Sungguh senang rasanya, kami disambut dengan sangat meriah. Ada empat orang (saya, Petrik dari majalah historia, mas Raymon, dan seorang laskar dari Papua) dipilih untuk turun lebih awal mendampingi komandan kapal Dewaruci. Setelah berada di dermaga, kami diberi penutup kepala "tobarani" warna merah kepada komandan kapal dan kami berempat dengan penutup kepala berwarna hitam. Lalu, didampingi oleh Wakil Bupati dan kepala komandan Lanal Makassar serta para pejabat lainnya kami berjalan menuju tempat acara penyambutan. Saat itu saya bertemu rekan kerja lama saya di PKH, Usman (Korkab PKH Selayar) dan rekan kuliah saat S1 di UNM, Abdul Jabbar, S.Pd, serta Kepala Dinas Pendidikan Selayar (yang juga senior saya di UNM), Pak Mustakim. Setelah sambutan koordinator JR, Ibu Yusmawati, dan Wakil Bupati Selayar, kami dipersilahkan ke bus untuk menuju tempat penginapan (sebuah vila) di tepi pantai. Saya satu kamar dengan Pak Taqy, kawan kuliah saya S3 di FIB UI.
Siang hari sekitar pukul 14.00, kami meninggalkan villa menuju Museum Nekara Selayar. Di sana terdapat banyak peninggalan sejarah dan kebudayaan Selayar. Saya tertarik dengan beragam temuan keramik Cina dari abad ke-13 sampai 15 yang diambil dari perairan Selayar. Yang juga tidak kalah penting, sebagai peneliti sejarah maritim, saya melihat empat atau lima miniature perahu lokal yang disebut lambo. Jenis perahu ini khas dipakai oleh pelaut Buton. Di wilayah pulau-pulau Selayar memang mayoritas dihuni oleh orang Buton, sehingga tak heran perahu lambo menjadi satu ciri khas dari kebudayaan bahari Selayar. Dari museum itu peserta bergerak ke lapangan, tempat acara peringatan hari jadi Selayar ke-418 tahun. Sementara rombongan kami, yang pakai mobil Inova, singgah sebentar di museum jangkar dan meriam di Kampung Padang. Dari sana baru menuju ke lapangan. Tak lama kemudian adzah magrib berkumandan, kami menuju masjid raya/agung Selayar untuk shalat berjamaah. Setelah itu kembali ke lapangan. Namun, karena masih lelah, kami diberikan kesempatan untuk kembali ke penginaman istirahat. Â
Esok harinya, (hari kedua di Selayar), Selasa 29 November, kami ke lapangan untuk mengikuti rangkaian acara hari jadi Selayar, yakni menyaksikan parade siswa siswa Selayar, dilanjutkan minum air kelapa secara massal di lapangan, dan workshop masak bersama Mas Seto. Setelah acara itu, saya diajak oleh tiga kawan saya (Jabbar, Arif Wijoyo, dan Fajrin) untuk makan siang bersama di dekat pelabuhan Seayar dengan sajian utama ikan bakar, menu favorit saya. Lalu kembali ke tempat acara.Â
Kali ini, Fajrin menawarkan untuk mengantar kami dengan mobil ayahnya ke Gantarang Lalang Bata, pusat dan tempat pertama syiar agama Islam di Selayar. Empat orang laskar ikut dalam perjalanan itu. Sekitar pukul 16.30 kami menuju Gantarang dan tiba 30 menit kemudian.Â
Kami mengamati masjid dan masuk ke dalam melihat arsitektur dalam masjid, keris pajang yang didalamnya terdapat naskah khutbah dalam bahasa Arab. Sebelum pukul 18.00, kami segera meninggalkan tempat itu, karena pukul 19.00 harus sudah tiba di penginapan, karena malam itu akan diadakan acara makam bersama dengan awak KRI Dewaruci. Kami tiba di penginapan sekitar pukul 19.10 WITA. Setelah mengantar kami, tiga kawan saya pun kembali ke rumah masing-masing dan kami ke kamar untuk bersiap-siap mengikuti acara malam ini. Setelah makam malam diadakan sejumlah penampilan oleh laskar rempah, serta foto bersama dan bernyanyi di lapangan terbuka. Acara berakhir sekitar pukul 13.00. Setelah Komandan Dewaruci dan krunya kembali pulang, kami pun beristirahat.
Esok pagi, Kamis 30 November, pelaksanaan seminar Jalur Rempah dan Budaya Bahari di aula Dekranasda Selayar. Kami bertiga, Pak Idham, Pak Taqy dan saya menjadi narasumber dari unsur Kemdikbudristek dan seorang dari unsur pelaku industry kreatif kelapa. Materi yang kami sajikan tak jauh dari apa yang sudah kami ceritakan dengan para laskar di atas kapal Dewaruci. Setelah seminar, pak Taqy dan saya diminta untuk menyampaikan sedikit penjelasan kepada kru TV Indonesiana. Lalu menuju ke perkampungan di mana terdapat pengrajin jelly kelapa dan pengolahan sabuk kelapa, terus ke kampung tepi pantai menyaksikan prosesi adat siklus hidup orang Selayar yang sarat dengan penggunakan kelapa dan panjat kelapa oleh warga. Kami sangat menikmati rangkaian acara ini. Malam hari dilanjutkan menangkap ikan di laut bersama warga setempat. Namun, kami (pak Idham, pak Taqy, dan bu Dedeh) pulang lebih cepat untuk beristirahat di penginapan.
Jumat 1 Desember pagi kami menuju Makassar. Pada saat yang sama, tepat pukul 08.00 WITA, kapal KRI Dewaruci meninggalkan dermada Selayar untuk berlayar menuju Tidore (Maluku Utara) via pelabuhan Baubau (Buton). Bus menuju pelabuhan penyebrangan Verry Pamatata Selayar. Kapal verry berangkat setelah shalat Jum'at. Kami shalat berjamah di sebuah masjid dekat pelabuhan. Sekitar pukul 13.30 kami naik kapal dan 30 menit kemudian berlayar ke pelabuhan Bira, Bulukumba. Sebelum lanjut ke Makassar, kami terlebih dahulu singgah di tempat pembuatan perahu/kapal pinisi sekitar 1 jam lamanya. Lalu ke Makassar. Kami singgah makam malam di Kab. Bantaeng, dan lanjut ke Makassar. Kami menginap di Hotel Grand Mall Maros. Tiba di sana dini hari, 2 Desember, pukul 00.30 WITA. Saya di kamar sendiri kurang lebih 2 jam 30 menit. Pada pukul 03.00 naik grab ke bandara untuk kembali ke Lampung via Jakarta.
***
Sebelum mengakhiri rihlah ini, saya ingin mengutip apa yang pernah dikatakan oleh seorang filsuf besar Inggris, Bertrand Arthus William Russel (1872-1970), bahwa "segala kenang-kenangan kiat akan masa silam, ternyata baru diciptakan lima menit yang lalu" (Ankersmit, 1987: 77). Mengapa lima menit yang lalu? Mungkin itu yang mudah kita ingat. Sebab, apa dan seberapa banyak pengalaman di masa lalu, ia baru hadir atau diingat setelah kita butuhkan sekarang atau "lima menit yang lalu" kata Russel. Dengan begitu, maka sudah barang tentu tidak semuanya dapat diingat. Hanya pengalaman yang berkesan dan memiliki jejak (sumber sejarah) yang bisa ditulis menjadi kisah sejarah. Jadi, tidak semua masa lalu dapat ditulis, karena keterbatasan pelaku atau penulis sejarahnya. Begitu pula dengan tulisan ini. Â Â
Lampung, 2 Januari 2024 Â
Abd. Rahman Hamid