Mohon tunggu...
Abd Rahman Hamid
Abd Rahman Hamid Mohon Tunggu... Sejarawan - Penggiat Ilmu

Sejarawan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Visi Akademik Profesor Susanto Zuhdi

15 Mei 2023   14:00 Diperbarui: 15 Mei 2023   14:34 992
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tim Penyunting buku "Meniti Ombak Sejarah: Untaian Persembahan 70 tahun Profesor Susanto Zuhdi" (Foto ARH)

Sejak kuliah di Program Sarjana pada Program Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Makassar (UNM, 2000-04), saya berharap dapat dibimbing oleh Adrian Bernard Lapian (1929-11) apabila kelak melanjutkan pendidikan pascasarjana. Nama nakhoda pertama sejarawan maritim di Indonesia itu sering disebut oleh dosen-dosen UNM lulusan Universitas Indonesia. Saya juga membaca dan menggunakan disertasi Lapian ketika menulis skripsi. Sayangnya, sebelum harapan itu terwujud, ia telah dipanggil Tuhan.

Kendati demikian, saya bersyukur dibimbing oleh Profesor Dr. Susanto Zuhdi  selanjutnya saya menyebutnya Prof. Santo atau Zuhdiketika mengikuti kuliah Program Doktor Ilmu Sejarah di UI (2013-19). Selain sebagai murid Lapian, ia ahli sejarah Buton. Dari hasil bacaan atas karya-karyanya, saya menemukan tiga visi akademik Prof. Santo yaitu (1) perspektif sejarah Tanah Air, (2) membangun identitas kedua keilmuan, dan (3) menulis sejarah yang terabaikan. Tulisan ini membahas tiga visi itu sebagai persembahan saya saat 70 tahun Prof. Santo (1953-2023). 

Perspektif Sejarah Tanah Air

Saya pertama kali mengenal Prof. Santo di Universitas Hasanuddin Makassar pada 2006 ketika ia menyampaikan kuliah umum bagi mahasiswa Fakultas Sastra (sekarang Fakultas Ilmu Budaya) di Aula Prof. Mattulada. Saat itu saya duduk di semester tiga Program Studi Magister Antropologi peminatan Sejarah. Topik kuliah Prof. Santo ialah "Perspektif Tanah Air dalam Sejarah Indonesia" yang diambil dari pidato pengukuhan Guru Besar Ilmu Sejarah di UI (2006).

Menurut Zuhdi, Tanah Air merupakan konsep keseimbangan yang tepat untuk melukiskan sejarah Indonesia. Konsep ini ia kutip dari pidato Muhammad Yamin (1903-62) pada sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (31 Mei 1945) yang menyatakan, "Indonesia itu ialah sesuatu benua kepulauan, yang dipersatukan oleh selat yang lebaratau oleh selat yang sempit sehingga batas negara dengan sendirinya mesti ditentukan oleh aturan laut dan aturan daratan." Lebih lanjut ia mengatakan, ". . . membicarakan daerah Negara Indonesia dengan menumpahkan perhatian kepada pulau dan daratan sesungguhnya adalah berlawanan dengan keadaaan yang sebenarnya. Tanah Air Indonesia ialah terutama daerah lautan dan mempunyai pantai yang panjang" (Sekretariat Negara 1995: 47, 54). 

Apabila mencermati perkembangan historiografi Indonesia, terutama karya dua sejarawan utama, yaitu Sartono Kartodirdjo (1921-2007) dan Adrian Bernard Lapian (1929-2011), tampak bahwa masing-masing pakar mengambil fokus studi tertentu dari unsur "tanah" dan "air" dalam arti harfiahnya. Kartodirdjo fokus pada kajian petani (unsur tanah) dan Lapian mengenai pelaut (air). Bila Kartodirdjo adalah guru Lapian, maka Lapian merupakan guru Zuhdi. Kartodirjo pernah menjadi penguji disertasi murid Lapian itu. Tak heran bila Zuhdi berupaya mengambil jalan tengah di antara dua sejarawan utama itu dengan merumuskan perspektif Tanah Air dalam sejarah Indonesia. 

Kendati tidak disebutkan secara eksplisit dalam disertasinya, di bawah bimbingan Lapian (promotor) dan Taufik Abdullah (kopromotor), konsep Tanah Air sudah menjadi fokus studi Zuhdi. Ketika menjelaskan dinamika Kesultanan Buton, ia menempatkan aspek laut dan darat secara seimbang berdasarkan fakta geografis kesultanan itu yang terdiri atas unsur daratan (Tanah) dan lautan (Air). Formasi pertahanan Buton tidak hanya dibuat untuk mengatasi masalah internalnya di darat, tetapi juga ancaman yang datang kepadanya dari seberang lautan terutama Ternate dari arah timur dan Makassar (Gowa-Tallo) dari barat.

Implementasi konsep Tanah Air tampak pula pada tesisnya (1991), di bawah bimbingan Lapian, tentang kebangkitan dan keruntuhan Pelabuhan Cilacap (1830-1942). Tesis ini terbit pertama kali pada 2002, kemudian terbit ulang 2016. Pelabuhan Cilacap berkembang berkat dukungan daerah pedalaman yang subur dan kaya hasil pertanian, selain didukung jaringan transportasi darat (kereta api) dan sungai. Pelabuhan merupa-kan tempat pertemuan orang dan barang dari daratan dan seberang lautan. Dengan mengkaji pelabuhan, ia telah menulis sejarah Tanah Air (Zuhdi 2014: 157).

Menurut Zuhdi, ada empat fungsi pelabuhan. Pertama, tempat pertemuan barang (aktivitas perdagangan); menjadi indikator pertumbuhan ekonomi suatu daerah. Dari pelabuhan dapat diketahui jumlah barang yang diekspor dan diimpor. Kedua, fungsi sosial, dalam hal ini pertumbuhan kota yang terimbas oleh pasang-surut aktivitas pelabuhan; memberi fasilitas bagi perkembangan sosial-ekonomi. Ketiga, fungsi sosial-kultural. Bahwa struktur pelabuhan memberi peluang besar bagi pertemuan berbagai kelompok yang sama dan berbeda latar suku bangsa, agama, dan negara. Keempat, fungsi militer bagi armada angkatan laut (Zuhdi 2017: 112).   

Kembali pada perkenalan dengan Prof. Santo. Sebelum bertemu langsung, saya sudah membaca disertasinya Labu Rope Labu Wana: Sejarah Butun dalam Abad XVII-XVIII (1999), dan dua makalahnya, "Buton: Sejarah Pulau-pulau yang Terabaikan dan Pulau-pulau Sejarah yang Terabaikan (1997)" dan "Jejak Orang Buton dalam Sejarah Maritim Indonesia" (2002). Dua makalah itu diterbitkan dalam kumpulan karangannya, Nasionalisme, Laut, dan Sejarah (2014). Selain itu, sebuah buku lain juga telah saya baca, Kesultanan Buton (1996).

Saya senang mengenal orang Jawadalam hal ini Prof. Santoyang ahli Buton. Apalagi ia menulis judul utama disertasinya Labu Rope Labu Wana (berlabuh di haluan dan buritan) dalam bahasa Ciacia, yakni bahasa pertama yang digunakan di pesisir barat Pulau Seram Provinsi Maluku. Empat tahun setelah pertemuan kami di Universitas Hasanuddin, disertasi Prof. Santo terbit dengan judul sedikit dimodifikasi dari versi aslinya, Sejarah Buton yang Terabaikan: Labu Rope Labu Wana (2010). Saya membelinya pada tahun itu juga.   

Mulai saat itu, saya terobsesi ingin belajar langsung kepada Prof. Santo bila kuliah di UI. Pada waktu itu hanya ada dua kampus di Tanah Air yang membuka Program Doktor sejarah yakni UI dan Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta. Sebenarnya, saya sudah menjajaki peluang kuliah di UGM setelah bertemu Prof. Bambang Purwanto (guru besar sejarah UGM). Akhirnya saya memutuskan kuliah di UI karena berharap diajar oleh Prof. Santo yang ahli Buton, dan dua guru besar sejarah lainnya, A. B. Lapian dan R. Z. Leirissakeduanya pakar sejarah maritim yang sering saya dengar namanya sejak kuliah di UNM. Bukan kebetulan pula, saya menggunakan disertasi Lapian pada saat menulis skripsi, dan mengacu disertasi Leirissa ketika menulis tesis.    

Membangun "Identitas Kedua"

Pada 12 April 2013, saya bersama Abd. Rahman (dosen Universitas Khaerun, Ternate) menemui Prof. Santo di ruang kerjanya saat ia menjabat sebagai staf ahli Menteri Pertahanan (2011-13), untuk meminta rekomendasi kuliah Program Doktor di UI. Kami melewati tiga titik pemeriksaan aparat keamanan sebelum bertemu Prof. Santo sekitar tengah hari. Kepada Prof. Santo, kami menunjukkan buku-buku dan artikel jurnal karya kami sebagai bahan pertimbangan rekomendasi. Tampak, ia mengapresiasi dengan baik karya-karya kami.  

Kami memperkenalkan rencana riset masing-masing. Rahman bermaksud meneliti tentang Bacan, kerajaan tertua di Maluku Utara yang tergabung dalam konfederasi lokal Maloku Kie Raha (MKR: Bacan, Ternate, Tidode, Jailolo). Kami diajak Prof. Santo melihat sebuah peta besar di ruang kerjanya. Ia mengatakan bahwa kajian Bacan sudah ditulis oleh Lapian. Rahman kemudian menyampaikan tentang Loloda, sebuah kerajaan yang terabaikan dalam sejarah Maluku Utara, dan tidak tergabung dalam MKR. Tampaknya, diskusi tentang Loloda lebih menarik karena terkait dengan isu "sejarah yang terabaikan" sebagaimana dikembangkan Prof. Santo.

Setelah itu, saya menyampaikan rencana studi tentang Binongko, komunitas bahari di Kabupaten Wakatobi (akronim yang dibentuk dari penggal suku kata pertama dari Wangi-wangi, Kaledupa, Tomia, Binongko), Provinsi Sulawesi Tenggara. Saya tertarik mengkaji Binongko setelah menulis tesis tentang pelayaran dan perdagangan Buton di Kepulauan Wakatobi (Hamid 2007). Nama Binongko sangat dikenal di Maluku. Selain sebagai pusat pelayaran paling dikenal karena keberanian para pelautnya, Binongko merupakan pusat syiar Islam. Dari sana lahir para ulama yang giat berdakwah di Sulawesi Tenggara, Maluku, dan Papua. Argumentasi saya tentang Binongko tampaknya kurang menarik perhatian Prof. Santo. Mungkin karena ia sudah mengkaji Buton dan mengetahui tentang Binongko. Lalu ia mengalihkan ke fokus lain.

Sebelum diskusi berlanjut, Prof. Santo mengatakan bahwa sejarawan perlu memba-ngun keahlian di luar "identitas pertama"-nya. Ia mengambil contoh dirinya sebagai orang Jawa yang ahli Buton. Begitu pula kami; Rahman adalah orang Makassar yang diharapkan akan menjadi ahli Loloda, sedangkan Hamid adalah orang Buton yang kelak menjadi ahli Mandar. Itulah second identity atau "identitas kedua" sejarawan, kata Prof. Santo. Dengan cara itu, sejarawan mudah mengenali dan memahami ragam suku bangsa di Tanah Air. Itu juga wujud implementasi semboyan bangsa kita, Bhineka Tungga Ika. 

Khusus terhadap rencana studi Doktor saya tentang Buton, Prof. Santo berkomentar bahwa bila hal itu saya lakukanpadahal saya adalah orang Buton yang sudah menulis tentang Butonmaka semuanya akan "menjadi Buton." Ia mengingatkan, Indonesia bukan hanya Buton. Masih banyak yang lain. Bila memang berminat mengkaji suku bangsa bahari, saya disarankan memilih wilayah lain yang belum banyak dikaji semisal (orang) Mandar. Terus terang saat itu saya belum bisa berbicara banyak tentang Mandar, seperti saat menjelaskan tentang Binongko, karena pengetahuan saya mengenai suku bangsa bahari di Provinsi Sulawesi Barat itu masih minim. Meski demikian, saya setuju dengan saran Prof. Santo.

Pada malam hari, sekembali dari pertemuan itu, saya menulis esai pendek tentang Mandar sebagai proposal awal kelengkapan berkas pendaftaran di Program Doktor di UI. Singkat kata, lamaran saya untuk kuliah Program Doktor diterima dengan rencana penelitian tentang Mandar sebagaimana saran Prof. Santo. Konsisten dengan rencana itu, saya berupaya keras mencari aneka bahan penelitian tentang Mandar. Saat memberi kuliah di kelas, Prof. Santo selalu mengajak kami membangun second identity dalam riset dengan menerapkan teori dan metodologi sejarah sesuai fokus kajian masing-masing.

Saya menyadari tidak mudah membangun identitas kedua dalam tradisi keilmuan. Perlu kerja keras, disiplin, dan konsistensi terhadap bidang kajian yang dipilih. Seperti cinta sejati, ia harus diperjuangan dengan cara apa pun dan pada kondisi apa pun. Sesuatu yang diperjuangkan dengan sungguh-sungguh akan membuahkan hasil yang membanggakan. Keahlian itu ibarat kartu nama yang menjadi penanda diri pemiliknya saat berkomunikasi dengan publik.  

Prof. Santo sendiri sangat konsisten membangun identitas kedua keilmuan Buton pada setiap momen akademik. Jika orang mendengar atau membaca tulisannya tentang Buton tanpa mengetahui bahwa ia adalah orang Jawa, orang akan yakin bahwa penulis tentang Buton itu adalah "benar" orang Buton. Bahkan, menurut saya, orang Buton perlu belajar tentang kampung halamannya kepadanya.  

Menulis Sejarah yang Terabaikan 

Visi ini tampak pada tesis Zuhdi tentang Pelabuhan Cilacap. Mengutip pendapat Thomas Lindblad, sejarawan asal Belanda, Cilacap adalah pelabuhan "salah letak" di pantai selatan Jawa dalam jaringan Samudra Hindia. Pada umumnya pelabuhan di Jawa terletak di pantai utara dalam sistem Laut Jawa. Kenyataan itu membuat sejarah Cilacap dan pelabuhannya makin terabaikan. Namun, penelitian Zuhdi menemukan bahwa Cilacap merupakan saingan bagi pelabuhan lain di pantai utara Jawa yang posisinya tepat, seperti Semarang dan Cirebon. Cilacap bersaing dengan Cirebon dalam impor beras dan kedelai; juga bersaing dengan Semarang dalam ekspor gula. Cilacap merupakan pelabuhan paling ramai di Jawa dalam kurun 1909-30. Komoditas ekspornya adalah gula, kopra, karet, teh, dan sebagainya. 

Kendati dipandang salah letak, Pelabuhan Cilacap sangat penting dan strategis menjelang Perang Pasifik di Jawa. Ketika pasukan Jepang menduduki Jawa, Cilacap berfungsi sebagai tempat pengungsian bagi personel sipil dan militer Hindia Belanda sebelum berangkat ke Australia dan Kolombo (Srilangka). Kapal-kapal Belanda digiring ke Cilacap setelah kerusakan pelabuhan Surabaya dan Tanjung Priok akibat serangan Jepang. Seluruh hubungan laut di Jawa bergantung pada Cilacap. Kalau begitu, Cilacap seharusnya tidak terabaikan dalam sejarah. 

Apabila dalam tesisnya Zuhdi belum mengemukakan visinya secara eksplisit, maka dalam disertasinya visi itu tersurat jelas seperti petikan kalimat, "Sejauh ini, sejarah Buton baru dilihat dari perspektif Gowa dan Ternate. Itulah sebabnya jika tetap berpe-gang pada pandangan hegemonik saja, sejarah Buton sungguh terabaikan dari peta penyelidikan sejarah Indonesia" (Zuhdi 2010: 3). Selanjutnya, di bagian lain ia menulis,


Selain diharapkan bertambahnya the body of knowledge [ . . . ] kajian ini juga bermaksud menjawab problematik sejarah yang terabaikan. Dengan demikian, maka "sejarah pulau yang terabaikan" (dalam hal ini "pulau" Buton), dilengkapi dengan kajian "pulau (pulau) sejarah yang terabaikan" (neglected islands of history) (Zuhdi 2010: 10).  

Dalam penerbitan disertasinya, Sejarah Buton yang Terabaikan (2010, 2018), Zuhdi menegaskan kembali visinya. Dalam historiografi Indonesia Timur, sejarah Buton masih terabaikan karena tiga faktor penyebabnya. Pertama, Buton terjepit di antara Gowa dan Ternate; kedua, Buton pernah bersekutu dengan VOC/Belanda; dan ketiga, konsekuensi-nya terjadi pengucilan terhadap Buton dalam historiografi yang cenderung berpihak pada pihak yang "menang." Dinyatakan lebih lanjut, 

Adalah jelas sekali bahwa berakhirnya penjajahan Belanda ditandai dengan proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia. Jika persekutuan Buton dan VOC dilihat sebagai kesinam-bungan sejarah, maka Buton berada pada pihak yang "kalah." Bahkan secara ekstrem orang Buton dianggap sebagai "pengkhianat." Stigmatisasi seperti itu masih belum terhapus sepenuhnya hingga sekarang (Zuhdi 2010: 14).

Dalam suatu kesempatan bimbingan disertasi, Prof. Santo pernah mengatakan bahwa sebelum diangkat sejarahnya, orang Buton memandang dirinya "belum ada apa-apanya." Namun, setelah penelitian Prof. Santo, barulah orang Buton merasa "punya sejarah." Maksud kalimat terakhir adalah bahwa sering kali pribadi atau kelompok terabaikan dalam sejarah bukan karena memang begitu adanya pada masa lalu, tetapi karena sejarahnya belum ditulis. 

Masa silam yang ada "di sana" tidak akan hadir "di sini" tanpa ada upaya untuk menghadirkannya. Dan upaya itulah yang dilakukan oleh sejarawan. Taufik Abdullah, sejarawan senior, mengatakan bahwa sejarah tidaklah ada dengan sendirinya. Sejarah adalah hasil dari usaha untuk merekam, melukiskan, dan menerangkan peristiwa di masa lalu. Bisa jadi sejarah adalah sebuah hasil yang sejujur mungkin ingin merekam dan "merekonstruksi" ingatan, baik yang kolektif maupun yang pribadi, tetapi mungkin juga sejarah bermaksud "menemukan kembali" peristiwa (apa, siapa, di mana, dan bila) yang telah terkubur dalam impitan zaman. Sejarah adalah hasil yang didapatkan dengan sengaja ketika berbagai pertanyaan tentang masa lalu telah dirumuskan. Dengan demikian, "sejarah" sesungguhnya ditentukan oleh jenis pertanyaan yang telah dirumus-kan (Abdullah 2001: 98-9).

Suatu tanyaan lahir dari rasa ingin tahu dan keprihatinan intelektual mengenai masa silam pribadi atau kelompok tertentu. Apakah benar Buton "pengkhianat" karena pernah bersekutu dengan VOC/Belanda dalam abad ke-17? Tanyaan ini bisa dilanjutkan, "berkhianat kepada siapa." Sering kali orang menggunakan cara pandang sekarang dalam melihat masa silam. Padahal, Indonesia sebagai sebuah negara-bangsa belum lahir ketika Buton dinilai "berkhianat" itu.

Tidak puas hanya menulis disertasi, Zuhdi mengembangkan salah satu bab studinya itu menjadi penelitian lanjutan untuk meninjau kembali stigma pejoratif Buton sebagai "pengkhianat" dalam sejarah Tanah Air. Bersama Muslim A. R. Effendy (bimbingannya di Program S-3 Sejarah UI; sekarang Kepala Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XIV Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan), Zuhdi menulis tentang Perang Buton versus Kompeni Belanda (1752-76) dengan fokus pada kepahlawanan La Karambau. Penelitian itu menemukan bahwa

Dalam sejarah Indonesia, Buton tidak hanya disebut secara sekilas, tetapi juga tidak diketahui bahwa sesungguhnya Buton pernah melakukan perlawanan terhadap VOC. Kenyataan sejarah itu tentu saja bertolak belakang dengan anggapan yang selama ini dikenal bahwa Buton merupakan sekutu VOC (Zuhdi dan Effendy 2015: 4).   

Tentang kiprah Sultan Buton dua periode (1752-55 dan 1760-63), antara lain dilukiskan,

La Karambau, Sultan Himayatuddin, Oputa Yikootiga nama dalam personifikasi seorang pribadiadalah sosok yang konsisten memperjuangkan nilai-nilai kebebasan dan kemerde-kaan dari kekuasaan asing (VOC) dan tidak pernah menyerah hingga akhir hayatnya (Zuhdi dan Effendy 2015: 119).

Disertasi dan buku tersebut menjadi bahan utama pengajuan La Karambau sebagai calon pahlawan nasional dari Provinsi Sulawesi Tenggara, yang sampai saat itu belum punya pahlawan nasional. Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 120/TK/Tahun 2019, tanggal 7 November 2019, La Karambau Sultan Himayatuddin Muhammad Saidi Oputa Yii Ko ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional yang ke-181. Penetapan ini bermakna penting bagi Buton. Betapa tidak, daerah itu sering dianggap "sekutu abadi" Belanda. Dengan penetapan pahlawan nasional itu, jelas Buton bukanlah sekutu abadi kompeni karena Himayatuddin berperang melawan musuh sehingga cukup kuat alasan untuk menjadikannya pahlawan nasional.

Bukan faktor kebetulan apabila La Karambau berjuang selama 24 tahun untuk membebaskan negerinya (liwuno) dari "beban" sejarah. Ia tidak mau terikat, apalagi patuh, pada sejumlah perjanjian yang dibuat oleh pendahulunya dengan Belanda yang tidak menguntungkan Buton. Selama 24 tahun pula (sejak 1995 meneliti Buton), Zuhdi memperjuangkan Buton di mimbar akademik agar terbebas dari stigma pejoratif yang kerap disematkan kepadanya. Kini, orang Buton dan masyarakat Sulawesi Tenggara pada umumnya patut berbangga karena sudah memiliki pahlawan nasional. 

Setelah Buton memiliki pahlawan nasional, Zuhdi melanjutkan visinya dengan memimpin riset diaspora Buton di Indonesiaberlangsung pada 2009 dan 2018-19. Dari riset ini lahir sebuah buku tentang orang Buton dalam diaspora Nusantara dan integrasi bangsa (Zuhdi, dkk. 2019). Dua tahun terakhir, di bawah proyek pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara, Zuhdi terlibat dalam riset diaspora Buton di Sulawesi, Maluku, Kalimantan, dan Sumatera. 

7 karya Profesor Susanto Zuhdi (Foto ARH)
7 karya Profesor Susanto Zuhdi (Foto ARH)

Catatan Akhir

Semua usaha yang dilakukan Prof. Santo mencerminkan dedikasinya yang tinggi untuk mengkaji dan mengembangkan terus perspektif baru kesejarahan Indonesia. Usaha ini mengingatkan pada pemikiran gurunya, Profesor Nugroho Notosusanto (2000: 24), bahwa "Sejarawan, pokok-karyanya memang terletak di masa lampau. Tetapi ia berdiri teguh pada masa kini, sedangkan pandangannya senantiasa menatap ke depan."

Apa yang dilakukan oleh Prof. Santo mengingatkan pada argumen Levi-Strauss bahwa "history is never only history of, it is always history for" (Southgate 1996: 48). Menurutnya, sejarah tidak hanya membicarakan mengenai (of) masa lalu, tetapi untuk (for) apa ia ditulis. Pada konteks ini, kajian sejarah tidak hanya untuk memenuhi kepentingan teori dan metodologi, tetapi hasilnya diharapkan dapat memberikan manfaat yang besar bagi kepentingan kemanusiaan. 

Tim Penyunting buku
Tim Penyunting buku "Meniti Ombak Sejarah: Untaian Persembahan 70 tahun Profesor Susanto Zuhdi" (Foto ARH)

Penulis menyampaikan terima kasih kepada Pak Kasijanto Sastrodinomo, M.Hum yang telah membaca dan mengedit draft tulisan ini sehingga lebih renyah dibaca. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun