Mohon tunggu...
Abdy Busthan
Abdy Busthan Mohon Tunggu... Administrasi - Aktivis Pendidikan

Penulis, Peneliti dan Dosen

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Konflik Papua dan Pendekatan Militeristik

18 Februari 2021   13:36 Diperbarui: 18 Februari 2021   13:59 819
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
kampung kegime, Wamena Papua (Dok. pribadi)

Ya, semua persoalan di Papua sebenarnya harus disentuh secara simultan mengingat persoalan satu dengan persoalan lainnya memiliki keterkaitan. Pendekatan pembangunan misalnya, hal ini memang penting bagi orang Papua, tetapi ada persoalan lainnya yang tidak bisa diselesaikan hanya menggunakan pendekatan ini.

Contoh sederhana adalah persoalan HAM. Persoalan ini tidak bisa dipandang hanya sekedar persoalan 'kekerasan' saja. Tetapi jauh daripada itu, bahwa persoalan ini berhubungan dengan tidak terpenuhinya hak-hak dan kebutuhan dasar masyarakat Papua, seperti: infrastruktur, kesehatan, pendidikan, dan lain sebagainya. 

Munculnya diskriminasi dan marjinalisasi misalnya, hal ini tidak bisa dikaitkan hanya sebatas aspek ekonomi semata, tetapi harus pula bersinggungan dengan aspek sosial, budaya, dan politik.

Pendekatan Militeristik Menihilkan Kemanusiaan
Sejak pemerintahan Presiden Soeharto, pendekatan militeristik seharusnya menjadi catatan penting mengingat kerap terjadi diskriminasi dan pelanggaran HAM di tanah Papua. Sehingga hampir sebagain besar orang Papua masih menyimpan trauma dan memori buruk atas pendekatan militer yang terjadi hingga saat ini.

Pendekatan militeristik sebenarnya akan menciptakan ketakutan, teror, konflik, bahkan pertumpahan darah di berbagai tempat. Dan ini sungguh bertentangan dengan nurani Orang Asli Papua (OAP) yang sungguh merindukan kemurnian identitas mereka yang jauh dari kekerasan dan genjatan senjata.

Dan bukan tidak mungkin, dengan Pendekatan militeristik ini, orang asli Papua semakin hidup dalam delusi berkepanjanjangan. Sehingga mereka hanya ingin hidup dan bergaul dengan orang-orang yang satu identitas. Akhirnya, sikap tertutup ini merusak keutuhan bangsa Indonesia. Sikap ini pula yang akhirnya melukai kehidupan bersama, dan mengundang pertikaian tanpa jedah di bumi Papua tercinta.

Akibatnya, timbullah pemberontakan sepihak dari Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB), yang terus merongrong keutuhan berbangsa dan bernegara. Seharusnya persoalan KKB tidak bisa diselesaikan dengan intervensi-intervensi Pemerintah melalui pendekatan militer. Persoalan ini setidaknya bisa diselesaikan melalui kewenangan dengan memanfaatkan kearifan lokal. Artinya, pendekatan kultural dan kemanusiaan harus diutamakan demi menangani permasalahan KKB di Papua, tanpa menghilangkan pendekatan aspek lain, sehingga tidak bersinggungan dengan kekerasan dan menihilkan prinsip-prinsip kemanusiaan.

Sebagaimana kisah dalam novel terkenal yang pertama kalinya mencetuskan terminologi 'nihilisme', yakni dalam karya Ivan Turgenev, berjudul: Fathers and Souns (1862). Dalam novel ini dikisahkan sikap salah seorang tokoh yang menegasi tradisi atau kepercayaan secara total sebagai 'nihilisme'. Dan sikap ini bukanlah suatu sikap acuh tak acuh, tetapi lebih kepada sikap penolakan, peniadaan, dan penghancuran---seperti yang tampak pada pemberontakan KKB di bumi Papua. 

Seharusnya benar, seperti apa yang dikemukakan oleh John Stuart Mill (1860-1873) dalam karyanya yang sangat terkenal, "On Liberty". Disitu Mill menulis bahwa "Segala yang menjadikan eksistensi, menjadi berharga bagi setiap orang yang bergantung pada penegakkan pengendalian tindakan-tindakan orang lain" (John Stuart Mill, On Liberty, 130). Mill sebenarnya ingin menyatakan disini bahwa apabila kebebasan rakyat ditekan secara penuh, maka sebagian besar diantara mereka akan memanfaatkan kondisi ketidakberdayaan itu untuk mengesploitasi orang lain.

Sekali lagi, pemerintah harus arif melihat persoalan ini. Pemerintah harus kembali mengedepankan kemanusiaan melalui kearifan lokal. Sebab sesungguhnya permasalahan yang terjadi di Papua bukan hanya berhenti pada soal bagaimana menghentikan hal-hal yang tidak kita inginkan saja, tetapi harus menghasilkan hal-hal baru yang kita inginkan bersama. Inilah urgensi dalam menyelesaikan konflik yang terus bergulir di tanah Papua.

Perubahan yang Tidak berubah
Sampai detik ini, "perubahan" adalah hal terindah yang sangat didambakan oleh semua kalangan yang hidup di tanah Papua. Namun bersamaan dengan harapan akan perubahan itu, beragam ancaman terhadap perubahan justru semakin bergulir hingga menuntut masyarakat untuk segera beradaptasi dengannya. Jika tidak, ancaman tergilas oleh perubahan itu semakin kuat dan terbuka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun