Setelah join partner dengan pedagang Bugis, Sukarman mencurahkan perhatian pada usaha pembuatan kapal kayu di Tanjung Lalak. Dia memproduksi kapal dengan kapasitas mulai 70 ton sampai 150 ton.Â
Tiga jenis kayu yang digunakan adalah kayu ulin untuk lunas, kayu halaban untuk body (badan), dan kayu meranti untuk bagian atas kapal. Ia mempekerjakan antara 7-10 tukang kayu setempat. Sebelum pandemi, sewa tukang per hari 140 ribu. Sekarang, sewa tukangnya adalah 220 ribu rupiah.
Salah satu kapalnya (kapasitas 150 ton) dibeli oleh saudagar Bugis di Tarakan dengan harga 900 juta. Sementara kapal lain (kapasitas 70 ton) dijual untuk saudagar Madura di Kangean seharga 550 juta.Â
Semua kapal yang dijual itu tanpa mesin. Pembeli biasanya mendatangkan mesin di Tanjung Lalak. Lalu dipasang dan diantar langsung kepada pembeli di daerahnya, kata Sukarman (07/11/2022).
Selain menjual kapal untuk saudagar Bugis dan Madura, ia juga menjual kapal kepada saudagar Buton dan Banjar. Dari hasil usaha itu ia dapat membiayai pendidikan anak-anaknya dari sekolah sampai ke perguruan tinggi, termasuk biaya perjalanan haji untuk isterinya ke Tanah Suci Mekkah.
Apa yang dilakukan oleh Sukarman merupakan contoh praktek baik (best practice) dari putra Mandar yang merawat budaya bahari leluhurnya di tanah seberang. Pendeknya, dia telah berjasa menjaga sejarah bahari Mandar.
Tulisan ini diolah dari hasil riset kolaboratif Dosen Sejarah UIN Lampung dengan Tim Peneliti BRIN tahun 2022 di Kabupaten Kotabaru, Provinsi Kalimantan Selatan pada November 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H