Ketiga, demokrasi mulai dimasukkan hanya hanya sebagai retorika politik daripada agenda politik. Kesan yang berkembang adalah bahwa demokrasi bukan lagi sebuah idealisme dan agenda yang patut diperjuangkan untuk mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara, tetapi lebih seperti alat dan isu untuk mendapat kekuasaan.
Keempat, ketika kultus individu yang ditampilkan rezim Soeharto dengan berbagai simbolnya dihujat keras untuk dihabisi, namun beberapa komunitas politik kini malah menampilkan simbol-simbol tokoh yang memakai warna kultus individu dalam bentuk lain. Bahkan, simbol-simbol budaya politik Orde Baru mulai terlahir kembali, seolah-olah merupakan potret kehidupan politik yang sesungguhnya. Berbagai upaya telah dilakukan untuk membangun kesatuan kekuasaan dengan pengerahan simbol-simbol kharisma politik, untuk memberikan kesan bahwa telah muncul potensi kepemimpinan baru yang sangat layak memimpin Indonesia di masa depan. Tidak masalah kharisma politik itu nyata atau palsu, yang terpenting pesona itu ditawarkan sebagai komoditas politik.
Beberapa ironi atau paradoks demokrasi yang muncul di era reformasi ini menunjukkan betapa terjal jalan yang harus ditempuh negara ini untuk menuju demokrasi yang sesungguhnya. Namun, ternyata tidak mudah untuk mewujudkan demokrasi secara jujur, jelas, dan bertanggung jawab, baik pada tataran alam pikiran maupun sistem politik. Perjuangan demokrasi akhirnya harus menghadapi godaan kekuasaan di tengah serangkaian jebakan politik yang sebenarnya adalah anti demokrasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H