(Megat-Ruh, saat menjelang kematian)
TERTIMANG- MELAYANG
___________
Citaku empat, tanpa rekayasa
Mengalir begitu saja, karena rasa
Harta melimpah, berkat lidah berujung doa
Mendulang emas, bukan di tanah haram
Sejak tunas hijau aku mengenal Sang Tuhan
Kaki kiriku bermarga timang penyayang
Di atas garis linangan takdir
Tak lapuk dimakan hujan
Tidak kerontang dihisap bara sang surya
Karena jiwa terikat sauh, tangan Tuhan
Jangkar yang kokoh penambat bahtera maligai berlabuh
Di sini aku punya cerita
Dongeng konyol tentang belahan hati
Tanah surga bertelapak kaki
Mengunduh nestapa karena salah pandom budi
Yang kusayang terpaling, berpaling
Oleh rasa takut kehilangan, pun melayang
Duh nestapa merdeka sekarat larat
Dalam untaian selendang belahan jiwa, bungsu belia
Remuk redam oleh api bertak acuh
Mengalir rasa tertimang tak peduli
Melimpah ruah banjir bandang manja yang aku suapkan
Seolah buta rasa, bertuli makna
Oh dasar irama salah menadakan
Kuubahlah kemudi kompas , dalam berpura
Rasa takut kuputar balikan, haluan
Berpalinglah,
Melayanglah,
Aku tak butuh kasih bermasam garam
Timanganku tak lelapkan mimpimu
Tawar hati menuai rasa tak peduli
Pagi buta membuka mata
Retina belia terbitkan aura shifa
Bergelayut manja mendekap bahu
Dalam bisik kumandangkan tikam
Aku tertikam irama cinta langkanya
Bersenandung lembut dalam memuja bisik
Wahai sejatiku
Maklumi aku dalam ampun bermaaf
Karena laku menguji hakikimu
Merajut simpulan mematri prasasti
Hanya aku yang mampu gembalakan masa rentamu nanti
Jangan ragukan aku
Sayang!!!