Malpraktik medis secara umum didefinisikan sebagai kegagalan seorang tenaga kesehatan (dokter, perawat, bidan, dan tenaga kesehatan lainnya) untuk memberikan pelayanan sesuai dengan standar profesi yang berlaku, yang mengakibatkan kerugian atau cedera pada pasien (Wahyuningsih, 2024). Terjadi ketika diagnosis yang diberikan salah, terlambat, atau tidak lengkap, sehingga penanganan yang diberikan tidak tepat atau tertunda. Contohnya, salah menginterpretasi hasil pemeriksaan penunjang, terlambat mendiagnosis penyakit serius seperti kanker, atau gagal mendiagnosis kondisi gawat darurat.
Kurangnya sistem pelaporan yang terpusat dan kesadaran masyarakat untuk melaporkan kejadian malpraktek menjadi tantangan tersendiri dalam pengumpulan data. Namun, adanya peningkatan tuntutan hukum terkait malpraktek menunjukkan bahwa kesadaran masyarakat akan hak-haknya dalam pelayanan kesehatan semakin meningkat. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mendapatkan data yang lebih akurat dan representatif mengenai prevalensi dan karakteristik malpraktek di Indonesia dan Surabaya.
Malpraktik medis dapat bermanifestasi dalam berbagai bentuk, salah satunya adalah kelalaian diagnostik (diagnostic error), yang terjadi ketika diagnosis yang diberikan salah, terlambat, atau tidak lengkap. Akibatnya, penanganan yang diberikan menjadi tidak tepat atau tertunda, memperburuk kondisi pasien (Silaen et al, 2022). Contoh kelalaian diagnostik meliputi salah menginterpretasi hasil pemeriksaan penunjang seperti rontgen atau laboratorium, terlambat mendiagnosis penyakit serius seperti kanker yang berakibat pada keterlambatan pengobatan, atau gagal mendiagnosis kondisi gawat darurat yang membutuhkan tindakan segera.
Bentuk malpraktik lainnya adalah kesalahan prosedur (procedural error), yang terjadi saat pelaksanaan tindakan medis atau bedah tidak sesuai dengan prosedur standar yang berlaku. Kesalahan ini dapat berupa kesalahan dalam teknik operasi, misalnya salah sisi operasi atau kerusakan organ, salah memberikan obat atau dosis yang berakibat fatal, atau kesalahan dalam pemasangan alat medis seperti implan atau kateter. Kurangnya informed consent (lack of informed consent) juga merupakan bentuk malpraktik. Hal ini terjadi ketika pasien tidak diberikan informasi yang cukup dan jelas mengenai prosedur medis yang akan dilakukan, termasuk risiko, manfaat, dan alternatif tindakan yang tersedia. Akibatnya, pasien tidak dapat memberikan persetujuan yang sah dan rasional berdasarkan pemahaman yang memadai. Perlu ditekankan bahwa informed consent bukan sekadar formalitas tanda tangan di atas kertas, melainkan sebuah proses komunikasi yang efektif dan dua arah antara tenaga kesehatan dan pasien.
Terakhir, kelalaian dalam perawatan (negligence in treatment) terjadi ketika perawatan yang diberikan di bawah standar yang dapat diterima oleh profesi medis. Contohnya termasuk kurangnya pemantauan pasien pasca operasi yang berpotensi menyebabkan komplikasi tidak terdeteksi, tidak memberikan perawatan yang adekuat sesuai dengan kondisi pasien, atau tidak menindaklanjuti komplikasi yang timbul dengan tepat dan cepat. Keempat jenis malpraktek ini, baik secara terpisah maupun bersamaan, dapat menimbulkan kerugian yang signifikan bagi pasien dan merusak kepercayaan masyarakat terhadap layanan kesehatan.
Manajemen risiko malpraktek di instalasi kesehatan merupakan hal yang krusial, terutama di kota besar seperti Surabaya. Malpraktek, yang dapat berupa kelalaian medis atau tindakan yang tidak sesuai standar profesi, dapat berdampak serius bagi pasien dan juga reputasi instalasi kesehatan. Oleh karena itu, strategi mitigasi dan penanganan yang efektif sangat diperlukan.
TUJUAN
Bagian ini merumuskan tujuan dari pembahasan manajemen risiko malpraktek. Tujuannya adalah sbb:
1) Mengidentifikasi potensi risiko malpraktek di instalasi kesehatan di Surabaya.
2) Menganalisis faktor-faktor yang berkontribusi terhadap terjadinya malpraktek.
3) Merumuskan strategi mitigasi untuk mencegah terjadinya malpraktek.
4) Menyusun prosedur penanganan kasus malpraktek yang efektif dan berkeadilan.
5) Meningkatkan kesadaran dan pemahaman tenaga kesehatan mengenai manajemen risiko malpraktek.
METODOLOGI
Metodologi penelitian ini berfokus pada manajemen risiko malpraktek di instalasi kesehatan di Surabaya, melalui beberapa tahapan kunci. Pertama, dilakukan identifikasi risiko untuk mengenali potensi terjadinya malpraktek di berbagai area pelayanan, seperti ruang gawat darurat, ruang operasi, ruang rawat inap, dan poliklinik, mengingat setiap area memiliki karakteristik risiko yang berbeda. Tahap selanjutnya adalah analisis faktor risiko untuk memahami akar penyebab malpraktek. Faktor-faktor ini dikelompokkan menjadi tiga, yaitu faktor manusia yang meliputi kelelahan, stres, serta kurangnya pengetahuan atau keterampilan tenaga kesehatan; faktor sistem yang mencakup prosedur yang tidak jelas dan komunikasi yang buruk antar staf; dan faktor lingkungan yang berkaitan dengan lingkungan kerja yang tidak nyaman dan kurangnya fasilitas. Berdasarkan analisis ini, dirumuskan strategi mitigasi untuk mencegah malpraktek, termasuk upaya peningkatan kompetensi tenaga kesehatan dan penerapan Standar Prosedur Operasional (SPO). Terakhir, penelitian ini juga menyusun prosedur penanganan kasus malpraktek secara efektif dan berkeadilan, yang mencakup penanganan pengaduan pasien dan investigasi internal.
DISKUSI
Manajemen risiko di rumah sakit adalah serangkaian proses yang meliputi identifikasi, penilaian, pengendalian, dan pengurangan risiko secara komprehensif di seluruh aspek organisasi, termasuk tindakan medis yang dilakukan oleh tenaga kesehatan. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, khususnya Pasal 173 ayat (1) huruf b, mewajibkan fasilitas pelayanan kesehatan untuk memberikan layanan yang bermutu dan mengutamakan keselamatan pasien. Lebih lanjut, Pasal 176 menegaskan kewajiban pemerintah agar rumah sakit menerapkan standar keselamatan pasien. Pasal 178 ayat (2) menambahkan bahwa rumah sakit harus menerapkan manajemen risiko secara berkelanjutan dan terus menerus.
Penyelenggaraan manajemen risiko, terutama yang berkaitan dengan risiko akibat tindakan medis, bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum bagi tenaga kesehatan dan pasien. Berdasarkan pendapat para ahli, perlindungan hukum dapat diartikan sebagai tindakan atau upaya untuk melindungi masyarakat dari tindakan yang sewenang-wenang, menyeimbangkan hubungan antara nilai atau kaidah, dan menerjemahkannya ke dalam sikap dan tindakan dengan tujuan mengintegrasikan dan mengkoordinasikan berbagai kepentingan individu dalam masyarakat (Siringoringo et al., 2017).
Bagian diskusi ini mengkaji temuan-temuan dari metodologi yang diterapkan dalam studi manajemen risiko malpraktek. Tahap pertama adalah identifikasi risiko, yaitu mengenali potensi terjadinya malpraktek di berbagai area pelayanan kesehatan. Setiap area memiliki karakteristik risiko tersendiri. Di ruang gawat darurat (IGD), misalnya, risiko tinggi meliputi kesalahan triase (pemilahan pasien berdasarkan tingkat kegawatdaruratan), keterlambatan penanganan pasien kritis, dan kesalahan interpretasi hasil pemeriksaan penunjang yang serba cepat.
Di ruang operasi, risiko dapat berupa kesalahan prosedur bedah (seperti salah sisi operasi, cedera organ, atau tertinggalnya benda asing), komplikasi anestesi, dan infeksi pasca operasi. Ruang rawat inap berpotensi mengalami kesalahan pemberian obat (dosis, jenis, atau rute pemberian), kesalahan perawatan luka, dan kejadian pasien jatuh. Sementara di poliklinik, risiko meliputi kesalahan diagnosis, kurangnya informed consent (persetujuan tindakan medis setelah penjelasan yang memadai), dan kesalahan dalam pemberian informasi atau edukasi kepada pasien.
Setelah risiko diidentifikasi, dilakukan analisis faktor risiko untuk memahami akar penyebab terjadinya malpraktek. Faktor-faktor ini dikelompokkan menjadi: faktor manusia (human error) yang mencakup kelelahan, stres, kurangnya pengetahuan atau keterampilan, kurangnya konsentrasi, dan pelanggaran prosedur; faktor sistem yang meliputi prosedur yang tidak jelas atau usang, kurangnya supervisi atau pengawasan, komunikasi yang buruk antar staf, beban kerja yang berlebihan, dan kurangnya sumber daya; serta faktor lingkungan yang mencakup lingkungan kerja yang bising atau tidak nyaman, kurangnya fasilitas atau peralatan yang memadai, dan tekanan waktu.
Berdasarkan analisis ini, dirumuskan strategi mitigasi untuk mencegah malpraktek. Â Menurut Wahyuningsih (2024) strategi ini meliputi:
1) Peningkatan kompetensi dan pelatihan tenaga kesehatan secara berkala melalui pelatihan internal, seminar, workshop, dan simulasi;
2) Penyusunan dan penerapan Standar Prosedur Operasional (SPO) yang jelas, ringkas, mudah dipahami, dan selalu diperbarui sesuai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran;
3) Peningkatan komunikasi dan koordinasi antar tenaga kesehatan melalui briefingsebelum tindakan, debriefing setelah tindakan, dan penggunaan alat komunikasi yang efektif;
4) Penerapan Sistem Pelaporan Insiden Keselamatan Pasien (IKP) yang non-punitive (tidak menghukum pelapor) untuk mendorong pelaporan kejadian nyaris cedera (KNC) dan kejadian tidak diharapkan (KTD) sehingga dapat dianalisis dan dicegah terulangnya; dan
5) Pemanfaatan teknologi informasi seperti rekam medis elektronik (RME), sistem Computerized Physician Order Entry (CPOE) untuk mencegah kesalahan peresepan, dan sistem barcode untuk verifikasi obat.
Terakhir, disusun prosedur penanganan kasus malpraktek yang meliputi:
1) Penanganan pengaduan pasien secara cepat, responsif, dan empatik;
2) Investigasi internal yang objektif dan komprehensif untuk mencari fakta dan akar masalah;
3) Mediasi dan penyelesaian sengketa secara musyawarah untuk mencapai solusi yang adil bagi pasien dan tenaga kesehatan;
4) Pelaporan kepada pihak berwenang (seperti Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia/MKDKI atau kepolisian) jika diperlukan sesuai peraturan perundang-undangan; dan
5) Perbaikan sistem dan prosedur berdasarkan hasil investigasi untuk mencegah kejadian serupa di masa mendatang dan meningkatkan mutu pelayanan. Implementasi strategi mitigasi dan prosedur penanganan yang efektif dan terintegrasi sangat krusial untuk meminimalkan risiko malpraktek dan mewujudkan pelayanan kesehatan yang aman dan berkualitas.
KESIMPULAN
Penelitian ini menunjukkan bahwa manajemen risiko malpraktek di instalasi kesehatan sangat penting untuk memastikan keselamatan pasien dan meningkatkan kualitas pelayanan. Identifikasi risiko yang tepat dan analisis faktor penyebab adalah langkah awal yang krusial. Implementasi strategi mitigasi yang efektif, seperti peningkatan pelatihan tenaga kesehatan dan penerapan sistem pelaporan insiden, dapat mengurangi kemungkinan terjadinya malpraktek. Selain itu, prosedur penanganan yang responsif terhadap pengaduan pasien juga diperlukan untuk membangun kepercayaan masyarakat terhadap layanan kesehatan. Dengan demikian, upaya kolaboratif dari semua pihak terkait sangat diperlukan untuk menciptakan lingkungan pelayanan kesehatan yang aman dan berkualitas di Surabaya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H