Mohon tunggu...
Abd Rahman Hamid
Abd Rahman Hamid Mohon Tunggu... Sejarawan - Penggiat Ilmu

Sejarawan

Selanjutnya

Tutup

Sosok Pilihan

Raden Intan II: Perjuangan Berwawasan Lingkungan

21 Januari 2025   14:02 Diperbarui: 21 Januari 2025   14:02 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lukisan Raden Intan II (Sumber: Koleksi UIN Raden Intan Lampung, 2025)

Ada delapan benteng yang menjadi pangkalan gerilya di Gunung Rajabasa yaitu: Galah Tanah, Raja Gepe, Pematang Sintok, Katimbang, Salai Tabuhan, Merambung, Bendulu, dan Hawi Berak.

Benteng Galah Tanah dibangun dengan parit di sekelilingnya. Ia dikelilingi oleh pagar bambu runcing yang rapat, juga lubang-lubang senapan kecil yang dibuat dengan bambu. Sementara Benteng Hawi Berak berada di tengah belukar. Pasukan Belanda harus berjalan dengan tangan kanan memegang senjata dan tangan kiri memegang kompas menuju lokasi ini, tulis Rohmatillah dkk.  

Kondisi medan yang begitu sulit dan perlengkapan pasukan Belanda yang berat membutuhkan tenaga kuli untuk membawanya, sebanyak 20 orang untuk setiap kompi. Ini berimplikasi terhadap operasional ekspedisi, seperti dialami oleh Kolonel Waleson saat menyerang benteng-benteng pertahanan Raden Intan di Gunung Rajabasa tahun 1856.   

Selain faktor alam, keberadaan penduduk juga sangat penting dalam perang gerilya. Secara kultural dan politik, Raden Intan adalah pemimpin Keratuan Darah Putih (1850-1856) di Kahuripan, yang terletak di kaki gunung Rajabasa. Wilayahnya dihuni oleh empat kesatuan marga yaitu: Ratoe, Dantaran, Legon (Way Urang), dan Rajabasa.  

Empat marga tersebut telah menjadi barisan perjuangan Raden Intan I (1816-1824) dan Raden Imba Kesuma (1828-1834), yang tak lain adalah kakek dan ayah dari Raden Intan II. Setelah mereka tiada, para pengikutnya terus berjuang di bawah pimpinan Raden Intan II.   

Dalam komposisi pengikut Raden Intan, selain masyarakat dan tokoh lokal, juga terdapat tokoh pejuang Banten yang sangat anti Belanda, yakni Haji Wakhia. Tokoh ini dikenal sangat gigih melawan Belanda di Banten, tulis Sartono Kartodirdjo (1984) dalam bukunya, "Pemberontakan Petani Banten 1888". 

Haji Wakhia menolak untuk membayar pajak dan memobilisasi massa untuk melawan pemerintah Belanda sehingga ia menjadi target penangkapan pasukan Belanda. Guna mengindari itu, maka ia kemudian pindah ke Lampung bersama dengan rekannya, Tubagus Iskak. Bersama dua tokoh Banten lain, Wak Maas dan Luru Satu, mereka mendukung perjuangan Raden Intan II melawan Belanda.   

Menghadapi kesulitan tersebut, Belanda menggunakan berbagai cara untuk menangkap Raden Intan. Mereka menghasut Raden Ngarapat (Kepala kampung Taan Udik) dengan imbalan bahwa ia tetap berkuasa penuh di wilayahnya. Ngarapat lalu mengundang Raden Intan makam malam di sebuah rumah persawahan. Ketika menikmati jamuan, mereka langsung disergap oleh Ngarapat sehingga terjadi bertrokan. Akibatnya Raden Intan terbunuh pada 5 Oktober 1856.  

Kendati Raden Intan sudah wafat, wawasan lingkungannya tetap diemban oleh kampus hijau yang menggunakan namanya, UIN Raden Intan. Tetapi, bukan lagi bergerilya di Gunung Rajabasa, melainkan dengan komitmen besar (visi) menjadi rujukan internasional dalam pengembangan ilmu keislaman integratif-multidisipliner berwawasan lingkungan tahun 2035.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosok Selengkapnya
Lihat Sosok Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun