Mohon tunggu...
Abdil Tsabit F
Abdil Tsabit F Mohon Tunggu... Mahasiswa - halo

12345

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Demokrasi di Indonesia dari Masa ke Masa

6 Oktober 2021   13:50 Diperbarui: 7 Oktober 2021   05:59 311
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dilansir dari situs https://id.wikipedia.org/wiki/Demokrasi_di_Indonesia Demokrasi di Indonesia merupakan proses sejarah dan politik perkembangan demokrasi di dunia pada umumnya, dan khususnya di Indonesia, dimulai dari pemahaman dan konsepsi demokrasi menurut para tokoh dan para pendiri Kemerdekaan Indonesia, terutama Soekarno, Mohammad Hatta, dan juga Soetan Sjahrir. Selain itu, proses ini juga menggambarkan perkembangan demokrasi di Indonesia, dimulai pada saat Kemerdekaan Indonesia, berdirinya RIS (Republik Indonesia Serkat), munculnya fase kediktatoran Soekarno saat Orde Lama dan Soeharto saat Orde Baru, sampai proses konsolidasi demokrasi pasca Reformasi pada tahun 1998 sampai saat ini.

Paradoks Masa Orde Lama 

Persoalan demokrasi bukanlah sesuatu yang bersifat alamiah dan bisa tumbuh secara sendirinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Akan tetapi seperti yang dikatakan Apter (1963), persoalan tentang demokrasi hanyalah ciptaan manusia, yang mencerminkan batas-batas dan keselarasan ojektif di luar ego manusia. 

Hal ini dapat diambil sebagai contoh kasus dimana proses pemindahan kekuasaan beamtenstaal Belanda ke tangan republik tidak membawa perubahan yang berarti. Semangat egaliter budaya demokrasi yang telah mengakar dalam angan-angan rakyat menjadi sirna setelah dilakukan upaya untuk mewujudkan Kemerdekaan secara politik dalam bentuk pilihan pada demokrasi liberal dan parlementer, dan secara ekonomi dalam bentuk pilihan untuk menciptakan kelas menengah pribumi yang kukuh (Bulkin, 1984).

Namun sayangnya, syarat yang harus dipenuhi, terutama keberadaan kelas menengah yang kuat sebagai aktor sentral dalam menopang demokrasi, belum ditemukan. 

Pembangunan universal, yang direncanakan oleh Presiden Soekarno untuk mengubah ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional dengan model yang lebih sosialis ternyata gagal total karena kurangnya dukungan struktur politik yang mapan dan demokratis. Kelas menengah yang diharapkan lahir pun juga sulit ditemukan. 

Kegagalan praktik membudayakan demokrasi liberal dan parlementer kemudian direduksi menjadi kegagalan menerapkan demokrasi ala Barat yang bertentangan dengan identitas dan budaya bangsa Indonesia. Nampaknya kegagalan penerapan demokrasi ala Barat sebenarnya lebih disebabkan oleh rapuhnya konstruksi sistem politik yang berbasis ideologi budaya dan keroposnya sistem ekonomi pada saat itu.

Kemudian, Soekarno mencoba sistem demokrasi terpimpin, yang menurutnya merupakan demokrasi khas Indonesia. Walaupun Soekarno menyatakan bahwa pemerintahannya menganut sistem demokrasi. Tetapi praktik yang berlaku dalam kehidupan berbangsa dan bernegara justru kekuasaan yang sepenuhnya terpusat (sentralistik) pada Soekarno. Bung Karno sebagai presiden bahkan mendemonstrasikan pemerintah diktator dengan membubarkan konstituante, PSI, dan Masyumi serta meminggirkan lawan-lawan politiknya yang kritis. Orde lama yang otoriter dan anti demokratis akhirnya runtuh pada tahun 1965.

Masa Orba

Seiring dengan kegagalan sistem demokrasi di era Orde Lama, unsur-unsur di masyarakat perlahan-lahan mulai tumbuh dan berkembang menjadi wahana tumbuhnya logika dan penjabaran budaya baru bangsa Indonesia. Pada masa Orde Baru, budaya politik dimaknai sebagai pendefinisian negara sebagai aktor tunggal dan sentral. 

Logika menempatkan negara sebagai aktor tunggal diartikulasikan dengan persetujuan yang tegas dan mutlak dari sentralitas negara dengan segala aparat birokrasi dan militernya demi pembangunan ekonomi dan politik.

Di sini kemudian terjadi proses penghapusan budaya Indonesia yang bergaya egaliter dan demokratis dan menggantinya dengan gaya feodalistik, yang dimungkinkan berkat adanya dua hal penting (Suharso, 2002). Pertama, dengan mengintegrasikan, membersihkan, dan menyatukan birokrasi negara dan militer di bawah satu komando yang sama. 

Upaya ini membuka jalan bagi pengembangan dan penyampaian logika baru dalam feodalisme budaya bangsa Indonesia secara nyata dan operasional. Logika dan penjelasan baru ini semakin menemukan momentumnya terkait dengan kenyataan bahwa di satu sisi masyarakat yang sedang menghadapi kesulitan ekonomi yang sangat serius, dan di sisi lain, obsesi negara untuk membangun pertumbuhan ekonomi sebagai basis pengentasan kemiskinan.

Kedua, penguatan suatu negara juga membutuhkan upaya untuk menghilangkan politik massa. Partisipasi politik yang terlalu luas dan tidak terkendali dianggap bisa membahayakan stabilitas politik, yang merupakan conditio sine qua non bagi kelanjutan berlangsungnya pembangunan ekonomi. Oleh karena itu, keterlibatan negara melalui aparat birokrasi dan militer dilegitimasi untuk menjangkau seluruh aspek kehidupan masyarakat.

Kemudian stabilitas pembangunan ekonomi diidentikkan dengan stabilitas nasional. Secara perlahan-lahan konsep stabilitas nasional menyebar ke dalam logika anti kritik dan anti konsep. 

Sebagai logika anti kritik, stabilitas nasional erat kaitannya dengan masalah keamanan dan memiliki banyak fungsi untuk mendukung terselenggaranya mekanisme kekuasaan negara. Sebagai logika anti konsep, stabilitas nasional dikaitkan dengan masalah legitimasi dan berfungsi banyak untuk mendukung seni mengelola otoritas kekuasaan negara (Geertz, 1980). 

Yang terjadi selanjutnya adalah sentralisasi peran negara yang dipersonifikasikan melalui Soeharto, MPR, DPR, Pers, Partai Politik, Ormas, dan hampir seluruh institusi sosial politik kenegaraan yang "dipasung" secara sistematik di bawah kendali negara oleh Soeharto. Yang lahir dalam keadaan seperti itu adalah demokrasi semu, “demokrasi jadi-jadian”. Paradoks demokrasi ini akhirnya runtuh pada 21 Mei 1998.

Era Reformasi

Pada masa reformasi, Aspinall (2004) mengatakan bahwa Indonesia sedang mengalami saat yang demokratis. Inisiatif politik yang dimotori oleh Amien Rais mendorong reformasi terus berlanjut. Kehebohan reformasi memberi secercah harapan bagi munculnya sistem kehidupan yang benar-benar demokratis, yang ditandai dengan munculnya banyak Partai Politik baru, kebebasan berserikat, kebebasan berekspresi, kebebasan pers, dan lain sebagainya, yang merupakan ciri demokrasi. Reformasi politik dibutuhkan karena adanya optimism terhadap perbaikan pelaksanaan demokrasi.

Namun, di balik dinamika reformasi yang penuh akselerasi tinggi, tampaknya belum banyak kekuatan sosial politik yang benar-benar memiliki kesungguhan untuk menggelindingkan demokrasi. Meski berbagai lembaga pembangun demokrasi telah terbentuk selama ini, tetapi masih banyak paradoks demokrasi di sana-sini. Demokrasi yang dibangun dan dipahami  mengacu pada demokrasi yang bersifat prosedural daripada demokrasi yang mengacu pada nilai-nilai.

Menurut Suharso (2002), saat ini ada beberapa paradoks demokrasi yang perlu dikritisi. Pertama, berkembangnya kekerasan politik, pelanggaran hukum, radikalisme, konflik massa yang sering kali diikuti dengan pertempuran fisik secara kolektif, pemaksaan kehendak, dan berbagai perilaku menyimpang lainnya yang sebenarnya mencerminkan perilaku yang tidak demokratis. Ketakutan politik diam-diam tumbuh di berbagai kalangan masyarakat, termasuk mereka yang kritis, hanya karena merasa berbeda dengan kekuatan politik yang ada. Demokrasi hampir tidak menjadi domain pikiran dan kebijaksanaan untuk menoleransi perbedaan.

Kedua, perkembangan konspirasi politik yang sangat pragmatis dengan mereka yang sebelumnya anti demokrasi, yang diwarnai dengan semangat kuat hanya untuk memenangkan Pemilu tanpa keterlibatan serius dalam mengagendakan demokrasi.

Ketiga, demokrasi mulai dimasukkan hanya hanya sebagai retorika politik daripada agenda politik. Kesan yang berkembang adalah bahwa demokrasi bukan lagi sebuah idealisme dan agenda yang patut diperjuangkan untuk mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara, tetapi lebih seperti alat dan isu untuk mendapat kekuasaan.

Keempat, ketika kultus individu yang ditampilkan rezim Soeharto dengan berbagai simbolnya dihujat keras untuk dihabisi, namun beberapa komunitas politik kini malah menampilkan simbol-simbol tokoh yang memakai warna kultus individu dalam bentuk lain. Bahkan, simbol-simbol budaya politik Orde Baru mulai terlahir kembali, seolah-olah merupakan potret kehidupan politik yang sesungguhnya. Berbagai upaya telah dilakukan untuk membangun kesatuan kekuasaan dengan pengerahan simbol-simbol kharisma politik, untuk memberikan kesan bahwa telah muncul potensi kepemimpinan baru yang sangat layak memimpin Indonesia di masa depan. Tidak masalah kharisma politik itu nyata atau palsu, yang terpenting pesona itu ditawarkan sebagai komoditas politik.

Beberapa ironi atau paradoks demokrasi yang muncul di era reformasi ini menunjukkan betapa terjal jalan yang harus ditempuh negara ini untuk menuju demokrasi yang sesungguhnya. Namun, ternyata tidak mudah untuk mewujudkan demokrasi secara jujur, jelas, dan bertanggung jawab, baik pada tataran alam pikiran maupun sistem politik. Perjuangan demokrasi akhirnya harus menghadapi godaan kekuasaan di tengah serangkaian jebakan politik yang sebenarnya adalah anti demokrasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun