Kritik ini disampaikan oleh banyak pihak, baik itu lembaga pemerintahan maupun partai politikRespon dari KPU setelah mendapatkan kritik tersebut adalah membuka kembali bagi warga yang belum terdaftar selama 60 hari.
Namun apabila ada warga yang masih belum terdaftar juga, KPU memberikan 2 (dua) opsi. Pertama secara manual, yaitu datang ke PPD dan yang kedua secara online dengan cara menggunakan aplikasi yang dikembangkan KPU RI 2019 di Play Store untuk pengguna android. Sementara untuk pengguna Apple, saya tidak mengetahuinya, karena saya belum pernah menggunakan Apple. (hehehe :D)
Setelah selesai memberikan solusi masalah sebelumnya, muncul berita bahwa KPU memasukan orang gila pada DPT. Kritik ini disampaikan oleh kedua belah pihak paslon yang sudah mendaftarkannya. Kemudian Ketua KPU langsung menjelaskan yang dimaksudkan pada PKPU No. 11 Tahun 2018 disitu adalah orang yang sedang tidak terganggung jiwa dan ingatannya.
Dasar hukum dari peraturan tersebut adalah Putusan Mahkamah Konstitusi No. 135/PUU-XIII/2015, untuk lebih jelasnya pembaca bisa mengunduhnya disini . Namun ada hal yang perlu dijelaskan oleh saya, bahwa KPU hanya melindungi salah satu hak warga negara, yaitu memilih. Sekali lagi, itu berkedudukan sebagai hak bukan sebagai kewajiban, apabila tidak dikerjakan mendapatkan sanksi.
Mengenai lanjutannya, apabila seseorang yang masuk pada kategori tersebut ingin memilih, harus memiliki surat keterangan dokter kalau si pemilih bisa berpartisipasi. Bahkan partisipasi yang didorong ketika lahirnya peraturan ini adalah perlindungan kepada kaum difabel.
Selain itu, ada persyaratan tambahan jika seseorang yang memiliki gangguan jiwa boleh menyoblos setelah mendapatkan surat dari dokter kejiwaan.
Selanjutnya berkaitan dengan hoax dan bisa dikatakan juga sebagai kritik, mengenai kotak suara kardus. Kali ini yang merespon berlebihan bagi saya adalah kubu Prabowo-Sandi, bahkan sempat menjadi tranding topic di twitter berkaitan dengan isu ini.
Padahal pada saat itu, KPU baru mewacanakan dan belum benar-benar memperlihatkan kepada publik wujud dari kotak suara yang akan digunakan pada pemilihan 2019. Bahan kotak suara yang akan digunakan ini berbahan kertas karton yang kedap air. Beberapa pekan yang lalu, KPU langsung membuktikan di depan publik kekuatan dari kotak suara yang digunakan nanti dengan berbagai macam "atraksi".
Sudah terverifikasi isu tersebut, muncul kembali hoax yang ditujukan kepada KPU, yaitu hoax bahwa Arief Budiman, selaku Ketua Komisioner KPU-RI adalah adik dari Alm. Soe Hok Gie. Saya yakin dari beberapa pembaca belum tahu siapa itu Soe Hok Gie. Saya sarankan pembaca untuk menonton film Soe Hok Gie deh.
Bahkan sampai dikaitkan kalau Arief Budiman memiliki nama dua nama dan diduga Komunis oleh beberapa pihak. Aduh mama sayangeee, pembaca yang budiman, anda harus memverifikasi dahulu sebelum menghakimi. Buktinya, Arief Budiman yang dimaksud adik dari Soe Hok Gie adalah dosen di salah satu kampus ternama di Indonesia dan sudah berusia 77 tahun.
Jadi mungkin anda salah orang. Nama yang sama, selalu mungkin terjadi. Tapi yang sudah saya sampaikan, lebih baik anda memverfikasi terlebih dahulu sebelum menghakimi kemudian menyebarkan berita tersebut. Kemudian langsung saja narasinya bertambah, kalau Ketua KPU itu komunis ketika belum ada verifikasi mengenai hal tersebut.