Mohon tunggu...
Abdillah Hasan W
Abdillah Hasan W Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Someone who want to be better person

Mahasiswa Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga 20107030132

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Jangan Normalisasi Lagi Budaya Patriarki!

30 Juni 2021   12:02 Diperbarui: 30 Juni 2021   12:15 699
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: herstory.co.id

Sekian tahun Indonesia merdeka dari tangan penjajah, sekian lama bangsa Indonesia berkembang mengikuti perkembangan negara lainnya. Permasalahan terkait budaya patriarki masih saja sering terjadi. 

Belum lama ini, seorang perempuan memutuskan untuk tidak melanjutkan jenjang pendidikannya ke perguruan tinggi karena stereotip perempuan hanya akan berada di rumah dan mengurusi anak. Bahkan saya sendiri pernah mendengar secara langsung stereotip tersebut. 

Ada yang mengatakan untuk apa perempuan memiliki pendidikan tinggi kalau pada akhirnya hanya akan di rumah saja, tidak meniti karier. Apalagi zaman sekarang perempuan lebih memilih mencari suami yang kaya daripada susah-susah bekerja meniti karier. 

Padahal di era Kartini, emansipasi wanita sangat diperjuangkan demi pendidikan, agar wanita dapat turut serta merasakan duduk di bangku sekolah dan menggapai cita-cita.

Budaya patriarki pastinya memiliki keterkaitan yang kuat dengan isu kesetaraan gender. Patriarki dalam gender umumnya cenderung mengunggulkan salah satunya, bertentangan Hak Asasi Manusia yang tidak ada diskriminasi. Budaya patriarki khususnya di tanah Jawa cenderung mengunggulkan kaum laki-laki saja. 

Kaum laki-laki jarang sekali mendapatkan diskriminasi berbeda dengan perempuan yang selain mendapatkan diskriminasi juga dilekatkan pada berbagai mitos kepercayaan masyarakat. Hak-hak perempuan cenderung ditekan atau bahkan tidak dianggap. Walaupun hal tersebut sangat kental di era penjajahan, keadaan saat ini tidak menutup kemungkinan stereotip yang berkembang masih mengakar kuat pada pola pikir masyarakat.

Secara etimologi wanita (dibaca wanito) berasal dari kata wani ditoto dalam Bahasa Jawa. Kata wani ditoto merujuk pada seorang perempuan yang selalu menuruti perintah suami, tidak memiliki hak atas kontrol dirinya sendiri. Seorang wanita dalam konteks ini memiliki makna seseorang yang lemah lembut, pasif, serta penurut. 

Citra yang berkembang di masyarakat memunculkan anggapan perempuan harus feminim memang telah mengakar kuat dan menjadi kebudayaan setempat. Sebenarnya hal tersebut bukanlah sesuatu hal yang buruk karena pada nantinya juga akan berguna pada waktunya. Namun, pada berbagai kasus konteks wanito sering disalahartikan. Banyak kaum wanita yang tidak bisa melanjutkan karier mereka karena terhalang izin suami, padahal dia memiliki cita-cita yang ingin diwujudkan. Bahkan kasus tersebut ada yang berujung pada kekerasan fisik dan mental karena harus tunduk pada laki-laki.

Sistem budaya patriarki juga menempatkan laki-laki dalam kekuasaan dan peran yang dominan. Pada zaman dahulu perempuan memang tidak diperbolehkan berpendidikan tinggi karena hanya akan menjadi istri, mengurus anak dan di rumah. 

Tentunya budaya seperti ini yang telah berkembang menjadi stereotip masyarakat terkhususnya Jawa membuat kaum perempuan enggan meneruskan pendidikannya. Tidak jarang juga orang tua yang melarang anak perempuan mereka meneruskan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi dengan alasan hanya menghabiskan biaya. Apabila tidak ada pergerakan emansipasi wanita dari R. A. Kartini mungkin hingga saat ini hanya sebagian kecil perempuan yang berpendidikan tinggi.

Perawan tuwo adalah remaja perempuan yang sudah tua karena tidak kunjung menikah atau melewati umur umumnya remaja perempuan menikah. Berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku umur minimum perempuan untuk menikah adalah 19 tahun. 

Menurut sudut pandang orang zaman dahulu umur 19 tahun adalah umur yang cukup tua untuk memiliki suami, maka dari itu beberapa perempuan ada yang menikah dibawah umur 15 tahun. Bagi mereka yang tidak menikah di umur seperti sebayanya akan dicap sebagai perawan tuwo. 

Setelah emansipasi wanita ditegakkan stereotip tersebut masih saja melekat dalam pola pikir masyarakat. Terutama bagi perempuan yang mengejar cita-cita mereka dan mengesampingkan urusan perjodohan. Berawal dari stereotip perawan tuwo banyak anak perempuan yang diminta untuk segera menikah, mengesampingkan cita-cita. Bahkan ada juga yang diminta tidak usah melanjutkan pendidikan dan menikah saja.

Stereotip budaya patriarki di era memang merujuk pada suatu tatanan kehidupan yang kuno dan bersifat diskriminatif. Pada era modern patriarki tersebut berkembang menjadi sebuah budaya yang menjurus pada cara berpikir. Patriarki Jawa pada masa lalu lebih condong pada sudut pandang kaum laki-laki yang memiliki banyak keunggulan dan kekhawatiran stereotip perawan tuwo. 

Berbeda dengan era modern, budaya yang berkembang terwujud dalam pola berpikir yang mengarah pada labeling. Misalnya saja perempuan yang pulang malam atau sering keluar di malam hari dianggap perempuan yang tidak benar padahal kenyataannya belum tentu dia melakukan hal yang tidak benar. 

Pandangan dan pola pikir masyarakat yang sulit untuk menerima perkembangan zaman dan hanya berpaku pada budaya lama tanpa adanya peningkatan cara berpikir membuat kaum perempuan pun merasa dirugikan. 

Di era mienial ini dunia seolah hidup selama 24 jam tanpa henti dengan berbagai aktivitas manusia di dalamnya. Budaya patriarki jawa yang sering berburuk sangka memang dapat diambil sisi baiknya, yaitu perempuan akan menghindari perbuatan maksiat. Akan tetapi pola pikir seperti itu tentunya akan merugikan kaum perempuan sebab pulang malam juga menjadi hak semua orang, termasuk menghabiskan waktu untuk bekerja hingga larut malam.

Budaya patriarki di atas tidak sepenuhnya dapat disalahkan atau dianggap menyesatkan karena pada dasarnya budaya patriarki yang berkembang memiliki sisi positif dan negatifnya masing-masing.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun