan Gempa Lombok sebagai Bencana Nasional, Tepatkah?

21 Agustus 2018   20:49 Diperbarui: 22 Agustus 2018   16:34 2541
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Joko Widodo (dua kanan) mengunjungi korban gempa di Desa Madayin, Kecamatan Sambelia, Selong, Lombok Timur, NTB, Senin (30/7/2018). Presiden Jokowi mengatakan pemerintah akan memberikan bantuan untuk perbaikan Rp 50 juta per rumah korban gempa yang mengalami kerusakan.(ISTANA PRESIDEN/AGUS SUPARTO)

Akhir-akhir ini ramai didengungkan khususnya dari pihak oposisi pemerintah (PKS dan Gerindra) bahwa pemerintah Indonesia di bawah Presiden Jokowi tidak tanggap menangani bencana gempa Lombok karena belum juga menaikan status bencana nasional. Bantuan Rp 50 juta per keluarga untuk renovasi rumah dan triliunan rupiah yang telah digelontorkan pemerintah di mata oposisi tetaplah salah. Namun, dari kacamata hukum dan kedaulatan negara, apa yang dilakukan pemerintah saat ini jelas tepat.

Pertama, perhatian pemerintah dalam menghadapi bencana lombok sudah sangat besar atau all out. Presiden bahkan sudah datang langsung ke Lombok dan tidur di tenda yang sama dengan para pengungsi. Sebuah dukungan moril yang berharga dari seorang kepala negara.

Saya baca di media online pun, pada Selasa (21/8/2018) Wakil Presiden Jusuf Kalla juga bertolak ke Lombok untuk mengoordinasikan penyaluran bantuan.

Di luar dukungan moril dan turunnya langsung Presiden dan Wapres, pemerintah sudah menyalurkan bantuan Rp 50 juta per keluarga yang rumahnya hancur.

Pembangunan rumah juga didampingi oleh Kementerian PUPR agar fondasinya tahan gempa. Kementerian Keuangan pun sudah menganggarkan Rp 4 triliun untuk memulihkan Lombok pasca gempa.

Presiden Jokowi dan Gubernur NTB TGB saat di tenda pengungsian korban gempa lombok. Sumber gambar: sebar.com
Presiden Jokowi dan Gubernur NTB TGB saat di tenda pengungsian korban gempa lombok. Sumber gambar: sebar.com
Tidak hanya itu, hari ini pun Mendagri Tjahjo Kumolo sudah mengedarkan surat kepada seluruh kepala daerah agar memberikan bantuan pendanaan dari sisa anggaran tahun lalu sesuai kemampuan masing-masing daerah. Secara konstitusi, memang mekanisme itu diatur dan sah sesuai hukum.

Kedua, cara yang dilakukan pemerintah tentu sangat tepat dibandingkan menjadikan gempa lombok sebagai bencana nasional.

Kenapa?

Perlu diketahui dengan menjadikan bencana nasional, itu berarti membuka pintu seluas-luasnya negara lain untuk turut campur dalam penanganan bencana Lombok. Negara lain akan diperbolehkan membawa pasukan dan senjata militernya ke Indonesia atas nama kemanusiaan dan atas Konvensi Geneva, mereka kebal terhadap hukum di Indonesia.

Hal itu tentu akan menimbulkan konsekuensi tersebut terhadap masalah kedaulatan bangsa secara politik, ekonomi, maupun penegakan hukum. Apakah itu yang diinginkan kubu oposisi? Jika masalah semakin runyam dan turut campurnya asing di negara ini, mereka akan semakin mendapat bahan bakar isu untuk menyerang pemerintah. Jika itu memang niat mereka, sungguh keji karena mereka tega mempolitisasi bencana alam demi merebut kekuasaan.

Perlu diketahui dengan menjadikan bencana nasional, itu berarti membuka pintu seluas-luasnya negara lain untuk turut campur dalam penanganan bencana Lombok.

Ketiga, Kepala Humas BNPB Sutopo Purwonugroho bahkan sudah menjelaskan, "Potensi nasional masih mampu mengatasi bencana lombok, tanpa harus menyatakan bencana nasional."

PP No. 21 Tahun 2008 mengatur berbagai indikator agar suatu bencana dapat ditetapkan sebagai bencana nasional. Selain jumlah korban, kerugian, dan dampak sosial ekonomi, indikator terpenting yaitu pemerintah daerah lumpuh atau tidak. Kepala daerah ada atau tidak.

Sebagai informasi, terakhir kali bencana di Indonesia yang ditetapkan sebagai bencana nasional adalah bencana Tsunami Aceh 2004.

Saat itu, beberapa kepala daerah menjadi korban, pemerintahan daerah lumpuh, kodam dan polda pun collapse. Berbeda dengan kondisi di Lombok saat ini di mana Gubernur TGB masih mampu memimpin koordinasi penanganan bencana, Polda dan Kodam pun masih dapat berfungsi membantu penanganan bencana.

Memang, belajar dari pengalaman status bencana nasional Aceh, pemerintah tidak ingin terburu-buru menaikkan status bencana nasional di setiap bencana yang ada. Situasi politik, kedaulatan negara, ekonomi dapat benar-benar terganggu ketika bangsa asing bebas keluar masuk Indonesia dengan kebal hukum jika status bencana nasional ditetapkan.

Separah itukah? Ya, Laporan Pengkajian Hukum dari Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM tahun 2007 tentang Mekanisme Bantuan Militer Asing di Indonsia dalam penanggulangan Bencana Alam (studi kasus status bencana nasional Tsunami Aceh), mengatakan kedaulatan negara berdasarkan UU No 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, UU No 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian dan UUD 1945 DITABRAK dengan alasan kedaruratan atau kemanusiaan.

Saat itu militer asing datang ke Indonesia sebanyak 4.000 personil lengkap dengan kapal dan pesawat perangnya. Saat diidentifikasi negara asing memata-matai kekuatan militer Indonesia, mereka pun tidak dapat dijerat dengan hukum. General Rule of Internasional Law dengan Status Of Force Agreement (SOFA) saat status bencana nasional ditetapkan membenarkannya. Itu kah yang akan diharapkan para oposisi yang selama ini meneriakan "kedaulatan bangsa dari ancaman asing."?

Perlu dicatat, saat status bencana nasional, SOFA mengatur semua negara asing yang masuk dapat membawa pasukan militernya lengkap dengan senjata dan alat tempurnya ke lokasi bencana.

Mereka juga dibebaskan atas pajak dan pungutan. Mereka juga diberikan keleluasaan untuk mengimpor atau ekspor barang bagi keperluan misi personil militer mereka dan negara penerima tidak diperbolehkan melakukan inspeksi atau membebani pajak atas barang tersebut. Militer asing juga dibebaskan menggunakan alat komunikasi sendiri. Kekebalan hukum diberikan sepenuhnya. Kekacauan ekonomi inikah yang diharapkan oposisi?

Dari pengalaman itu memang hampir seluruh negara di dunia seberat apa pun bencananya berusaha semaksimal mungkin tidak menetapkan status bencana nasional. Tentu karena masalah kedaulatan negara.

Kenapa di Indonesia justru oposisi mendesak status bencana nasional (yang sebenarnya dimaknai internasional) di saat Indonesia masih mampu mengatasinya?

Terakhir, Ada dugaan beberapa kalangan bahwa selain akan menyebabkan Indonesia mendapat travel warning (yang akan menyebabkan pendapatan negara dari sektor pariwisata menurun) saat status bencana nasional ditetapkan di Lombok, ada pula dugaan keterlibatan agen asing yang akan "mengacak-ngacak" perhelatan Pilpres Indonesia dan Pemilu 2019 yang tak akan lama lagi.

Apakah kehadiran asing yang dikhawatirkan itu justru menguntungkan oposisi?

Terlepas dari itu, berhentilah mempolitisasi bencana gempa Lombok. Tugas kita membantu semaksimal mungkin.

Seperti kata BNPB, "Tanpa ada status bencana nasional pun, penanganan bencana saat ini skalanya sudah nasional".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun