Mohon tunggu...
Abd Rahman Hamid
Abd Rahman Hamid Mohon Tunggu... Sejarawan - Penggiat Ilmu

Sejarawan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Wonomulyo: Kisah Sukses Kampung Jawa di Tanah Mandar

22 Maret 2023   23:33 Diperbarui: 22 Maret 2023   23:48 888
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seminar Hari Jadi Wonomulyo, 15 Maret 2023 (Dok. ARH)

Kalau kita melakukan perjalanan darat dengan mobil dari Makassar ke Mamuju (ibukota Sulawesi Barat), atau sebaliknya, kita mudah mengenal daerah Wonomulyo. Betapa tidak, suasananya sangat hidup. Namun, segera setelah melewatinya, kita akan merasakan suasana jauh berbeda yang tidak melampaui keadaan "Kappung Jawa", sebutan orang Mandar untuk daerah kolonis Jawa yang dibentuk pada 86 tahun silam.

Wonomulyo adalah pusat pertumbuhan ekonomi paling sibuk di Sulawesi Barat (Sulbar). Ia tidak hanya menarik potensi sumber daya lokal, tetapi juga potensi dari daerah lain di Sulawesi Selatan seperti Wajo, Pinrang, Enrekang, dan Soppeng. Ia laksana magnit dengan daya tarik luar biasa.

Tetapi, tahukah Anda bahwa kawasan ini dahulu merupakan hutan rimba nan perawan yang tidak dikelola oleh warga lokal sampai datangnya kolonis Jawa pada 1937. Kawasan itu seketika berubah menjadi area pertanian yang subur dan lahan pemukiman penduduk.

Sebelum kedatangan kolonis dari Jawa, Asisten Residen Mandar W.J. Leyds (1935-1940) melakukan peninjauan terhadap beberapa tempat di Mamuju untuk lokasi kolonisasi.

Selama proses itu, satu tim pemerintah dari Jawa tiba di Makassar. Tim ini terdiri dari J.H.B. Kuneman (Dewan Hindia dan Ketua Komisi Kolonisasi Pusat), C. J. Maassen (penasihat Urusan Pertanian di Departemen Dalam Negeri), dan Dr. J.H. Becking (Kepala Dinas Kehutanan). Selama 10 hari mereka meninjau daerah-daerah di pantai barat Sulawesi sebagai bakal tempat kolonisasi. Mereka juga bertemu dengan Arajang Balanipa dan Maradia Mapilli. Kedua tokoh ini setuju daerahnya menjadi tempat kolonisasi.  

Hasil peninjauan tersebut disampaikan kepada Residen di Makassar. Residen memutuskan bahwa Mapilli dan Paria adalah lokasi kolonisasi pertama di Sulawesi, sejak program itu dilaksanakan oleh pemerintah pada 1905, berdasarkan besluit nomor 4 tanggal 22 April 1937.

Penyiapan lokasi kolonisasi oleh Swapraja Balanipa di bawah kontrol kontrolir Polewali, G.T. de Graaf (bertugas sejak 10 April 1937). Hak-hak atas tanah diteliti. Kebun-kebun dan lain-lain dipetakan. Dibuat los-los tempat tinggal. Dibuat gudang penyimpanan makanan, alat-alat pertanian, bibit tanaman, sebuah baruga, sebuah gudang pasar, dan rumah seorang asisten wedana, sebuah poliklinik, sumur-sumur yang harus digali, irigasi dan rencana penyaluran air. Semua pekerjaan selesai tepat waktu, kata Leyds dalam Memory van Overgave (9 Februari 1940).

Kedatangan kolonis Jawa disambut gembira oleh penduduk lokal. Pada 1 September 1937, sebuah kapal Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM) tiba di pelabuhan Polewali. Saat itu hujan deras. Satu demi satu kolonis turun ke darat, lalu didaftar dan diberi vaksin, sebelum dibawa dengan bus ke tempat yang sudah disediakan. Pada sore hari, mereka menarik undi untuk mendapatkan pekarangan rumah dan lahan sawah setengah hektar.

115 keluarga (380 jiwa) kolonis dipimpin oleh seorang asisten wedana, yakni Raden Soeparman yang berasal dari Ambarawa, Jawa Tengah. Setiap pagi ia berkeliling daerah kolonis untuk memastikan warganya bekerja. Bagi yang malas atau tidak bekerja, ia diberi tindakan tegas antara lain diarak keliling kampung membawa poster bertuliskan "saya orang malas". Setiap Rabu Soeparman memimpin rapat di Pendopo untuk menerima laporan kepala-kepala kampung tentang kondisi warga dan hasil usaha mereka. 

Kisah keberhasilan kolonis Mapilli diketahui oleh penduduk di Jawa. Mereka berbondong-bondong mendaftarkan diri kepada pemerintah untuk menjadi peserta kolonisasi. Tiga tahun secara berturut-turut didatangkan lagi 1.354 keluarga di Mapilli. Kawasan hutan itu pun banyak dihuni oleh kolonis Jawa.   

Sebelas tahun kemudian diadakan syukuran selama tujuh hari/malam untuk merayakan keberhasilan membangun kolonis Mapilli menjadi kawasan produktif yang memberikan harapan baik bagi mereka. Pada saat itulah, 5 Oktober 1948, Soeparman mengumumkan perubahan nama daerah kolonis dari Mappili menjadi Wonomulyo (wono=hutan dan mulyo=mulia). Nama yang terakhir digunakan sampai sekarang.

Wonomulyo merupakan satu dari enam daerah kolonis yang paling maju di Sulawesi. Lima daerah kolonis lain ialah Paria, Tamuku, Kalena, Lamasi, dan Muna. Pada 1961 jumlah penduduk Wonomulyo mencapai 17.547 jiwa yang tersebar pada tujuh desa yaitu Sidodadi, Bumiayu, Sumberejo, Sidorejo, Kebunsari, Arjosasi, dan Campurejo. 

Berdasarkan uraian di atas jelas bahwa daerah kolonisasi Mapilli (sekarang Wonomulyo), yang termasuk dalam wilayah Onderafdeeling Balanipa dan Binuang Bawah (ibukota Polewali), Afdeeling Mandar pertama kali ditempati oleh kolonis Jawa pada 1 September 1937. Inilah momen penting sebagai acuan akademik (baca: sejarah) untuk selanjutnya ditetapkan melalui keputusan atau peraturan daerah mengenai Hari Jadi Wonomulyo. Bila itu dapat diterima dan ditetapkan maka 14 tahun kemudian Wonomulyo genap berusia Satu Abad.   

Seminar Hari Jadi Wonomulyo, 15 Maret 2023 (Dok. ARH)
Seminar Hari Jadi Wonomulyo, 15 Maret 2023 (Dok. ARH)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun