Mohon tunggu...
Abdillah Putra
Abdillah Putra Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya memiliki ketertarikan untuk menulis yang berkaitan dengan keadaan sosial di masyarakat saat ini

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Media Sosial sebagai Ujung Tombak Menangkal Radikalisme di Kalangan Generasi Milenial

6 Juni 2022   15:15 Diperbarui: 6 Juni 2022   15:17 236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada zaman modern ini media sosial tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan sehari-hari. Hampir seluruh informasi dan berita sekarang didapatkan dari media sosial. 

Namun tidak seluruhnya informasi yang berada di media sosial itu valid. Banyak juga yang menjerumuskan ke dalam kesesatan dan hoax. Sebelum melangkah lebih jauh kita cermati dulu apa radikal itu.

Radikalisme sendiri adalah suatu prinsip pada diri seseorang atau kelompok untuk berpegang teguh pada nilai-nilai yang dianutnya. Jika menurut pengertian di atas, maka radikalisme ini bisa memiliki arti positif dan juga negatif. Positif contohnya bila ia memegang teguh dan rela berkorban hingga mati demi bangsa dan negara Indonesia. 

Dan negatif bila maksudnya ia tidak memperdulikan pendapat orang lain dan paling merasa benar sendiri hingga sampai menginginkan adanya pertumpahan darah. 1

Hal negatif itulah yang harus dibuang jauh-jauh dalam pikiran generasi milenial saat ini. Peran orang tua, tenaga pendidik, dan lingkungan sangat dibutuhkan dalam membimbing generasi milenial dalam bermedia sosial agar tidak terjerumus ke dalam ajaran radikalisme yang negatif. 

Contohnya dengan orang tua melakukan pembinaan dan mengontrol terhadap apa yang anaknya lakukan di dalam media sosial. Jangan hanya mau memberikan sebuah gadget lalu dibiarkan tanpa adanya kontrol sama sekali. 

Begitu pula dengan tenaga pendidik yang wajib memberikan arahan dan bimbingan dalam memberikan ilmu-ilmu agama dan ideologinya. Seperti pentingnya toleransi dalam keberagaman, dan pentingnya menghargai pendapat orang lain. 

Menurut data dari Kominfo, pengguna internet di indonesia pada tahun 2013 mencapai 63 juta pengguna dan pada saat ini bertambah hingga menjadi 132 juta pengguna. 

Tentu hal jika tidak diimbangi dengan pengawasan dan regulasi yang ketat oleh pemerintah, bisa menjadi potensi subur bagi pertumbuhan radikalisme di media sosial. 

Misalnya proses perekrutan, menurut pendiri Yayasan Prasasti Perdamaian, Noor Huda Ismail, proses perekrutan Jamaah Ansharut Daulah atau JAD biasanya menggunakan media sosial yang dioperasikan dari dalam penjara. 

Dengan tahapan-tahapan yang bisa dibilang cukup simpel dan bisa menargetkan lagi-laki maupun perempuan. Awalnya dengan melakukan komunikasi efektif di media sosial lalu secara bertahap ditingkatkan menjadi pertemuan secara online untuk menanamkan bibit-bibit radikal lalu tahap ke-3 ditingkatkan lagi hingga bertemu secara offline. 

Pada tahap ke-4 mereka mulai melakukan pelatihan berbau militer termasuk cara membuat bom. Pada tahap terakhir adalah melakukan aksi terornya. 

Target utama biasanya adalah remaja, ini dikarenakan pikiran dan semangat remaja yang masih menggebu-gebu akan sesuatu. Biasanya remaja yang masih awal-awal mengenal agamanya akan mudah disusupi paham radikal bila dibimbing oleh orang yang salah, dan akan semakin berbahaya bila mereka bertemu dengan kelompok-kelompok extrimis karena mereka tidak perlu susah-sudah membujuk remaja yang sudah terpapar paham radikalisme tersebut.

Faktor-faktor penyebab radikalisme di kalangan remaja menguat Pertama karena tidak adanya guru atau pembimbing agama yang kompeten di daerah mereka sehingga menjerumuskan mereka kepada guru yang salah. 

Kedua kurangnya peran pengawasan dan edukasi pemerintah di daerah tersebut. Yang ketiga adalah minimnya pengawasan pada media sosial, apalagi negara kita sedang menuju era 4.0 yang bila tidak dipersiapkan dengan matang regulasi dan pengawasannya maka bisa menjadi bumerang bagi negara itu sendiri.

Salah satu cara untuk mengkounter radikalisme itu sendiri adalah dengan media massa dan media sosial. Media seharusnya memiliki tanggungan moral dan sosial untuk memberitakan pencerahan kepada masyarakat agar dapat memperoleh informasi yang akuran sehingga masyarakat bisa mengambil tindakan yang tepat, bukannya sebaliknnya ketika media malah menjadi alat propaganda gratis bagi kelompok extrimis tersebut. 

Contohnya seperti mengangkat perkembangan atau isu-isu radikalisme agar publik menjadi waspada dan juga memberikan informasi-informasi yang jangan hanya negatif namun juga yang positif sehingga mampu menyejukkan dan tidak menakut-nakuti publik. 

Nah, tantangan tersulitnya adalah pada media sosial, karena tidak semua berita dibuat dan dimiliki oleh perusahaan-perusahaan terkenal dan yang sudah dipercaya. 

Banyak berita yang dibuat oleh orang-orang dan jurnalistik yang tidak bertanggung jawab. Yang hanya menginginkan kenaikan rating pada dirinya sendiri tanpa memikirkan dampak yang ditimbulkan. 

Contohnya ketika ada suatu akun di media sosial memposting suatu video ceramah yang telah dipotong-potong dan diedit sedemikian rupa, sehingga menimbulkan gesekan-gesekan di masyarakat itu sendiri. 

Seperti pendapat ustadz fulan dibenturkan dengan pendapat ustadz lainnya yang padalah isi ceramah tersebut tidak saling berhubungan. Atau seperti suatu kasus-kasus yang seharusnya tidak usah diperdebatkan lalu dibuat opini yang menggiring publik sehingga terjadi permusuhan. 

Inilah tantangan yang harus segera diselesaikan, pemerintah harus bisa membuat langkah kedepannya dengaan membuat regulasi dan pengawasan untuk bermedia sosial, seperti membuat batasan poin-poin apa yang seharusnya diperbolehkan dan apa yang tidak. 

Jangan sampai kita sedang menuju digital 4.0 tapi masih menggunakan peraturan zaman penjajahan yang pasti sudah sangat berbeda dan tidak relevan. 

Pengawasan oleh tim cyber pemerintah juga harus ditingkatkan, jika sudah terindikasi memecah belah dan berpotensi memuat konten radikal maka seharusnya bisa langsung di take down. 

Jangan lupa juga untuk memberikan arahan dan edukasi kepada generasi muda milenial untuk lebih waspada dan selektif dalam menelusuri konten di media sosial.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun