Mohon tunggu...
Abd Rahman Hamid
Abd Rahman Hamid Mohon Tunggu... Sejarawan - Penggiat Ilmu

Sejarawan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Membaca Islamisasi Kerajaan Indrapura lewat karya Dr. Sudarman, MA

21 Januari 2023   13:32 Diperbarui: 21 Januari 2023   14:43 647
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kerajaan Inderapura, yang menjadi fokus kajian (buku dari disertasi) Dr. Sudarman ini, berada di pantai barat Sumatera dibasahi oleh perairan Samudera Hindia. Bila merujuk pendekatan sistem laut/bahari dari Sejarawan Prancis Fernand Braudel (1902-1985) -- kemudian dikembangkan antara lain K.N. Chaudhuri (Samudera Hindia), Adrian B. Lapian (Laut Sulawesi), R.Z. Leirissa (Laut Seram), Singgih Tri Sulistiyono (Laut Jawa), Abd. Rahman Hamid (Selat Makassar) -- maka Samudera Hindia merupakan pemersatu yang melahirkan perniagaan dan peradaban di Asia. 

Samudera Hindia berfungsi sebagai pusat jaringan sistem bahari Teluk Parsi, Laut Merah, Laut Arab, Teluk Benggala, Selat Malaka, Laut Jawa, dan sebagainya. 

Lalu lintas perdagangan dan interaksi budaya di kawasan Samudera Hindia sudah terjadi sejak zaman bahari (dahulu kala). Melalui jalur itulah Nusantara bersentuhan dengan agama-agama besar di dunia, yaitu Hindu, Budha, Islam, dan Kristen (Leirissa, 2011).  

Pada periode antara abad X sampai XVIII, agama Islam menyebar dari Timur Tengah menyusuri jalur perdagangan Samudera Hindia hingga mencakup wilayah Asia Selatan, Asia Tenggara, dan Asia Timur. Era ini dikenal dengan zaman emporium (dari kata "emporia" berarti pusat niaga). 

Emporia muncul tidak hanya berfungsi sebagai pusat pelayaran dan perdagangan, tetapi juga pusat peradaban. Setelah emporium Malaka dikuasai Portugis tahun 1511, tampil emporium-emporium lain menggantikan fungsi Malaka seperti Aceh, Banten, Demak, Banjarmasin, dan Makassar (Leirissa, 2011). Lima emporium tersebut perpusat di jaringan Laut Jawa, yang oleh Sulistiyono (2003) disebut heart sea (laut inti) Nusantara.   

Fokus kajian Sudarman tentang hubungan perniagaan dan Islamisasi di Kerajaan Inderapura abad XVII -- XVIII mengingatkan kita kepada karya dua sarjana Belanda yang menaruh perhatian pada masyarakat Indonesia, yaitu Jacobs Cornelis van Leur (1908-1942) dan Bertram Johannes Otto Schrieke (1890-1945). 

Bila sarjana pertama dikenal sebagai ahli sejarah ekonomi, maka sarjana kedua adalah ahli sejarah sosial. Usaha mereka telah membuka arah baru perkembangan penulisan sejarah Indonesia, semula didominasi cara pandang Belanda (Nerlandosentris), yang dikenal dengan perspektif Indonesiasentris.      

Van Leur menulis Indonesian Trade and Society: essays in Asian Social and Economic history (1955). Buku ini sudah diterjemahkan dan diterbitkan oleh Ombak Yogyakarta (2016). Salah satu gagasan penting van Leur ialah bahwa perdagangan internasional digerakan oleh para pedagang keliling (traveling pedlars) melahirkan kota-kota pelabuhan pesisir yang bergantung terhadap aktivitas perdagangan. 

Dalam sistem ini, pedagang Arab dan Persia melakukan perjalanan panjang dari negerinya sampai ke Asia Timur dan membentuk koloni Arab di Kanton pada abad IV. Koloni ini kelak menganut Islam dan berada di bawah pengaruh Islam. Agama Islam diperkenalkan kepada penduduk di pelabuhan-pelabuhan India, dimana orang-orang muslim menempati posisi paling penting dalam perdagangan maritim. 

Sebelum abad XIII, orang Islam telah tiba dan meramaikan perdagangan di kota-kota pelabuhan Nusantara, namun belum terjadi perpindahan agama ke Islam secara signifikan. Perubahan besar baru terjadi pada akhir abad XIII di Sumatera (Samudera Pasai), lebih cepat dalam abad XIV di Jawa (Demak), dan sangat fenomenal di seluruh Nusantara pada abad XV dan XVI. 

Namun demikian, kata van Leur, perniagaan dan agama (Islam) tetap perlu dipisahkan karena Islam tidak memberikan perkembangan ekonomis bagi Indonesia. Islamisasi Indonesia ditentukan secara bertahap oleh situasi dan motif politik. Islam menjadi sarana politik yang melahirkan persaingan antara Hindu-Majapahit dengan Islam dan kemudian Kristen-Portugis. Persaingan dan permusuhan antara Islam dan Kristen dibawa dari satu ujung ke ujung lain di Asia.

Schrieke menulis dua jilid buku, Indonesian Sociological Studies: selected writings (1955), yang juga sudah diterjemahkan dan diterbitkan oleh Ombak Yogyakarta (2016a, 2016b). Menurutnya, Islam hampir pasti diperkenalkan di sepanjang jalur perdagangan Nusantara oleh orang India terutama yang berasal dari Gujarat. 

Pedagang muslim mendapatkan posisi di pesisir utara Sumatera dan menjadikan Samudera Pasai sebagai tempat tinggal mereka. Islam menyebar di tengah masyarakat melalui perkawinan antara pedagang muslim dengan perempuan setempat, lalu menembus kalangan para pemimpin dan pangeran, serta secara bertahap menjadi agama umum di seluruh kalangan. 

Islamisasi Nusantara baru benar-benar terjadi pada abad XVI dan sesudahnya. Proses ini terkait dengan kompetisi antara pedagang Muslim dan Kristen. Menurutnya, ekspansi Portugal merupakan kelanjutan dari Perang Salib. Sejak menaklukan Malaka, Portugal menjadikan Nusantara sebagai medan perang melawan Islam dan pedagang Muslim. Akibatnya pedagang dan ulama hijrah dari Malaka ke Aceh. 

Mereka menjadikan kota pelabuhan yang disebut terakhir sebagai pusat kajian Islam di Nusantara. Pedagang muslim lebih cepat melangkah ke Jawa. Adipati Demak meruntuhkan kekuasaan Hindu Majapahit. Raja Demak menaklukan Jawa Barat, dan setelah itu Banten berkembang menjadi pusat Islam, seperti Aceh (Sumatera) dan Brunei (Kalimantan). Usaha Portugis di Maluku terhambat oleh para pangeran lokal yang menyebarkan Islam demi untuk memperkuat kedudukannya.    

Dua sarjana tersebut memiliki pandangan yang sama, bahwa Islam dibawa oleh pedagang muslim Gujarat India dan perkembangnya dirangsang oleh kehadiran orang-orang Portugis yang membawa semangat Perang Salib. 

Dari kajian K.N. Chaudhuri (1985) dan Anthony Reid (2015) diketahui bahwa kedamaian pelayaran niaga selama berabad-abad di Samudera Hindia terganggu sejak kehadiran kapal-kapal Portugis akhir abad XV dan puncaknya ketika menaklukan emporium Muslim Malaka pada 1511. 

Peristiwa itu membuka peluang berkembangnya emporium di pesisir utara Sumatera, melanjutkan fungsi Samudera Pasai dan Malaka, yakni Aceh. Ia berhasil tumbuh menjadi pusat jaringan perdagangan maritim dan Islamisasi di Samudera Hindia dan Selat Malaka. Puncak perkembangan Aceh pada abad XVII dengan wilayah pengaruh meliputi hampir seluruh Pulau Sumatera.

Penelitian Sudarman menemukan bahwa perkembangan agama Islam di Kerajaan Inderapura terkait dengan jaringan pelayaran dan perdagangan Samudera Hindia. 

Sistem laut yang besar ini (baca: samudera) menghubungkan Inderapura dengan pusat-pusat niaga dan politik di Anak Benua India dan Jazirah Arab, ditunjang oleh pola arus laut dan angin musim sehingga memudahkan pergerakan kapal, pelaut dan pedagang dari kawasan itu menuju pelabuhan Inderapura. 

Hubungan tersebut membentuk jaringan perdagangan global dan regional antara Inderapura dengan Benggala, Malaka, dan Cina. Jaringan ini ditopang oleh jaringan perdagangan lokal, antara Inderapura dengan pedalamannya dan Inderapura dengan pelabuhan-pelabuhan di pantai barat Sumatera (Padang, Pariaman, Tiku, Air Bangis, Natal, Tapanuli (Sibolga), Barus, dan Singkel). 

Jaringan yang terakhir ini terutama dibentuk oleh faktor agama (Islam) dan kultural (Melayu). Dalam abad XVII -- XVIII, komoditi lokal yang menjadi primadona perdagangan global ialah lada (piper nigrum), antara lain dihasilkan oleh Inderapura, sehingga Inderapura pun dikenal sebagai pelabuhan lada (papper haven) di Samudera Hindia.  

Salah satu temuan penting dari studi Sudarman ini ialah tentang pola perkembangan perniagaan dan Islamisasi. Pada mulanya terbentuk "jaringan perdagangan mempengaruhi Islamisasi". 

Pada tahap ini, para pedagang membawa agama (Islam) dan membentuk komunitas mereka di pelabuhan-pelabuhan yang kemudian tumbuh dan berkembang menjadi kota pelabuhan utama (entrepot) muslim di jalur perdagangan global. Kemudian, aktivitas tersebuh melahirkan apa yang disebut oleh Sudarman dengan "Islamisasi jalur perdagangan Nusantara". Pada konteks ini, Islam menjadi faktor yang menggerakan jaringan perdagangan. 

Agama menjadi penciri utama jalur perdagangan di Nusantara. Guna memantapkan peran ekonomi, agama, dan politik maka Inderapura membangun aliansi dengan dua kekuatan ekonomi dan politik Muslim di kawasan barat Nusantara yaitu Kesultanan Aceh di Sumatera dan Kesultanan Banten di Jawa.   

Studi Sudarman menegaskan bahwa Islamisasi di Kerajaan Inderapura abad XVII -- XVIII terjadi melalui pendekatan perdagangan. Para pedagang muslim berperan dalam perkembangan Islam di Kerajaan Inderapura. Proses Islamisasi dilakukan oleh pedagang-pedagang dari Arab, Persia, India, dan Cina terhadap pedagang dan penduduk yang datang di pelabuhan Inderapura. Para pedagang India biasanya masuk sampai ke pedalaman. Atas usaha mereka pada abad XVII semua pusat perdagangan emas dan desa-desa yang sebagian besar penduduknya adalah pedagang emas sudah menganut Islam.  

Islamisasi Inderapura pada tahap selanjutnya dipercepat dengan pendekatan pendidikan di bawah pengaruh Kesultanan Aceh. Kesultanan ini mengirimkan guru-guru agama pilihan yang memiliki pengalaman niaga. Guru agama yang bergiat di pantai banyak diperankan oleh pedagang pialang (makelar atau pedagang perantara) dan hulubalang raja, sedangkan guru di darek (pedalaman) banyak diperankan oleh guru-guru tarekat. 

Pada paruh kedua abad XVIII di pedalaman berkembang pusat Tarekat Syatariyah, khususnya di Koto Tuo sebagai pusat perdagangan akasia. Yang menarik adalah bahwa ketika para pedagang sekaligus pengikut tarekat tersebut sukses dalam perdagangan, mereka akan pergi menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci Makkah. Proses itu melahirkan apa yang disebut syekh tarekat, yakni orang memadukan antara perdagangan dan tarekat. 

Salah satu tokoh utamanya ialah Syekh Tuanku nan Tuo. Ia bersama murid-muridnya mengadakan perjalanan untuk mengajak penduduk di negeri-negeri sekitarnya menganut Islam dan menerapkan aturan perniagaan sesuai syariat Islam. Setelah tokoh ini wafat, usahanya dilanjutkan oleh muridnya, Jamaluddin. Ia mendirikan surau di Koto Laweh, sebuah nagari pertanian (akasia dan kopi) di lereng Gunung Merapi. Nagari ini berhasil tumbuh sebagai pusat perdagangan dan Tarekat Syatariah di Luhak Agam. 

Bila sarjana lain masih menempatkan perdagangan sebagai bagian dari Islamisasi, maka Dr. Sudarman menegaskan bahwa perdagangan merupakan satu pendekatan yang mempercepat Islamisasi Nusantara. Kajian ini menguatkan kembali gagasan van Leur dan Schrieke tentang sumbangan perniagaan terhadap Islamisasi. Sudarman menambahkan pula pendekatan pendidikan, yang tidak dikemukakan oleh dua sarjana tersebut, dalam Islamisasi Inderapura. Dengan berbagai temuannya, buku ini memperkaya historiografi Islam Indonesia dengan pendekatan Sejarah Maritim.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun