Ketika memasuki Cikoneng, kesan pertama yang diperoleh terkait identitas Lampung adalah siger yang terpasang di gapura kantor Desa Cikoneng. Kesan kedua adalah bahasa yang digunakan oleh penduduk setempat. "Bahasa Lampung adalah penanda paling orisinal yang kami miliki sebagai orang Lampung", kata Thomas Hery Irawan, Kepala Desa Cikoneng saat ditemui di ruang kerjanya.
Selama kurang lebih dua tahun saya bertugas sebagai dosen di Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Intan Lampung, saya jarang mendengar bahasa Lampung, baik di dalam maupun di luar kampus saat bertemu orang Lampung. Namun, ketika berada di desa ini, saya justeru sering mendengar orang berbahasa Lampung.
Kalau sudah bertemu sesama orang Lampung, mereka lebih senang menggunakan bahasa Lampung. Itulah yang ditemukan oleh tim riset kolaboratif UIN Raden Intan Lampung (Abd. Rahman Hamid) dengan BRIN (Rismawidiawati, Wuri Handoko, dan Roni Tabroni) di Desa Cikoneng Kecamatan Anyer Kabupaten Serang Provinsi Banten pada 21 November 2022. Kapan dan bagaimana terbentuknya Cikoneng?
Â
Sejarah CikonengÂ
Awal mula pemukiman orang Lampung di Cikoneng terkait dengan bantuan mereka kepada sultan pertama Banten Maulana Hasanuddin (1552-1570) saat memperluas wilayah kekuasaan Banten dan syiar Islam di Jawa Barat, kata Nikmatullah, tokoh masyarakat Lampung. Atas jasa itulah orang Lampung yang dipimpin oleh Minak Sengaji diberikan kebebasan memilih tempat tinggal di Banten.Â
Pada mulanya mereka menempati daerah Priuk. Namun, ketika tiba di sana, mereka mendengar dentuman meriam Ki Amuk sangat nyaring dari Keraton Surosowan. Lalu mereka pindah ke tempat kedua, Sirih. Ternyata, bunyi meriam itu terdengar sangat kecil, pertanda jarak tempat itu jauh dari pusat pemerintahan Banten Lama. Selanjutnya, mereka pindah ke Cikoneng. Tempat ini lebih tepat, karena tidak terlalu jauh dan dekat dari Surosowan. Walhasil, mereka memutuskan tinggal di sana sejak saat itu sampai sekarang, ulas Nikmatullah (Ketua Lampung Sai DPD 2 Cikoneng Anyer).
Minak Sengaji pergi ke Banten bersama 40 orang keluarga, yang terdiri atas sembilan kebuaian di Lampung yaitu: Aji, Rundung, Pandan, Mesindi, Bulan, Jahe, Keminca, Arung, dan Kuning. Mereka berasal dari Tulangbawang, daerah yang dahulu diIslamkan oleh Sunan Gunung Djati, seperti disebut dalam Hikajat Hasanuddin (Edel, 1938).
Menurut Suma Oriental karya Tome Pires (1512-1515), Tulangbawang menghasilkan lada, emas, dan barang-barang lain yang dibawa oleh penduduknya ke Sunda (Banten) dan Jawa dengan perahu lanchara selama dua sampai tiga hari. Dengan demikian, hubungan Lampung dan Banten, selain karena faktor agama dan politik, juga faktor ekonomi perdagangan rempah lada.