"Kalau mau lihat orang Mandar 'asli', pergilah ke Pulau Laut. Di sana mereka sangat maju dalam pembuatan kapal kayu yang muatannya mencapai ratusan ton", kata (alm) Haji Sa'adong (lahir 1935) kepada penulis saat wawancara di Bababulo (22/02/2016).Â
Hal senada juga sering disampaikan oleh Suadi (59 tahun) ketika penulis riset di Majene pada 2016-2019. Atas dasar itulah penulis riset di Kalimantan Selatan (4-12/11/2022).
Setelah perjalanan darat dengan mobil lebih kurang tiga jam dari ibukota Kabupaten Kotabaru, penulis tiba di Tanjung Lalak. Dari sana orang berangkat dengan kapal-kapal kecil (taxi laut) menuju Pulau Kerasian, Pulau Kerumputan, dan Pulau Kerayaan.Â
Perjalanan ke pulau yang terakhir lebih lama, yakni sekitar 40 menit pada kondisi laut normal, dibandingkan dua pulau lain yang dijangkau sekitar 20 menit. Tiga pulau tersebut merupakan pusat komunitas Mandar di Kecamatan Pulaulaut Kepulauan.
Salah seorang pengusaha kapal yang sukses di Tanjung Lalak ialah Sukarman, lahir di Pulau Kerasian pada 1970. Awalnya dia menjadi awak dan juragan perahu baqgo dan kapal milik ayahnya, Haji Saharuddin.Â
Dia berlayar ke Gresik, Surabaya, Balikpapan, Samarinda, Tarakan, dan Bali dengan kapal Putra Bahari (275 ton) membawa kayu, sembako, dan besi. Setelah era modernisasi pelayaran, ayahnya menjalin usaha bersama (joint partner) dengan pengusaha Cina dan Banjar.
Sukarman pernah joint dengan pengusaha Bugis di Tarakan. Perahunya, Merah Buana (97 ton), dibuat di Tanjung Lalak. Awalnya perahu itu digunakan memuat beras milik Haji Haeruddin dari Parepare ke Tarakan.Â
Kemudian ketika di Tarakan, ada seorang pengusaha Bugis bernama Ason ingin membelinya, tetapi dia tidak mau. Sukarman justeru menawarkan untuk usaha bersama. Ason setuju dan selanjutnya memasukan investasi senilai 275 juta.Â
Enam tahun kemudian, Ason membayar lunas perahu itu dengan menambah uang sebanyak 325 juta. Jadi total nilai jual perahunya adalah 600 juta rupiah.
Setelah join partner dengan pedagang Bugis, Sukarman mencurahkan perhatian pada usaha pembuatan kapal kayu di Tanjung Lalak. Dia memproduksi kapal dengan kapasitas mulai 70 ton sampai 150 ton.Â
Tiga jenis kayu yang digunakan adalah kayu ulin untuk lunas, kayu halaban untuk body (badan), dan kayu meranti untuk bagian atas kapal. Ia mempekerjakan antara 7-10 tukang kayu setempat. Sebelum pandemi, sewa tukang per hari 140 ribu. Sekarang, sewa tukangnya adalah 220 ribu rupiah.
Salah satu kapalnya (kapasitas 150 ton) dibeli oleh saudagar Bugis di Tarakan dengan harga 900 juta. Sementara kapal lain (kapasitas 70 ton) dijual untuk saudagar Madura di Kangean seharga 550 juta.Â
Semua kapal yang dijual itu tanpa mesin. Pembeli biasanya mendatangkan mesin di Tanjung Lalak. Lalu dipasang dan diantar langsung kepada pembeli di daerahnya, kata Sukarman (07/11/2022).
Selain menjual kapal untuk saudagar Bugis dan Madura, ia juga menjual kapal kepada saudagar Buton dan Banjar. Dari hasil usaha itu ia dapat membiayai pendidikan anak-anaknya dari sekolah sampai ke perguruan tinggi, termasuk biaya perjalanan haji untuk isterinya ke Tanah Suci Mekkah.
Apa yang dilakukan oleh Sukarman merupakan contoh praktek baik (best practice) dari putra Mandar yang merawat budaya bahari leluhurnya di tanah seberang. Pendeknya, dia telah berjasa menjaga sejarah bahari Mandar.
Tulisan ini diolah dari hasil riset kolaboratif Dosen Sejarah UIN Lampung dengan Tim Peneliti BRIN tahun 2022 di Kabupaten Kotabaru, Provinsi Kalimantan Selatan pada November 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H