Mohon tunggu...
Abd Rahman Hamid
Abd Rahman Hamid Mohon Tunggu... Sejarawan - Penggiat Ilmu

Sejarawan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Desa Cikoneng: Jejak Lampung di Banten

6 Januari 2023   16:02 Diperbarui: 6 Januari 2023   16:08 1957
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ketika memasuki Cikoneng, kesan pertama yang diperoleh terkait identitas Lampung adalah siger yang terpasang di gapura kantor Desa Cikoneng. Kesan kedua adalah bahasa yang digunakan oleh penduduk setempat. "Bahasa Lampung adalah penanda paling orisinal yang kami miliki sebagai orang Lampung", kata Thomas Hery Irawan, Kepala Desa Cikoneng saat ditemui di ruang kerjanya.

Selama kurang lebih dua tahun saya bertugas sebagai dosen di Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Intan Lampung, saya jarang mendengar bahasa Lampung, baik di dalam maupun di luar kampus saat bertemu orang Lampung. Namun, ketika berada di desa ini, saya justeru sering mendengar orang berbahasa Lampung.

Kalau sudah bertemu sesama orang Lampung, mereka lebih senang menggunakan bahasa Lampung. Itulah yang ditemukan oleh tim riset kolaboratif UIN Raden Intan Lampung (Abd. Rahman Hamid) dengan BRIN (Rismawidiawati, Wuri Handoko, dan Roni Tabroni) di Desa Cikoneng Kecamatan Anyer Kabupaten Serang Provinsi Banten pada 21 November 2022. Kapan dan bagaimana terbentuknya Cikoneng?

 

Sejarah Cikoneng 

Awal mula pemukiman orang Lampung di Cikoneng terkait dengan bantuan mereka kepada sultan pertama Banten Maulana Hasanuddin (1552-1570) saat memperluas wilayah kekuasaan Banten dan syiar Islam di Jawa Barat, kata Nikmatullah, tokoh masyarakat Lampung. Atas jasa itulah orang Lampung yang dipimpin oleh Minak Sengaji diberikan kebebasan memilih tempat tinggal di Banten. 

Pada mulanya mereka menempati daerah Priuk. Namun, ketika tiba di sana, mereka mendengar dentuman meriam Ki Amuk sangat nyaring dari Keraton Surosowan. Lalu mereka pindah ke tempat kedua, Sirih. Ternyata, bunyi meriam itu terdengar sangat kecil, pertanda jarak tempat itu jauh dari pusat pemerintahan Banten Lama. Selanjutnya, mereka pindah ke Cikoneng. Tempat ini lebih tepat, karena tidak terlalu jauh dan dekat dari Surosowan. Walhasil, mereka memutuskan tinggal di sana sejak saat itu sampai sekarang, ulas Nikmatullah (Ketua Lampung Sai DPD 2 Cikoneng Anyer).

Dokpri
Dokpri

Minak Sengaji pergi ke Banten bersama 40 orang keluarga, yang terdiri atas sembilan kebuaian di Lampung yaitu: Aji, Rundung, Pandan, Mesindi, Bulan, Jahe, Keminca, Arung, dan Kuning. Mereka berasal dari Tulangbawang, daerah yang dahulu diIslamkan oleh Sunan Gunung Djati, seperti disebut dalam Hikajat Hasanuddin (Edel, 1938).

Menurut Suma Oriental karya Tome Pires (1512-1515), Tulangbawang menghasilkan lada, emas, dan barang-barang lain yang dibawa oleh penduduknya ke Sunda (Banten) dan Jawa dengan perahu lanchara selama dua sampai tiga hari. Dengan demikian, hubungan Lampung dan Banten, selain karena faktor agama dan politik, juga faktor ekonomi perdagangan rempah lada.

Sejak paruh kedua abad ke-16, Banten tumbuh sebagai pelabuhan niaga internasional lada di Asia Tenggara, setara dengan pelabuhan Aceh dan Makassar. Pada masa kejayaan abad ke-17, Lampung menyuplai kurang lebih 90% lada untuk pelabuhan Banten. Semua faktor itu menjadi perekat hubungan Lampung dan Banten berabad-abad lamanya (Abd. Rahman Hamid).  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun