Mohon tunggu...
Abd Rahman Hamid
Abd Rahman Hamid Mohon Tunggu... Sejarawan - Penggiat Ilmu

Sejarawan

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Baharuddin Lopa, Generasi Emas Indonesia

16 Juli 2024   19:15 Diperbarui: 16 Juli 2024   19:16 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karya-karya B. Lopa (Dok. AR Hamid)

Lebih dari dua dekade terakhir, belum ada tokoh Indonesia yang dapat menyamai dedikasi Baharuddin Lopa (1935-2001) dalam penegakan hukum dan pemberantasan korupsi di Tanah Air.

Lopa mewakili generasi unggul Mandar yang belum ada gantinya sampai sekarang. Ia sering menjadi rujukan atau sumber rumusan konsep tomalaqbiq, yakni orang yang memiliki kelebihan atau keutamaan dibandingkan dengan orang biasa (Idham & Saprillah, 2013).  

Kalau kita membaca sejarah hidup Lopa, ia termasuk salah satu generasi emas yang dihasilkan sejarah Indonesia pada abad ke-20. Ia telah menunjukkan kemampuannya dalam berpikir dan berperilaku yang luar biasa melampaui kepentingan diri dan keluaganya guna memajukan bangsa Indonesia.

Ketika penduduk Mandar berusaha menyelamatkan diri dengan cara mengungsi ke luar Mandar akibat kekacauan yang ditimbulkan oleh gerakan DI/TII dan Batalyon 710 pada tahun 1950-an dan 1960-an, Lopa justru menerima tanggung jawab menjadi Kepala Daerah Majene pertama (1960-1963), meskipun keselamatannya menjadi taruhan.   

Bagaimana pembentukan karakter Lopa menjadi manusia unggul atau tomalaqbiq? Tulisan ini menjelaskannya dari segi internaslisasi nilai kebaharian dan keislaman pada diri Lopa.  

Nilai Kebaharian 

Lopa lahir di lingkungan kebudayaan bahari Mandar. Dalam sejarah bahari Indonesia, orang Mandar dikenal sebagai pelaut tua terbaik dari Sulawesi yang hidup dari pelayaran dan perdagangan.   

Selain menjalani kehidupan pelaut, Lopa amat telaten mempelajari kebudayaan bahari dari perspektif ilmu hukum. Faktanya, saat promosi doktor di Universitas Diponegoro, ia mengajukan disertasi dan kemudian diterbitkan menjadi buku (1982) berjudul Hukum Laut, Pelayaran, dan Perniagaan (Penggalian dari Bumi Indonesia Sendiri).   

Karya Baharuddin Lopa (Dok. AR Hamid)
Karya Baharuddin Lopa (Dok. AR Hamid)

Buku ini dibuka dengan satu pandangan filosofis: pura tangkisi' gulikku, pura babbara' sompe'ku, ulebbirengngi telling natowalie, yang berarti: "[bila] telah kupasang kemudiku, telah kukembangkan layarku, [maka] kupilih tenggelam dari pada surut langkah". Ini menjadi stimulus Lopa yang berani bertindak apa pun, sejauh telah diyakini benar, dalam menegakkan hukum.  

Selain itu, pelaut Mandar punya satu nilai filosofis: "tania tau passobal, moag mappelinoe, lembong ditia, mepazdottong lawuang", bahwa "bukanlah seorang pelaut, bila menanti redanya ombak, karena justeru ombaklah, mengantar kita mencapai tujuan". Dalam hal ini, ombak merepresentasikan tantangan yang harus dihadapi oleh pelaut untuk mencapai tujuan.   

Ketika menegakkan hukum, Lopa sering menghadapi berbagai macam tantangan, bahkan acaman keselamatannya dari orang-orang yang terganggu oleh usahanya. Namun, Lopa tidak mau mundur, apalagi berhanti melangkah, bila telah meneguhkan pandangan dan usaha untuk menuntaskan kasus korupsi selama kurang lebih 16 tahun menjadi Kepala Kejaksaan Negeri di Ternate, Sulawesi Tenggara, Aceh, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Selatan (Sulsel).

Saat menjabat Kepala Kejaksaan Tinggi di Sulsel (1982-1986), tidak kurang dari 300 kasus korupsi yang berhasil dibongkar dan berhasil menyelamatkan pula kekayaan negara senilai kurang lebih 28 milyar rupiah yang dikorup oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab sebelum Lopa bertugas di Sulsel. Ia tak gentar dengan ancaman dari orang-orang yang dibongkar kasusnya. Baginya, penegakkan hukum tak pandang bulu.

Nilai Keislaman 

Lopa dibesarkan dalam masyarakat Pambusuang yang amat religius. Dalam masyarakat ini, peranan ulama sangat penting menyiapkan generasi muda berkarakter unggul yang mengutamakan nilai-nilai kejujuran, seperti yang dipraktekkan oleh Lopa.   

Lopa sangat terinsipirasi dengan kehidupan para ulama dalam mempraktekkan kejujuran secara total. Ia menulisnya di harian Republika (14/6/1993) berjudul "Dosa Kecil Berakibat Besar". Pada suatu hari, di tahun 1930-an, seorang ulama terkenal di Pambusuang, Haji Sahabuddin Annangguru Hawu, memimpin pengajian rutin dengan ulama-ulama lain. Ia merasakan ada semacam tirai yang menghalagi keterbukaan pikiran mereka menghadapi masalah yang sedang dibahas.

Anangguru menutup kitabnya dan memanggil isterinya untuk mengenai asal usul bahan-bahan yang digunakan membuat teh yang disuguhkan kepada mereka. Istrerinya mengatakan bahwa semua bahan itu diambil dari rumah mereka. Tetapi, Anangguru tidak puas. Ia meminta isterinya mengingat lagi apa saja dan dari mana bahan untuk menyiapkan teh tersebut.   

Setelah isterinya ke dapur dan bertanya kepada anaknya, barulah diketahui bahwa anaknya telah memungut beberapa lembar daun kelapa kering tanpa izin tentangganya lalu digunakan menyalakan api saat memasak air panas. Anangguru pun menyuruh anaknya mencari tetanganya untuk minta maaf dan keikhlasan menghalalkan daun kelapa kering yang sudah diambilnya. Setelah itu, pengajian kembali berjalan lancar dan segala masalah yang semula sulit dipahami, kini menjadi mudah.

Jadi, kalau kita melakukan perbuatan suci, jangan sekali-kali dicampuri dengan perbuatan yang kurang terpuji, karena itu akan berakibat menggagalkan usaha suci tersebut. Hal ini, tulis Lopa (1996), ditegaskan dalam QS. Al-Baqarah ayat 42, bahwa "Dan janganlah kamu mencampuradukan yang hak dan yang bathil, dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui".

Kisah tersebut memberikan inspirasi bahwa kita harus selalu berhati-hati agar tidak melakukan hal-hal yang kurang terpuji, betapa pun kecilnya (baca: dosa kecil). Pasalnya, bila kita sudah terbiasa melakukannya, maka dosa-dosa besar pun kelak berani dilakukan, kata Lopa.   

Kisah Lopa menunjukkan pentingnya sejarah sebagai sumber inspirasi kehidupan, sebagaimana anjurannya bahwa "Marilah kita mempelajari sejarah dan yang lebih penting lagi ialah berusaha mengambil hikmahnya dari sejarah itu sendiri".

Sejarah Lopa mencerminkan betapa kuatnya internalisasi nilai kebaharian dan keislaman dalam memberantas masalah korupsi tanpa pandang bulu, sehingga ia dijuluki pendekar korupsi. Inilah yang membuat Lopa termasuk deretan generasi emas Indonesia abad ke-20.   

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun