PP No. 21 Tahun 2008 mengatur berbagai indikator agar suatu bencana dapat ditetapkan sebagai bencana nasional. Selain jumlah korban, kerugian, dan dampak sosial ekonomi, indikator terpenting yaitu pemerintah daerah lumpuh atau tidak. Kepala daerah ada atau tidak.
Sebagai informasi, terakhir kali bencana di Indonesia yang ditetapkan sebagai bencana nasional adalah bencana Tsunami Aceh 2004.
Saat itu, beberapa kepala daerah menjadi korban, pemerintahan daerah lumpuh, kodam dan polda pun collapse. Berbeda dengan kondisi di Lombok saat ini di mana Gubernur TGB masih mampu memimpin koordinasi penanganan bencana, Polda dan Kodam pun masih dapat berfungsi membantu penanganan bencana.
Memang, belajar dari pengalaman status bencana nasional Aceh, pemerintah tidak ingin terburu-buru menaikkan status bencana nasional di setiap bencana yang ada. Situasi politik, kedaulatan negara, ekonomi dapat benar-benar terganggu ketika bangsa asing bebas keluar masuk Indonesia dengan kebal hukum jika status bencana nasional ditetapkan.
Separah itukah? Ya, Laporan Pengkajian Hukum dari Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM tahun 2007 tentang Mekanisme Bantuan Militer Asing di Indonsia dalam penanggulangan Bencana Alam (studi kasus status bencana nasional Tsunami Aceh), mengatakan kedaulatan negara berdasarkan UU No 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, UU No 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian dan UUD 1945 DITABRAK dengan alasan kedaruratan atau kemanusiaan.
Saat itu militer asing datang ke Indonesia sebanyak 4.000 personil lengkap dengan kapal dan pesawat perangnya. Saat diidentifikasi negara asing memata-matai kekuatan militer Indonesia, mereka pun tidak dapat dijerat dengan hukum. General Rule of Internasional Law dengan Status Of Force Agreement (SOFA) saat status bencana nasional ditetapkan membenarkannya. Itu kah yang akan diharapkan para oposisi yang selama ini meneriakan "kedaulatan bangsa dari ancaman asing."?
Perlu dicatat, saat status bencana nasional, SOFA mengatur semua negara asing yang masuk dapat membawa pasukan militernya lengkap dengan senjata dan alat tempurnya ke lokasi bencana.
Mereka juga dibebaskan atas pajak dan pungutan. Mereka juga diberikan keleluasaan untuk mengimpor atau ekspor barang bagi keperluan misi personil militer mereka dan negara penerima tidak diperbolehkan melakukan inspeksi atau membebani pajak atas barang tersebut. Militer asing juga dibebaskan menggunakan alat komunikasi sendiri. Kekebalan hukum diberikan sepenuhnya. Kekacauan ekonomi inikah yang diharapkan oposisi?
Dari pengalaman itu memang hampir seluruh negara di dunia seberat apa pun bencananya berusaha semaksimal mungkin tidak menetapkan status bencana nasional. Tentu karena masalah kedaulatan negara.
Kenapa di Indonesia justru oposisi mendesak status bencana nasional (yang sebenarnya dimaknai internasional) di saat Indonesia masih mampu mengatasinya?
Terakhir, Ada dugaan beberapa kalangan bahwa selain akan menyebabkan Indonesia mendapat travel warning (yang akan menyebabkan pendapatan negara dari sektor pariwisata menurun) saat status bencana nasional ditetapkan di Lombok, ada pula dugaan keterlibatan agen asing yang akan "mengacak-ngacak" perhelatan Pilpres Indonesia dan Pemilu 2019 yang tak akan lama lagi.