Mohon tunggu...
Abdy Busthan
Abdy Busthan Mohon Tunggu... Administrasi - Aktivis Pendidikan

Penulis, Peneliti dan Dosen

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Konflik Papua dan Pendekatan Militeristik

18 Februari 2021   13:36 Diperbarui: 18 Februari 2021   13:59 819
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
kampung kegime, Wamena Papua (Dok. pribadi)

Ada satu kutipan menarik dari sebuah syair lagu yang pernah didendangkan oleh bung Doddie Latuharhary, yang mengatakan: "Tanah Papua, tanah yang kaya, Surga kecil jatuh ke bumi".... Dilanjutkan lagi dengan kalimat: "tanah Papua.. adalah harta harapan...," dan bla, bla, bla. 

Ya, secara aksiomatiis, harus diakui bahwa kutipan syair diatas memang mewakili indahnya alam dan pesona di tanah Papua. Namun rasanya tidak benar, jika merdunya syair lagu itu diletakkan pada alam realitas yang sesungguhnya, karena petikan syair lagu itu hanya menjadi bagian cerita MOB dalam kisah sang Abunawas.

Sebelum saya memulai lebih jauh goresan ini, perkenankanlah saya mengungkapkan rasa cinta dan sayang saya terhadap tanah Papua. 

Ya, saya memang bukan Orang Asli Papua (non-OAP). Tapi saya dibesarkan di tanah Papua. Bahkan orang tua saya sudah mengabdikan dirinya untuk mendidik masyarakat di pedalaman Papua sejak akhir Tahun 60 an. Dan jujur, saya cinta tanah Papua. 

Di tanah inilah saya mengenal tentang Kehidupan. Tentang kebaikan, dan tentang keluhuran hidup. Itu sebabnya sebagai rasa cinta saya terhadap tanah Papua, saya ingin mengungkapkannya melalui tulisan ini.

Mari kita mulai...

Bahwa secara teoritis, boleh dibilang pemerintah Indonesia memang sudah melakukan perubahan di tanah Papua sejak zaman Orde Baru hingga saat ini. Namun secara praksis, sungguh perubahan-perubahan yang dimaksud itu justru melahirkan hal-hal muskil yang tak kunjung berakhir.

Dalam bidang politik misalnya, bukan hal baru lagi jika sampai detik ini, sebagian masyarakat asli Papua masih mempertanyakan legitimasi kekuasaan Indonesia atasnya. Bahkan terkesan pemerintah menghindari perdebatan tentang status dan sejarah politik Papua. Akhirnya muncullah tuntutan masyarakat Papua untuk meminta secercah keadilan melalui apa yang disebut dengan "referendum".

Permasalahan lainnya adalah soal sumber daya alam, dimana sumber daya alam Papua kerapkali digerogoti terutama perusahaan bisnis dari luar Papua, yang sebenarnya justru tidak memberi sumbangan nyata bagi perkembangan Papua secara utuh dan menyeluruh.

Seharusnya, kerja sama yang adil dan sistematik antara pemerintah Indonesia, masyarakat Papua, dan komunitas Internasional, sekiranya bisa menyelesaikan konflik multidimensional yang terjadi selama ini di Papua.

Persoalan pembagunan juga masih menyisahkan rekam jejak yang sangat bias, karena sepertinya pemerintah pusat masih parsial dalam menyelesaikan persoalan melalui percepatan pembangunan di bumi Cenderawasih, Papua.

Ya, semua persoalan di Papua sebenarnya harus disentuh secara simultan mengingat persoalan satu dengan persoalan lainnya memiliki keterkaitan. Pendekatan pembangunan misalnya, hal ini memang penting bagi orang Papua, tetapi ada persoalan lainnya yang tidak bisa diselesaikan hanya menggunakan pendekatan ini.

Contoh sederhana adalah persoalan HAM. Persoalan ini tidak bisa dipandang hanya sekedar persoalan 'kekerasan' saja. Tetapi jauh daripada itu, bahwa persoalan ini berhubungan dengan tidak terpenuhinya hak-hak dan kebutuhan dasar masyarakat Papua, seperti: infrastruktur, kesehatan, pendidikan, dan lain sebagainya. 

Munculnya diskriminasi dan marjinalisasi misalnya, hal ini tidak bisa dikaitkan hanya sebatas aspek ekonomi semata, tetapi harus pula bersinggungan dengan aspek sosial, budaya, dan politik.

Pendekatan Militeristik Menihilkan Kemanusiaan
Sejak pemerintahan Presiden Soeharto, pendekatan militeristik seharusnya menjadi catatan penting mengingat kerap terjadi diskriminasi dan pelanggaran HAM di tanah Papua. Sehingga hampir sebagain besar orang Papua masih menyimpan trauma dan memori buruk atas pendekatan militer yang terjadi hingga saat ini.

Pendekatan militeristik sebenarnya akan menciptakan ketakutan, teror, konflik, bahkan pertumpahan darah di berbagai tempat. Dan ini sungguh bertentangan dengan nurani Orang Asli Papua (OAP) yang sungguh merindukan kemurnian identitas mereka yang jauh dari kekerasan dan genjatan senjata.

Dan bukan tidak mungkin, dengan Pendekatan militeristik ini, orang asli Papua semakin hidup dalam delusi berkepanjanjangan. Sehingga mereka hanya ingin hidup dan bergaul dengan orang-orang yang satu identitas. Akhirnya, sikap tertutup ini merusak keutuhan bangsa Indonesia. Sikap ini pula yang akhirnya melukai kehidupan bersama, dan mengundang pertikaian tanpa jedah di bumi Papua tercinta.

Akibatnya, timbullah pemberontakan sepihak dari Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB), yang terus merongrong keutuhan berbangsa dan bernegara. Seharusnya persoalan KKB tidak bisa diselesaikan dengan intervensi-intervensi Pemerintah melalui pendekatan militer. Persoalan ini setidaknya bisa diselesaikan melalui kewenangan dengan memanfaatkan kearifan lokal. Artinya, pendekatan kultural dan kemanusiaan harus diutamakan demi menangani permasalahan KKB di Papua, tanpa menghilangkan pendekatan aspek lain, sehingga tidak bersinggungan dengan kekerasan dan menihilkan prinsip-prinsip kemanusiaan.

Sebagaimana kisah dalam novel terkenal yang pertama kalinya mencetuskan terminologi 'nihilisme', yakni dalam karya Ivan Turgenev, berjudul: Fathers and Souns (1862). Dalam novel ini dikisahkan sikap salah seorang tokoh yang menegasi tradisi atau kepercayaan secara total sebagai 'nihilisme'. Dan sikap ini bukanlah suatu sikap acuh tak acuh, tetapi lebih kepada sikap penolakan, peniadaan, dan penghancuran---seperti yang tampak pada pemberontakan KKB di bumi Papua. 

Seharusnya benar, seperti apa yang dikemukakan oleh John Stuart Mill (1860-1873) dalam karyanya yang sangat terkenal, "On Liberty". Disitu Mill menulis bahwa "Segala yang menjadikan eksistensi, menjadi berharga bagi setiap orang yang bergantung pada penegakkan pengendalian tindakan-tindakan orang lain" (John Stuart Mill, On Liberty, 130). Mill sebenarnya ingin menyatakan disini bahwa apabila kebebasan rakyat ditekan secara penuh, maka sebagian besar diantara mereka akan memanfaatkan kondisi ketidakberdayaan itu untuk mengesploitasi orang lain.

Sekali lagi, pemerintah harus arif melihat persoalan ini. Pemerintah harus kembali mengedepankan kemanusiaan melalui kearifan lokal. Sebab sesungguhnya permasalahan yang terjadi di Papua bukan hanya berhenti pada soal bagaimana menghentikan hal-hal yang tidak kita inginkan saja, tetapi harus menghasilkan hal-hal baru yang kita inginkan bersama. Inilah urgensi dalam menyelesaikan konflik yang terus bergulir di tanah Papua.

Perubahan yang Tidak berubah
Sampai detik ini, "perubahan" adalah hal terindah yang sangat didambakan oleh semua kalangan yang hidup di tanah Papua. Namun bersamaan dengan harapan akan perubahan itu, beragam ancaman terhadap perubahan justru semakin bergulir hingga menuntut masyarakat untuk segera beradaptasi dengannya. Jika tidak, ancaman tergilas oleh perubahan itu semakin kuat dan terbuka.

Perubahan di semua lini kehidupan memang menjadi kata kunci yang sakti bagi masyarakat Papua. Apalagi di saat era inovasi disrupsi yang terjadi saat ini. Tentu membuat perubahan menjadi formula baru, khususnya bagi upaya masyarakat Papua untuk terus mempertahankan diri. 

Namun sesungguhnya, berubah dan perubahan bisa mengarah pada kondisi negatif maupun positif. Perubahan sejatinya adalah self defence mechanism alamiah dari kemampuan beradaptasi manusia. Artinya, perubahan menuntut masyarakat Papua menciptakan era baru yang sangat berbeda dari sebelumnya.

Bagaimana sebenarnya perubahan itu bisa terjadi dan sejauh mana akan berdampak pada kehidupan masyarakat Papua?

Saya teringat salah satu petikan pidato terakhir CEO Nokia, Jorma Ollila, yang pernah mengatakan: "kita tidak melakukan suatu kesalahan, tetapi entah mengapa kami kalah". Jika narasi ini dikaitkan dengan perubahan, sungguh kalimat ini mengingatkan bahwa perubahan kerapkali luput dalam penglihatan, namun dampaknya fatal dirasakan. 

Ya, sudah begitu banyak teriakan dan slogan-slogan perubahan di tanah Papua yang masih terus dikumandangkan hingga detik ini. Bahkan dalam derajad tertentu, kebijakan Pemerintah Pusat maupun Daerah juga sudah dikeluarkan demi menghadirkan perubahan di bumi Papua. Namun justru bersamaan dengan harapan akan perubahan itu, keamanan dan kenyamanan hidup pun semakin mencekam.

Lalu, kapan perubahan akan terjadi di tanah Papua? Tentu kita tidak dapat memproyeksikan hal tersebut dengan presisi, tetapi kondisi dan situasi atas perubahan dapat dirasakan. Lantas, bagaimana sebuah perubahan dapat dirasakan? Secara nyata, bentuk fisik perubahan mungkin bisa jadi tidak nampak, tetapi lingkungan dan ekosistem bisa berubah setiap saat.

Itu sebabnya pemerintah pusat dan daerah harus bekerja sama untuk memutus rantai yang sampai saat ini terus memicu lahirnya persoalan baru, seperti: ketidakadilan, pelanggaran HAM, politik dan ekonomi. Berbagai pelanggaran HAM setidaknya harus kembali diselidiki. Korban dan keluarga korban perlu mendapatkan kompensasi dan keadilan selayak-layaknya. Bahkan pelaku perlu ditemukan dan dihukum sesuai aturan maupun rasa keadilan masyarakat Papua.

Pemerintah maupun perusahaan yang ada di Papua mungkin sulit untuk bersikap adil dalam hal ini. Maka dari itu, kerja sama dengan berbagai lembaga internasional kiranya juga diperlukan. Bentuk-bentuk pelanggaran HAM yang sulit diungkapkan selama ini, setidaknya bisa melibatkan komunitas internasional dalam memainkan peranan agar membantu menguraikan konflik dan mencari jalan keluar, yakni "damai". Itu semua tentu tak berguna tanpa kehendak baik, sekaligus kebijakan yang jernih dari pemerintah pusat. Tanpa upaya ini, maka Papua akan terus bergejolak.

Pendekatan militer harus pula dibatasi. Sebab dalam banyak kasus, pendekatan militer justru memperburuk keadaan. Masyarakat menjadi agresif dan reaksioner ketika dihadapkan dengan pendekatan militer ini. Dan dalam segala persoalan, dialog adalah jalan terbaik untuk memecahkan masalah. Jalur hukum bisa ditempuh jika jalan dialog mengalami kebuntuan.

Dalam hal lainnya, pemerintah dan perusahaan yang beroperasi selama ini di tanah Papua, sebaiknya tidak memberikan janji-janji muluk pada masyarakat Papua. Untuk mencapai kesepakatan dengan masyarakat lokal, seringkali pemerintah maupun pebisnis membuat beragam janji. Ketika akhirnya sulit terpenuhi, maka timbul kecewa dalam diri masyarakat. Dan perlu dipahami bahwa dalam jangka panjang, kekecewaan ini bisa menjadi dendam yang merupakan tempat subur untuk munculnya konflik.

Sekali lagi, jantung persoalan politik dan sumber daya yang mengemuka selama ini di Papua adalah menyangkut persoalan keadilan! Di tanah yang kaya ini, begitu banyak orang Papua hidup dalam kemiskinan dan keterbelakangan. Sementara non OAP semakin menggeliat tak beraturan hingga mencapai kondisi kemakmuran diluar batas-batas akal sehat.

Allah Ninarum, wa..waa

Wassalam..Hormat di bri

Oleh: Abdy Bushan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun