4) Menyusun prosedur penanganan kasus malpraktek yang efektif dan berkeadilan.
5) Meningkatkan kesadaran dan pemahaman tenaga kesehatan mengenai manajemen risiko malpraktek.
METODOLOGI
Metodologi penelitian ini berfokus pada manajemen risiko malpraktek di instalasi kesehatan di Surabaya, melalui beberapa tahapan kunci. Pertama, dilakukan identifikasi risiko untuk mengenali potensi terjadinya malpraktek di berbagai area pelayanan, seperti ruang gawat darurat, ruang operasi, ruang rawat inap, dan poliklinik, mengingat setiap area memiliki karakteristik risiko yang berbeda. Tahap selanjutnya adalah analisis faktor risiko untuk memahami akar penyebab malpraktek. Faktor-faktor ini dikelompokkan menjadi tiga, yaitu faktor manusia yang meliputi kelelahan, stres, serta kurangnya pengetahuan atau keterampilan tenaga kesehatan; faktor sistem yang mencakup prosedur yang tidak jelas dan komunikasi yang buruk antar staf; dan faktor lingkungan yang berkaitan dengan lingkungan kerja yang tidak nyaman dan kurangnya fasilitas. Berdasarkan analisis ini, dirumuskan strategi mitigasi untuk mencegah malpraktek, termasuk upaya peningkatan kompetensi tenaga kesehatan dan penerapan Standar Prosedur Operasional (SPO). Terakhir, penelitian ini juga menyusun prosedur penanganan kasus malpraktek secara efektif dan berkeadilan, yang mencakup penanganan pengaduan pasien dan investigasi internal.
DISKUSI
Manajemen risiko di rumah sakit adalah serangkaian proses yang meliputi identifikasi, penilaian, pengendalian, dan pengurangan risiko secara komprehensif di seluruh aspek organisasi, termasuk tindakan medis yang dilakukan oleh tenaga kesehatan. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, khususnya Pasal 173 ayat (1) huruf b, mewajibkan fasilitas pelayanan kesehatan untuk memberikan layanan yang bermutu dan mengutamakan keselamatan pasien. Lebih lanjut, Pasal 176 menegaskan kewajiban pemerintah agar rumah sakit menerapkan standar keselamatan pasien. Pasal 178 ayat (2) menambahkan bahwa rumah sakit harus menerapkan manajemen risiko secara berkelanjutan dan terus menerus.
Penyelenggaraan manajemen risiko, terutama yang berkaitan dengan risiko akibat tindakan medis, bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum bagi tenaga kesehatan dan pasien. Berdasarkan pendapat para ahli, perlindungan hukum dapat diartikan sebagai tindakan atau upaya untuk melindungi masyarakat dari tindakan yang sewenang-wenang, menyeimbangkan hubungan antara nilai atau kaidah, dan menerjemahkannya ke dalam sikap dan tindakan dengan tujuan mengintegrasikan dan mengkoordinasikan berbagai kepentingan individu dalam masyarakat (Siringoringo et al., 2017).
Bagian diskusi ini mengkaji temuan-temuan dari metodologi yang diterapkan dalam studi manajemen risiko malpraktek. Tahap pertama adalah identifikasi risiko, yaitu mengenali potensi terjadinya malpraktek di berbagai area pelayanan kesehatan. Setiap area memiliki karakteristik risiko tersendiri. Di ruang gawat darurat (IGD), misalnya, risiko tinggi meliputi kesalahan triase (pemilahan pasien berdasarkan tingkat kegawatdaruratan), keterlambatan penanganan pasien kritis, dan kesalahan interpretasi hasil pemeriksaan penunjang yang serba cepat.
Di ruang operasi, risiko dapat berupa kesalahan prosedur bedah (seperti salah sisi operasi, cedera organ, atau tertinggalnya benda asing), komplikasi anestesi, dan infeksi pasca operasi. Ruang rawat inap berpotensi mengalami kesalahan pemberian obat (dosis, jenis, atau rute pemberian), kesalahan perawatan luka, dan kejadian pasien jatuh. Sementara di poliklinik, risiko meliputi kesalahan diagnosis, kurangnya informed consent (persetujuan tindakan medis setelah penjelasan yang memadai), dan kesalahan dalam pemberian informasi atau edukasi kepada pasien.
Setelah risiko diidentifikasi, dilakukan analisis faktor risiko untuk memahami akar penyebab terjadinya malpraktek. Faktor-faktor ini dikelompokkan menjadi: faktor manusia (human error) yang mencakup kelelahan, stres, kurangnya pengetahuan atau keterampilan, kurangnya konsentrasi, dan pelanggaran prosedur; faktor sistem yang meliputi prosedur yang tidak jelas atau usang, kurangnya supervisi atau pengawasan, komunikasi yang buruk antar staf, beban kerja yang berlebihan, dan kurangnya sumber daya; serta faktor lingkungan yang mencakup lingkungan kerja yang bising atau tidak nyaman, kurangnya fasilitas atau peralatan yang memadai, dan tekanan waktu.
Berdasarkan analisis ini, dirumuskan strategi mitigasi untuk mencegah malpraktek. Â Menurut Wahyuningsih (2024) strategi ini meliputi: