Tahun 1970-an merupakan tonggak penting dalam sejarah orang Mandar di Kalimantan Selatan yang ditandai oleh kerja sama antara pelaut Mandar dengan pengusaha Cina di Donggala. Mengapa bermula di Donggala? Bagaimana model kerjasamanya? Tulisan ini mencoba menjawab dua persoalan tersebut. Â Â
Donggala adalah pusat niaga kopra di kawasan Selat Makassar yang paling sering dikunjungi oleh perahu Mandar untuk memuat kopra. Sebelum 1970-an, pelaut Mandar memuat kopra milik penduduk lokal dan Cina.Â
Pada mulanya, pelaut Mandar mengangkut kopra Cina dengan sistem sewa yang dibawa ke Jawa dan Makassar. Namun seiring peningkatan kebutuhan armada besar dan kepastian waktu pelayaran, Cina beralih dari perahu layar ke kapal atau Perahu Layar Motor (PLM). Â
Peralihan ini menimbulkan dua pengaruh. Pertama, perahu layar dengan tonase kecil tidak mampu memenuhi kebutuhan Cina sehingga ia meninggalkan jalur niaga kopra ke jalur lain untuk mengangkut kerikil di pantai timur Kalimantan dan kayu dari Kalimantan ke Jawa dan Sulawesi.Â
Kondisi ini dialami oleh pemilik perahu yang tidak ingin kehilangan muatan di jalur kopra. Dua jenis perahu yang digunakan adalah lete dan baqgo. Â Â
Kedua, pemilik perahu dan pelaut Mandar bekerja sama dengan Cina di Donggala. Di tempat ini kopra dari Sulawesi Tengah dan sekitarnya diangkut oleh perahu ke Jawa dan Makassar.Â
Di tempat itu juga tinggal para pengusaha Cina, yang membeli kopra dari penduduk lokal. Di Donggala mereka sering bertemu. Di sana pelaut Mandar mengangkut kopra milik Cina.
Rencana usaha bersama dimulai di Donggala dan diwujudkan di Surabaya. Di tempat yang disebut terakhir, perahu dipasangkan mesin yang disediakan oleh Cina. Perahu kemudian digunakan mengangkut barang-barang milik Cina dari Jawa ke Donggala. Orang Cina mencari muatan untuk perahu. Muatan itu umumnya milik Cina. Dengan pola kerja sama ini perahu lebih mudah dan mendapatkan kepastian muatan untuk pelayaran berikutnya.
Pada tahun 1980-an, pola usaha tersebut mengalami penyesuaian. Pelaut Mandar tidak semata menjadi penyedia perahu, atau sebaliknya Cina sebagai penyedia mesin. Yang utama ialah nilai investasi dan hasil usaha dari kedua belah pihak dibuat menjadi sama dan kemudian hasilnya dibagi dua.
Pada umumnya yang bertindak sebagai penyedia dan (nama) pemilik perahu ialah orang Mandar, sedangkan Cina menjadi penyedia mesin. Bila nilai perahu lebih besar dari mesin, maka Cina harus menyamakan nilai investasinya dengan nilai perahu. Setelah itu barulah hasil usaha dibagi dua. Perahu dibawa oleh Mandar, sedangkan muatannya dicari atau disediakan oleh Cina.
Pola kerja sama ini saling menguntungkan kedua belah pihak. Oleh sebab itu, masa berlakunya lebih lama. Muatan utama perahu belum berubah, yakni kopra dari Donggala dibawa ke Jawa. Usaha ini pada gilirannya menghidupkan jalur niaga kopra di Selat Makassar dan Laut Jawa. Â Â
Masa akhir usaha bersama disepakati secara bersama. Sebelum berakhir, kedua belah pihak bermusyawarah tentang siapa yang akan mengambil kapal, dengan ketentuan bahwa pihak pertama (yang mau memiliki kapal) harus membayar nilai investasi pihak kedua. Setelah itu, kapal seutuhnya menjadi milik pihak pertama. Â
Tulisan ini diolah dari hasil riset kolaboratif Dosen Sejarah UIN Lampung dengan Tim Peneliti BRIN tahun 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H