Mohon tunggu...
Abd Rahman Hamid
Abd Rahman Hamid Mohon Tunggu... Sejarawan - Penggiat Ilmu

Sejarawan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Visi Akademik Profesor Susanto Zuhdi

15 Mei 2023   14:00 Diperbarui: 15 Mei 2023   14:34 992
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tim Penyunting buku "Meniti Ombak Sejarah: Untaian Persembahan 70 tahun Profesor Susanto Zuhdi" (Foto ARH)

Saya senang mengenal orang Jawadalam hal ini Prof. Santoyang ahli Buton. Apalagi ia menulis judul utama disertasinya Labu Rope Labu Wana (berlabuh di haluan dan buritan) dalam bahasa Ciacia, yakni bahasa pertama yang digunakan di pesisir barat Pulau Seram Provinsi Maluku. Empat tahun setelah pertemuan kami di Universitas Hasanuddin, disertasi Prof. Santo terbit dengan judul sedikit dimodifikasi dari versi aslinya, Sejarah Buton yang Terabaikan: Labu Rope Labu Wana (2010). Saya membelinya pada tahun itu juga.   

Mulai saat itu, saya terobsesi ingin belajar langsung kepada Prof. Santo bila kuliah di UI. Pada waktu itu hanya ada dua kampus di Tanah Air yang membuka Program Doktor sejarah yakni UI dan Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta. Sebenarnya, saya sudah menjajaki peluang kuliah di UGM setelah bertemu Prof. Bambang Purwanto (guru besar sejarah UGM). Akhirnya saya memutuskan kuliah di UI karena berharap diajar oleh Prof. Santo yang ahli Buton, dan dua guru besar sejarah lainnya, A. B. Lapian dan R. Z. Leirissakeduanya pakar sejarah maritim yang sering saya dengar namanya sejak kuliah di UNM. Bukan kebetulan pula, saya menggunakan disertasi Lapian pada saat menulis skripsi, dan mengacu disertasi Leirissa ketika menulis tesis.    

Membangun "Identitas Kedua"

Pada 12 April 2013, saya bersama Abd. Rahman (dosen Universitas Khaerun, Ternate) menemui Prof. Santo di ruang kerjanya saat ia menjabat sebagai staf ahli Menteri Pertahanan (2011-13), untuk meminta rekomendasi kuliah Program Doktor di UI. Kami melewati tiga titik pemeriksaan aparat keamanan sebelum bertemu Prof. Santo sekitar tengah hari. Kepada Prof. Santo, kami menunjukkan buku-buku dan artikel jurnal karya kami sebagai bahan pertimbangan rekomendasi. Tampak, ia mengapresiasi dengan baik karya-karya kami.  

Kami memperkenalkan rencana riset masing-masing. Rahman bermaksud meneliti tentang Bacan, kerajaan tertua di Maluku Utara yang tergabung dalam konfederasi lokal Maloku Kie Raha (MKR: Bacan, Ternate, Tidode, Jailolo). Kami diajak Prof. Santo melihat sebuah peta besar di ruang kerjanya. Ia mengatakan bahwa kajian Bacan sudah ditulis oleh Lapian. Rahman kemudian menyampaikan tentang Loloda, sebuah kerajaan yang terabaikan dalam sejarah Maluku Utara, dan tidak tergabung dalam MKR. Tampaknya, diskusi tentang Loloda lebih menarik karena terkait dengan isu "sejarah yang terabaikan" sebagaimana dikembangkan Prof. Santo.

Setelah itu, saya menyampaikan rencana studi tentang Binongko, komunitas bahari di Kabupaten Wakatobi (akronim yang dibentuk dari penggal suku kata pertama dari Wangi-wangi, Kaledupa, Tomia, Binongko), Provinsi Sulawesi Tenggara. Saya tertarik mengkaji Binongko setelah menulis tesis tentang pelayaran dan perdagangan Buton di Kepulauan Wakatobi (Hamid 2007). Nama Binongko sangat dikenal di Maluku. Selain sebagai pusat pelayaran paling dikenal karena keberanian para pelautnya, Binongko merupakan pusat syiar Islam. Dari sana lahir para ulama yang giat berdakwah di Sulawesi Tenggara, Maluku, dan Papua. Argumentasi saya tentang Binongko tampaknya kurang menarik perhatian Prof. Santo. Mungkin karena ia sudah mengkaji Buton dan mengetahui tentang Binongko. Lalu ia mengalihkan ke fokus lain.

Sebelum diskusi berlanjut, Prof. Santo mengatakan bahwa sejarawan perlu memba-ngun keahlian di luar "identitas pertama"-nya. Ia mengambil contoh dirinya sebagai orang Jawa yang ahli Buton. Begitu pula kami; Rahman adalah orang Makassar yang diharapkan akan menjadi ahli Loloda, sedangkan Hamid adalah orang Buton yang kelak menjadi ahli Mandar. Itulah second identity atau "identitas kedua" sejarawan, kata Prof. Santo. Dengan cara itu, sejarawan mudah mengenali dan memahami ragam suku bangsa di Tanah Air. Itu juga wujud implementasi semboyan bangsa kita, Bhineka Tungga Ika. 

Khusus terhadap rencana studi Doktor saya tentang Buton, Prof. Santo berkomentar bahwa bila hal itu saya lakukanpadahal saya adalah orang Buton yang sudah menulis tentang Butonmaka semuanya akan "menjadi Buton." Ia mengingatkan, Indonesia bukan hanya Buton. Masih banyak yang lain. Bila memang berminat mengkaji suku bangsa bahari, saya disarankan memilih wilayah lain yang belum banyak dikaji semisal (orang) Mandar. Terus terang saat itu saya belum bisa berbicara banyak tentang Mandar, seperti saat menjelaskan tentang Binongko, karena pengetahuan saya mengenai suku bangsa bahari di Provinsi Sulawesi Barat itu masih minim. Meski demikian, saya setuju dengan saran Prof. Santo.

Pada malam hari, sekembali dari pertemuan itu, saya menulis esai pendek tentang Mandar sebagai proposal awal kelengkapan berkas pendaftaran di Program Doktor di UI. Singkat kata, lamaran saya untuk kuliah Program Doktor diterima dengan rencana penelitian tentang Mandar sebagaimana saran Prof. Santo. Konsisten dengan rencana itu, saya berupaya keras mencari aneka bahan penelitian tentang Mandar. Saat memberi kuliah di kelas, Prof. Santo selalu mengajak kami membangun second identity dalam riset dengan menerapkan teori dan metodologi sejarah sesuai fokus kajian masing-masing.

Saya menyadari tidak mudah membangun identitas kedua dalam tradisi keilmuan. Perlu kerja keras, disiplin, dan konsistensi terhadap bidang kajian yang dipilih. Seperti cinta sejati, ia harus diperjuangan dengan cara apa pun dan pada kondisi apa pun. Sesuatu yang diperjuangkan dengan sungguh-sungguh akan membuahkan hasil yang membanggakan. Keahlian itu ibarat kartu nama yang menjadi penanda diri pemiliknya saat berkomunikasi dengan publik.  

Prof. Santo sendiri sangat konsisten membangun identitas kedua keilmuan Buton pada setiap momen akademik. Jika orang mendengar atau membaca tulisannya tentang Buton tanpa mengetahui bahwa ia adalah orang Jawa, orang akan yakin bahwa penulis tentang Buton itu adalah "benar" orang Buton. Bahkan, menurut saya, orang Buton perlu belajar tentang kampung halamannya kepadanya.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun