Mohon tunggu...
Abd Rahman Hamid
Abd Rahman Hamid Mohon Tunggu... Sejarawan - Penggiat Ilmu

Sejarawan

Selanjutnya

Tutup

Sosok

Sang Nakhoda telah Berlabuh: A.M. Djuliati Suroyo (1937-2025)

23 Januari 2025   23:53 Diperbarui: 23 Januari 2025   23:53 271
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Selamat malam para sejawat,

Saya baru saja mendapat informasi bahwa Ibu A.M. Djuliati Suroyo (Guru Besar Sejarah Purnatugas UNDIP) wafat pada malam ini pukul 18.45. Almarhumah akan dikebumikan besok di Makam Keluarga Besar UNDIP, Tembalang. RI untuk Bu Djuli.

Terima kasih"

Demikian petikan informasi yang disampaikan oleh Prof. Dhanang Respati Puguh di WAG Mabes PPSI malam ini, 23 Januari 2025, pukul 19.36 WIB.

Setelah membaca pesan tersebut, saya langsung mencari sebuah buku persembahan untuk Prof. Dr. A.M. Djuliati Suroyo dengan judul utama "Membedah Sejarah dan Budaya Maritim, Merajut Keindonesiaan". Buku ini disunting oleh Dhanang Respati Puguh, Mahendra P. Utama, Rabith Jihan Amaruli, dan Endang Susilowati. Diterbitkan oleh Undip Press Semarang (2013).

Endang Susilowati, Ketua Jurusan Sejarah FIB UNDIP, dalam kata pengantarnya di buku ini menulis bahwa "Buku ini merupakan kumpulan tulisan dari para sahabat, kolega, dan murid Prof. Dr. A.M. Djuliati Suroyo, sebagai bentuk penghargaan atas dedikasi beliau selama berkiprah sebagai seorang sejarawan dan terutama sebagai pelopor perkembangan studi sejarah maritim di Jurusan Sejarah FIB UNDIP".

Dua dari 32 tulisan dalam buku ini ditulis oleh A.M. Djuliati Suroyo dan Adrian B. Lapian. Kalau Lapian dikenal sebagai Nakhoda Pertama Sejarawan Maritim di Indonesia, maka Suroyo adalah Nakhoda Pertama Sejarawan Maritim di UNDIP.

Pengaruh A.B. Lapian 

Dalam tulisannya di buku ini, Memimpikan Masa Depan: Sejarah Maritim di Jurusan Sejarah Universitas Diponegoro, Suroyo mengakui bahwa ia sangat terpengaruh oleh Adrian B. Lapian.

Suroyo menulis bahwa sejak tahun 1970-an, UNDIP telah menetapkan pola ilmiah pokok pengembangan wilayah pantai. Banyak penelitian yang berfokus pada wilayah pantai, baik tentang perikanan, ekosistem, kesehatan maupun sosial budaya.

Ini menujukkan satu tonggak penting tentang bagaimana kampus yang menggunakan nama tokoh utama dalam Perang Jawa, [Pangeran] Diponegoro,  memilih fokus pada pengembangan kajian wilayah pantai/pesisir.

"Meskipun menaruh minat besar mengenai budaya masyarakat pantai, namun saya belum terpikir untuk mengembangkan sejarah maritim. Baru kemudian, dalam berbagai pertemuan ilmiah sejarah saya tertarik dengan sejarawan maritim yang seringkali dikemukakan oleh Prof. A.B. Lapian".

Lapian adalah senior dari Suroyo. Mereka sama-sama dibimbing oleh Bapak Sejarawan Indonesia, Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo, ketika menempuh pendidikan doktor bidang sejarah di Universitas Gadjah Mada.

Buku Persembahan untuk Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo, dimana AM. Djuliati Suroyo dan AB Lapian juga menulis (Sumber: Buku koleksi penulis)
Buku Persembahan untuk Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo, dimana AM. Djuliati Suroyo dan AB Lapian juga menulis (Sumber: Buku koleksi penulis)

Saat studi doktor, Suroyo menulis disertasi tentang eksploitasi tenaga kerja pada masa pelaksanaan Tanam Paksa melalui moder kerja wajib petani (heerendiensten) untuk kepentingan pemerintah kolonial dan para pejabat. Hasil kajiannya menemukan bahwa sebagian besar dari pekerja tersebut tidak dibayar dengan uang.

Salah satu pemikiran Lapian, yang sering dikemukannya dalam berbagai forum ilmiah, yang paling menarik dan menginspirasinya untuk mengembangkan sejarah maritim di UNDIP adalah: 

"Bahwa Indonesia dalah sebuah archipelagic state atau negara laut yang bertabur ribuan pulau, sehingga daerah inti bukanlah pulau, melainkan wilayah maritim yang sentral, yaitu laut dan pulau-pulau di sekitarnya", tulisnya.

Suroyo kemudian menulis lagi bahwa: 

"Dengan demikian peran laut adalah dominan... Laut berfungsi sebagai  pemersatu melalui kegiatan pelayaran, perdagangan, migrasi, hubungan antarmanusia dan antarkomunitas pada umumnya. Namun ternyata penulisan sejarah Indonesia lebih menonjolkan unsur daratan daripada lautan" .

Selain Lapian, Suroyo juga terpengaruh saat membaca karya monumental sejarawan Perancis dari Mazhab Annales, Fernand Braudel, berjudul "The Mediteranean and the Mediteranean World in the Age of Philip II" Vol 1 dan 2.

Selain itu, Suroyo juga membaca buku model Braudelian yang ditulis oleh K.N. Chauduri, "The Trade and Civilization in the Indian Ocean: an Economic History from the Rise of Islam to 1750".

Kedua karya sejarawan tersebut dibaca oleh Suroyo ketika melakukan riset pustaka untuk disertasinya di negeri Belanda pada tahun 1985.  

Mulai Berlayar

Sebelum memutuskan berlayar (baca: mengembangkan kajian sejarah maritim), Suroyo juga terpengaruh oleh pandangan dari mantan Rektor UNDIP, alm. A. Suroyo, bahwa UNDIP sebagai universitas muda perlu memiliki spesialisasi yang berbeda dengan UGM yang lebih tua. "Karena letak Undip di tepi laut, maka harus berorientasi ke laut", kata Rektor tersebut.

Walhasil, semua itu membuat Jurusan Sejarah semakin mantap untuk mengambil  spesialisasi sejarah maritim sebagai center of excellence.

Pada tahun 1990, usaha ke arah tersebut dimulai. Djuliati Suroyo menghubungi berbagai instansi dan tokoh-tokoh (sejarawan) di berbagai lembaga, baik di dalam maupun luar negeri, guna menjalin kerja sama, mencari dukungan, bantuan, serta membina jaringan, kata Suroyo.

Pada tahun 1995, ia bertemu dengan sejarawan maritim Belanda, Gerrit J. Knaap, di Yogyakarta. Pada saat itulah dia menyampaikan rencana pengembangan Jurusan Sejarah UNDIP ke depan untuk studi sejarah maritim.

Knaap sangat tertarik dengan recana tersebut. Ini tak lepas dari risetnya kala itu, yang terbit pada tahun 1996, tentang Pelayaran dan Perdagangan di Jawa sekitar tahun 1775. Tentunya, buku ini kemudian menjadi bahan bacaan penting bagi civitas akademika di Jurusan Sejarah Undip dalam pengembangan kajian sejarah maritim.

Selanjutnya, Suroyo bertemu dan mendiskusikan rencananya kepada Prof. Dr. Heather Sutherland dari Vrije Universiteit (VU), yang juga adalah dosen alm. Dr. Edward L. Poelinggomang (Dosen Jurusan Sejarah Universitas Hasanuddin) yang tamat di VU pada tahun 1991.

Sutherland lah yang mengusulkan agar Suroyo membuat proposal penelitian bersama antara Belanda dan Indonesia, tentang kegiatan maritim di Kawasan Laut Jawa (The Java Sea Region in the Age of Transition 1870-1970).

Proyek penelitian Java Sea ini membuka pintu bagi pengembangan kajian sejarah maritim secara sistematik di Jurusan Sejarah UNDIP. Riset ini didukung oleh dana dari tiga negara yaitu: Indonesia (DIKTI), Belanda (KNAW), dan Jepang (Toyota Foundation).   

Penelitian ini berlangsung selama tiga tahun (1996-1999) melibatkan lima peneliti Indonesia dan dua peneliti Belanda.

Lima peneliti Indonesia adalah Singgih Tri Sulistiyono, Indriyanto, Endang Susilowati, Agus Supriyono, dan Sutejo K. Widodo. Mereka semua merupakan dosen Sejarah UNDIP. Lalu, dua peneliti Belanda dari VU yakni Arjan Veering dan Alex Claver.

Tiga pembimbing riset ini, yang berasal dari Belanda, adalah Heather Sutherland, Gerrit J. Knaap, dan Thomas J. Linblad, sedangkan dua pembimbing dari Indonesia adalah A.B. Lapian dan Masyuhuri. Sementara itu, Djuliati Suroyo bertindak sebagai pimpinan proyek riset.     

Pada tahun 1999 diadakan International Workshop on Maritim History I di Semarang (6-8 Desember 1999), kemudian di Belanda dengan kegiatan yang sama untuk kedua kalinya (22-26 Januari 2001).

Berlabuh 

Setelah proyek riset tersebut, maka semakin mantaplah Jurusan Sejarah UNDIP dalam mengembangkan studi Sejarah Maritim. Ada tiga langkah penting yang dilakukan: pertama, mengembangan kurikulum Sejarah Maritim Indonesia; kedua, menggalakan penelitian sejarah dan budaya maritim, sejaran sosial kota-kota kawasan, dan sejarah masyarakat pantai; dan ketiga, mendirikan Pusat Studi Sejarah dan Budaya Maritim Asia Tenggara pada tahun 2000.

Lima dosen Sejarah UNDIP tersebut melanjutkan studi doktoral dan menulis disertasi tentang sejarah maritim.

Sutejo K. Widodo, menempuh studi S3 di UI, menulis disertasi (buku) "Ikan Layang Terbang Menjulang" (2002).

Lalu, Singgih Tri Sulistiyon, yang menempuh studi S3 di Universitas Leiden, menulis disertasi seperti tema riset kolaboratif tersebut, dengan judul "The Java Sea Network: Patterns in the Development of Interregional Shipping and Trade in the Process of National Economic Integration in Indonesia, 1870s-1970s" (2003).

Sementara itu, Endang Susilowati menempuh studi S3 di UI, menulis disertasi berjudul "Pasang Surut Pelayaran Perahu Rakyat di Pelabuhan Banjarmasin 1880-1990" (2004).

Yang keempat adalah Agustinus Supriyono menulis disertasi "Buruh Pelabuhan Semarang: Pemogokan-Pemogokan pada Zaman Kolonial Belanda dan Republik 1900-1965 (2008).

Dan, yang paling terakhir menyelesaikan studi doktoral adalah Indriyanto di Universitas Gadjah Mada dengan judul disertasi "Menjadi Pusat Pelayaran dan Perdagangan Interregional: Pelabuhan Surabaya 1900-1940".

Dari tangan A.M. Djuliati Suroyo dan lima muridnya tersebut, yang terlibat dalam proyek riset "The Jawa Sea", telah lahir banyak sarjana, magister, dan doktor bidang sejarah maritim.

Salah satu bukunya yang ditulis bersama murid-murid dan koleganya adalah "Sejarah Maritim Indonesia I: Menelusuri Jiwa Bahari Bangsa Indonesia hingga abad ke-17" yang diterbitkan oleh Pusat Kajian Sejarah dan Budaya Maritim Asia Tenggara bekerjasama dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan RI dan Penerbit Jeda (2007).

Buku karya AM Djuliati Suroyo bersama murid-murid dan kolegaranya (Sumber: Buku koleksi penulis)
Buku karya AM Djuliati Suroyo bersama murid-murid dan kolegaranya (Sumber: Buku koleksi penulis)

Kini, Sang Nakhoda telah berlabuh dengan tenang dan selamanya di sana. Namun, buah usahanya telah dinikmati oleh anak-anak bangsa yang menimba ilmu di Jurusan Sejarah (S1, S2, dan S3) di UNDIP ataupun yang membaca karya-karya dari para nakhoda sejarawan maritim UNDIP tersebut.

Selamat Jalan Sang Nakhoda. Ibarat tombak, kini dirimu telah tiba di tepi pantai. Jasa-jasamu akan terus dikenang dan usahamu akan dilanjutkan oleh nakhoda-nakhoda berikutnya, seperti yang engkau sebut di akhir tulisanmu bahwa:

"Selanjutnya terpulang kepada generasi penerus untuk melanjutkan pengembangan studi sejarah negara kita, negara maritim, negara bahari, tanah air yang kita cintai" (Djuliati Suroyo, 2013: 55). 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosok Selengkapnya
Lihat Sosok Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun