"Dari rintik suara anak petani melumat embun pertanyaan. Melamun tentang kabut harapan, hempasan kemanusiaan yang lecet, macet hukum, demam kebenaran di bungkam demi kejahatan, jahit ini untuk melengkapi mata orang pinggiran"
Kamis Di Mata Benga
______________
3600 detik beberapa abad lalu. Orang-orang masih lalu lalang mendengarkan reruntuhan peluru. Suara tembok yang digorok sepatu-sepatu kulit. Gesekan bambu tanpa baju. Hingga keringat yang membusuk di suatu ingatan.
Benga...
Nama gadis yang setia duduk menanti kabar. Kabar kerinduan yang tenggelam begitu panjang. Kabar cinta yang kini tinggal serpihan tanya, tanya, tanya, dan semoga yang tak kunjung-kunjung jeda.
" Apakah ada pesan hari ini?."
Ola wartawan muda itu selalu meninggalkan kalimat-kalimat itu berharap gadis itu tak lagi terkubur sepi. Sunyi membuncah, pecah berbaring nyaring tanpa rumah.
" Apakah ada pesan hari ini?."
Tiga Minggu berlalu dengan "Apakah ada pesan hari ini?" berulang kali di ucapkan. Bercucuran di atas langkah, membantai setiap kehadiran yang coba membujuk teduh.
" Benga. Ini sudah begitu larut. Pekik malam akan tiba sebentar lagi. Percayalah suatu hari nanti ia akan kembali."
Ibu mertuanya coba mendinginkan suasana. Suhada menemui arti dan makna. Sajadah untuk keping-keping merindu lalu pilu.
" Aku akan pulang jika dia benar-benar kembali. Dengan hati dan puisi ketika ia menyimpan janji."
Air mata perlahan mengemis pada Kamis. Pada kota yang kini politik dan hukumnya begitu tragis. Tangis tragedi pelanggaran hak asasi manusia di lepas tanpa tuntas.
"Dia berjanji untuk segera pulang. Yakinlah itu dengan doa."
Bujuk demi sejuk berulang kali memeluk. Memetik semoga berharap kabar tak menjadi tua. Mendua pada titik perjuangan yang kini di lupakan negara.
( Benga. Kepergian ini adalah bukti bahwa aku begitu mencintaimu. Napas-napas bersamamu adalah sebuah ibadah yang selama ini belum sembuh. Kita hanya sedang mencoba untuk meyakinkan waktu bahwa perjuangan membangkitkan kebenaran adalah jalan pulang menuju temu. Tirani di bibir republik ini telah membuat kita terkapar lapar. Terpapar dari wabah janji saat pemilu. Aku akan kembali bersama cinta, cerita, puisi, dan darah juang untuk diari perjalanan kita. Akan ku menangkan kau sebelum senja serius menangkap dingin, ingin dan beku pesan-pesan. Aku mencintaimu : Setulus hati, sepenuh mati. )
" Seandainya saat itu telingaku tuli dan tak peduli. Aku orang yang begitu bahagia karena kau memilih untuk tak pergi."
Pelepah pipihnya ditimbun pucuk-pucuk harapan. Ke dalam sedih ia berujar memar. Samar-samar hari yang kini tak segera hadir melamar.
" Dia sedang dalam perjalanan. Hanya saja ada kemacetan di ujung kepulangan. "
Tak pernah lelah Ola menjahit kesedihan gadis itu, sekalipun ia terlihat kikir untuk di ajak berbicara.
" Kemacetan bertahun-tahun?. Ataukah kemacetan yang sengaja di lenyapkan?. Jika kau di posisiku dan kau sama merasakan hal ini. Mungkin apa yang saya alami di sayap jalan dan bangku tua ini dapat kau pahami."
" Jika sudah bertahun-tahun. Apakah tidak ada pilihan untuk kau mengambil damai?."
" Damai apa yang kau maksudkan jika seseorang itu sangat berarti dalam hidupmu?. Alamat apa yang akan kau jelaskan ketika arah jalanmu hilang?. Aku hanya tersesat dan saat ini aku membutuhkan arah itu."
" Apakah lelaki itu penyair?. Lalu kain itu apakah pemberian dari beliau?."
" Iya. Dia penyair yang begitu sabar. Selendang ini adalah kain tenun yang ia titipkan berharap gigil tak serempak memungutku."
" Semua tanda yang beliau titip adalah setengah dari jiwa beliau. Beliau selalu ada bersamamu. Dan mungkin saat ini ia tak sedang menginginkan engkau untuk terus meratap duka."
" Jika dia tidak menginginkan aku terkubur duka. Seharusnya dia sudah pulang."
" Mungkin beliau masih ada urusan."
" Tidak ada urusan yang memakan puluhan tahun. Tidak ada urusan yang kini langgeng di kabar berita tentang penembakan, pencurian, hingga pembunuhan gelap-gelapan. Dan tidak ada negara yang diam melihat hak asasi manusia jadi benteng bisu."
" Ratusan pelanggaran hak asasi manusia dibiarkan telanjang sedangkan janji penyelesaian seperti kelinci percobaan.
 Bangsa ini dihantui oleh anak-anaknya sendiri, para pendiri dan nasib menghargai mereka di kebiri."
Benga kini menuangkan satu per satu cangkir luka yang selama ini ia sisir tanpa suara. Tanpa muka, pedih-perih menukar makna.
" Jika benar apa yang kau katakan. Aku ingin pulang, palung dalam lilin-lilin restu : Kamis Ini Sudah Bergerimis, Benga"
Kediri, 10 Desember 2020
Buah Karya: Abdul Azis Le Putra Marsyah
Selamat Memperingati Hari Hak Asasi Manusia Sedunia, 10 Desember 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H