Mohon tunggu...
abdil azizul furqon
abdil azizul furqon Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer Asisten Peneliti

Pembelajar yang mencoba untuk menulis, mereview, meneliti, dan menjelajahi alam. Minat kajian hukum dan politik

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Kenapa Cebong dan Kampret Bisa Menjadi Identitas Baru ?

21 Februari 2019   15:00 Diperbarui: 21 Februari 2019   21:07 206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sementara untuk kampret sendiri, asal kata tersebut sebenarnya bermuatan positif. Saya coba mencari di KBBI arti kata itu, dan artinya "kelalawar kecil pemakan serangga, hidungnya berlipat-lipat" sama halnya dengan codot, kalau kata sebagian masyarakat untuk memanggil kelalawar. Nah, kata itu juga bisa bermuatan negatif dengan penyebab yang sama.

Akhirnya istilah cebong dan kampret terjadi perubahan konotasi dan menjadi sebuah "identitas baru" yang disematkan oleh masing-masing pendukung untuk memberikan stempel pada lawan politiknya.

Berhenti Menggunakan Istilah

Sebenarnya istilah cebong dan kampret tidak akan menyebar luas, jika tidak ditegaskan dan dipopulerkan oleh para politisi atau pendukung oleh masing-masing kubu. Kedua kata tersebut bisa tetap menjadi netral dan bermuatan positif, jika para pendukung berkampanye tidak menggunakan kedua istilah tersebut. Saat ini, kedua istilah tersebut telah menjadi streotip yang bermuatan ketidaksukaan, jika tidak ingin dikatakan sebagai bentuk kebencian.

Bagi sebagian pembaca mungkin menganggapnya terlalu berlebihan. Namun mari kita berpikir lebih luas dan lebih jauh ke depan lagi mengenai dampak yang muncul dari penggunaan kedua istilah itu. 

Kondisi yang memanas seperti ini, membuat saya merasa seperti bukan di Indonesia. Sebab yang saya tahu, masyarakat Indonesia itu ramah, sopan, berpikir terbuka, dan toleransi. Semua sikap itulah yang membuat masyarakat yang berada di berbagai pulau ini mau menyatukan diri dengan nama Indonesia.

Kalau para pendiri bangsa masih hidup hingga saat ini, mereka bisa saja bersikap sedih dengan kondisi masyarakat yang penuh dengan perpecahan hanya karena perbedaan pilihan presiden.

Selain itu, Indonesia yang mayoritas beragama Islam juga seperti belum bisa mengamalkan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Padahal dalam Islam ada nilai toleransi, keramahan, kesopanan dan berpikir terbuka.

Kalau kita membaca sejara peradaban Islam, peradaban Islam di Cordova bisa semegah itu karena pemimpin dan masyarakatnya bersikap toleran terhadap agama-agama lain yang hidup di wilayah tersebut. Peradaban Islam bisa semaju yang tertulis dalam sejarah, karena pemimpin dan masyarakatnya berpikir secara terbuka untuk menerima pengetahuan  dan bisa memilah nilai-nilai dari peradaban sebelum dan diubah hingga sesuai dengan Islam.

Kemudian peradaban Islam mampu tertulis dengan kemegahan yang luar biasa, karena para pemimpin dan masyaraktnya mau menerima segala perbedaan yang ada di masyarakatnya.

Seperti yang sudah sampaikan di awal tulisan ini, betapa bahayanya kalau istilah "cebong" dan "kampret" sering digunakan untuk menjustifikasi untuk lawan politiknya. Dampaknya bisa memecah belah masyarakat. Selain itu dampak yang akan muncul adalah meningkatnya angka golput pada masyarakat untuk pemilihan umum presiden.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun