Penkajian  Sukidin dan Pudjo Suharso mengemukakan  Seperti perkembangan masyarakat industri di Eropa pada masa lalu, kemajuan Indonesia melalui proses kebangkitan, globalisasi dan perkembangan teknologi informasi telah membawa negara ini menuju masyarakat digital atau Generasi Y. Masyarakat konsumen ini bersifat kompleks. khas dan hidup. Sistem sosiologi klasik sudah tidak memadai lagi sebagai landasan menganalisis tindakan bangsa Indonesia dan masyarakat global saat ini. Terdapat kebutuhan untuk lebih banyak alat penilaian yang dapat berfungsi sebagai alat penjelasan.Â
Perangkat teoretis juga diperlukan sebagai landasan refleksi dan mendukung penafsiran yang bertanggung jawab. Dalam konteks ini, keberadaan teori atau konsep dari sosiolog kontemporer atau postmodern menjadi penting.Teori-teori sosiologi modern jelas tidak menyiratkan penolakan terhadap teori-teori sosiolog klasik; Namun, hal ini diperlukan karena kondisi perkembangan sosial saat ini terlalu dinamis dan kompleks untuk diabaikan.Â
Keberadaan teori-teori yang termasuk dalam kategori sosiologi postmodern dan kontemporer diharapkan dapat memperluas bidang penelitian dan memberikan pemahaman yang lebih mendalam mengenai legitimasi sosial, pembangunan nasional, dan kejelasannya. sebuah teori yang disempurnakan oleh Bourdieu, Parson, Berger dan lain-lain. ini akan membantu kita semua untuk menjelajahi suatu negara secara teoritis.Â
Dalam beberapa bidang, antara lain sosiologi ekonomi, sosiologi pembangunan, sosiologi perempuan, sosiologi kekayaan intelektual, dan sosiologi pengetahuan, teori sosial akan membantu mengidentifikasi dan mengeksplorasi fenomena sosial lebih dalam Lebih lanjut, sosiologi dibagi menjadi tiga kategori: sosiologi postmodern, sosiologi kontemporer/modern, dan sosiologi klasik. Peter Ludwig Berger adalah salah satu dari sekian banyak sosiolog masa kini yang mengedepankan sosiologi.Â
Keberadaan Peter L. Berger, menurut banyak sosiolog terkemuka, merupakan alasan utama mengapa sosiologi modern, dan khususnya sosiologi, begitu penting saat ini (Hanneman Samuel, 2012). Esai ini menganalisis perspektif dan karya Peter L. Berger, yang menurut Polama (2004), "merupakan salah satu teks paling berpengaruh dalam sosiologi pengetahuan dan telah memainkan peran sentral dalam perkembangan konstruksionisme sosial". Posisi Berger menjadi dasar bagi beberapa karya sosiologi, seperti An Invitation to Sociology:
Kanopi Sakral: Unsur-unsur Teori Sosiologis Agama (1967) (Bahasa Indonesia: Langit Keramat Agama sebagai Realitas Sosial, LP3ES, Jakarta, 1991) Konstruksi Sosial atas Realitas: Risalah Sosiologi Pengetahuan (1966, dengan Thomas Luckmann) (Bahasa Indonesia: Social Interpretation of Reality Treatise on the Sociology of Knowledge, LP3ES, Jakarta, 1990) The Social Construction of Reality: A Treatise in.[1]
 Menurut penelitian Sukidin dan Pudjo Suharso, kemajuan Indonesia melalui proses inovasi, globalisasi, dan perkembangan teknologi informasi telah membawa negara ini pada apa yang disebut dengan "masyarakat digital", seperti kemajuan masyarakat industri Eropa pada masa lalu. atau generasi Y. Kompleks, beragam dan kuat menggambarkan masyarakat konsumen ini. Sosiologi klasik dan sistemnya tidak lagi berfungsi sebagai landasan analisis yang kokoh untuk mengkaji tindakan bangsa Indonesia dan masyarakat modern. Hal ini memerlukan alat evaluasi tambahan yang juga dapat berfungsi sebagai pembenaran.Â
Untuk memungkinkan penafsiran yang bertanggung jawab, penggunaan alat teoritis sebagai dasar refleksi juga diperlukan. Keberadaan teori atau konsep sosiolog kontemporer atau postmodern menjadi penting dalam konteks ini. Tentu saja, keberadaan teori-teori sosiologi kontemporer bukan berarti penolakan terhadap teori-teori sosiolog klasik, melainkan keadaan perkembangan sosial saat ini yang terlalu kompleks dan dinamis jika tidak disertai dengan teori-teori atau gagasan-gagasan modernisasi dari para sosiolog kontemporer.Â
Kehadiran teori-teori dari kategori sosiologi kontemporer dan sosiologi postmodern seharusnya memperluas bidang ilmu pengetahuan dan membangun landasannya dalam legitimasi sosial dan hubungannya dengan kemajuan nasional. Berger, Bourdieu, Parson dan lainnya menyempurnakan teori tersebut. akan memungkinkan kita semua menjelajahi suatu negara secara teoritis.Â
Dalam berbagai bidang, antara lain sosiologi ekonomi, sosiologi pembangunan, sosiologi perempuan, sosiologi pengetahuan dan banyak cabang lainnya, teori sosial akan memungkinkan untuk memantau fenomena sosial dan mempelajarinya secara lebih mendalam. Sosiologi kemudian dibagi menjadi tiga kategori: sosiologi postmodern, sosiologi kontemporer/modern, dan sosiologi klasik. Peter Ludwig Berger adalah salah satu dari banyak pemikir sosiologi yang mendorong kemajuan sosiologi saat ini.Â
Banyak sosiolog terkenal yang menjelaskan mengapa keberadaan Peter L. Berger sangat penting bagi sosiologi modern, dan khususnya sosiologi (Hanneman Samuel, 2012). Esai ini menganalisis karya dan perspektif Berger, yang menurut Polama (2004), "merupakan salah satu teks paling berpengaruh dalam sosiologi pengetahuan dan telah memainkan peran sentral dalam perkembangan konstruksionisme sosial", secara berurutan.Â
untuk mengeksplorasi sudut pandang berpikir Berger. Konstruksi Sosial atas Realitas: Risalah Sosiologi Pengetahuan (1966, bersama Thomas Luckmann) (Indonesia: Interpretasi Sosial atas Realitas, Risalah Sosiologi Pengetahuan, LP3ES, Jakarta, 1990) dan The Sacred Canopy: Elements of a Sociological Teorema (1963) adalah beberapa contoh dari sekian banyak karya sosiologi yang dibentuk oleh perspektif Berger.[2]
 Dalam penelitian Astika Nur Fahriani dan Nila Asyrofus Shofara disebutkan bahwa Adam Smith, yang dianggap sebagai bapak ilmu ekonomi modern, adalah orang pertama yang mengajukan ide-ide yang akan membentuk bidang ilmu ekonomi pada tahun 1776. Masalah-masalah ekonomi setiap generasi berkembang dengan cepat, mencakup beragam topik seiring dengan berkembangnya bidang tersebut. Keyakinan agama mempunyai dampak signifikan terhadap ekspansi ekonomi.Â
Memang benar, agama yang berdasarkan pada ajaran agama, moral, dan etika mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap perilaku, pengambilan keputusan, dan pengambilan keputusan manusia dalam kegiatan ekonomi. Hal ini memunculkan kajian ilmu ekonomi modern yang berbasis agama, yang memadukan ilmu ekonomi dengan prinsip-prinsip ajaran agama yang bersifat universal dan dinamis. Kajian ini unik karena tidak mengikuti model ekonomi sekuler yang dapat berujung pada pembusukan moral, hilangnya nilai-nilai etika dan budaya, eksploitasi, kolonialisme, perilaku toleran, dan konsolidasi kekuasaan oleh kapitalis besar.[3]
 Dalam penelitian L. Yulia yang disampaikan oleh Jati, Dijelaskan bahwa salah satu aspek penting dari aktivitas organisasi kelas menengah adalah kemampuan mereka untuk menginspirasi masyarakat umum melalui aktivisme online. Pada pemilu 2014, partisipasi kelas menengah dalam memulai percakapan dan menyampaikan pendapat di media sosial sangat terlihat. Beberapa akademisi, termasuk sejarawan ekonomi Adelman dan Morris (1967) dan Landes (1998), berpendapat bahwa perekonomian Inggris dan benua Eropa tumbuh lebih pesat pada abad ke-19, sebagian disebabkan oleh kontribusi kelas menengah.Â
Weber menghubungkan status kelas dengan pertumbuhan pasar dalam bukunya "Economy and Society." Menurut Weber, gagasan tentang kelas menengah bersifat ambigu karena mencakup berbagai kepentingan kelas. Namun, istilah borjuasi kecil sering digunakan untuk menggambarkan kelas menengah, yang memainkan peran penting dalam perekonomian. Namun istilah ini tidak selalu berlaku karena adanya peran ganda kelas menengah dalam masyarakat sebagai kelas rekreasi dan intelektual. Keberagaman kelas menengah ini menunjukkan betapa berbedanya peran sosial yang mereka mainkan.Â
Kekayaan sumber daya yang tersedia bagi kelas menengah -- dalam hal konsumsi, produksi dan ide -- membantu mempercepat pembangunan ekonomi. Penekanan utamanya adalah pada rasionalitas dalam upaya memaksimalkan keuntungan dan mengembangkan real estate. Menurut Weber, kepemilikan barang-barang tersebut membedakan pemiliknya dengan orang lain, sehingga memberikan prestise pada kelas menengah. Perspektif Calvinis dan Metodis yang mendukung gagasan predestinasi mempengaruhi rasionalitas dalam mencoba.
Pembangunan ekonomi erat kaitannya dengan unsur moral dan intelektual -- seperti asketisme dan ketekunan -- yang bersumber dari pemahaman agama. Selain membantu membentuk kelas sosial melalui akumulasi modal, keduanya dianggap sebagai komponen penting dalam mencapai kebahagiaan, baik di Bumi maupun di luarnya. Agama diyakini menjadi komponen spiritual yang sangat mempengaruhi etika ekonomi. Hal ini menjadikan kapitalisme sebagai ideologi ekonomi di sejumlah negara Eropa saat itu dan sangat membantu perkembangan ekonomi mereka.[4]
Penelitian yang dilakukan oleh Sugeng Santoso menjelaskan berbagai permasalahan yang dihadapi dunia Islam saat ini pasca runtuhnya Kesultanan Ottoman di Turki pada tahun 1924. Dengan munculnya sejumlah permasalahan yang menimpa dunia Islam, beberapa pemikir Islam mulai merumuskan konsep-konsep yang dipinjam dari Al-Quran dan Hadits untuk mengatasinya. masalah. Para ekonom dan cendekiawan Islam mencapai konsensus pada awal tahun 1980an mengenai sejumlah prinsip dasar ekonomi Islam, termasuk Tauhid (keesaan Tuhan), Khilafah (kepemimpinan Islam), Ibaat (ibadah) dan Takaful (solidaritas sosial).Â
Meskipun ada kesepakatan mengenai prinsip-prinsip dasar ini, terdapat perbedaan dalam cara memahami istilah-istilah dan konsep-konsep tertentu dalam Al-Quran dan Sunnah, dalam cara teori dan sistem ekonomi Islam dikembangkan, dan dalam cara memahami karakteristik uniknya. Para sarjana ekonomi Islam saat ini sepakat mengenai prinsip-prinsip dasar Syariah Islam, yang didasarkan pada Al-Quran dan Sunnah, meskipun terdapat perbedaan di beberapa bidang.Â
Muhammad Abdul Mannan, awalnya seorang ekonom Bangladesh, adalah tokoh kunci dalam perkembangan ekonomi Islam. Ia memperoleh gelar doktor di bidang ekonomi dari Michigan State University pada tahun 1973, setelah memperoleh gelar master di bidang tersebut dari Universitas Rajashi pada tahun 1960. Salah satu buku teks pertama tentang ekonomi Islam adalah terbitannya pada tahun 1970, "Ekonomi Islam, Teori dan Praktek".Â
Pada masa dimana ekonomi Islam masih dalam tahap awal pengembangan dan pencarian formula, Mannan mampu memberikan kontribusi penting dalam menggambarkan kerangka dan karakteristik ekonomi Islam. Mannan menerbitkan buku kedua, The Making of Islamic Economy, pada tahun 1984, seiring dengan berkembangnya luas dan mendalamnya diskusi ekonomi Islam seiring berjalannya waktu. Buku ini dianggap sebagai upaya yang lebih mendalam dan serius untuk menjelaskan perspektif ekonomi Islam.
- Mannan tidak setuju dengan gagasan "harmoni kepentingan" yang dikemukakan oleh teori Adam Smith. Ia percaya bahwa gagasan bahwa pasar akan menyeimbangkan kepentingan adalah sebuah ilusi karena orang pada umumnya ingin mendominasi orang lain. Orang lain akan menderita jika dorongan ini tidak dikendalikan. Hal ini mencerminkan kondisi kapitalisme saat ini, yang ditandai dengan dominasi kepentingan aktor-aktor berkuasa baik dalam alat produksi maupun distribusi kekuasaan.
- Â
- Mannan menolak perspektif Marxis. Di matanya, teori perubahan Marxis tidak akan membawa perubahan yang baik. Teori Marxis hanyalah sebuah reaksi terhadap kapitalisme dan, jika ditinjau lebih dekat, dapat dilihat sebagai solusi yang tidak memadai. Faktanya, teori Marxis dikaitkan dengan kecenderungan yang tidak manusiawi karena mengabaikan aspek sifat manusia, seperti beragam kemungkinan yang dimiliki setiap manusia dan harus dihormati dengan pengakuan yang berarti.
- Â
- Mannan mengusung gagasan observasi data sejarah dan wahyu sebagai pengganti paradigma positivis neoklasik. Argumen ini sebenarnya bertentangan dengan keyakinannya bahwa paradigma neoklasik harus ditinggalkan dan digantikan dengan metode ilmiah, termasuk observasi empiris terhadap data sejarah.[5]
Penelitian Muthmainnah Sultan menjelaskan bahwa Baqir Al-Sadr mengungkapkan gagasannya dalam karya kolosalnya "Iqtisaduna" yang membahas teori ekonomi Islam tentang produksi dan distribusi. Karya Baqir Al-Sadr lainnya antara lain Al-Bank Al-ala Ribawi fi Al-Islam yang mengkaji permasalahan operasional bank syariah dalam konteks persaingan dengan ekonomi kapitalis. Struktur dan metodologi Iqtisaduna membedakannya dengan karya sastra ekonomi Islam lainnya.Â
Karya ini dianggap memberikan kontribusi yang signifikan dan menarik bagi kajian ekonomi Islam. Menurut aliran pemikiran ini, penyelesaian permasalahan ekonomi yang terkait dengan distribusi yang tidak adil dan tidak merata -- yang dipengaruhi oleh perekonomian kapitalis yang sering kali menguntungkan kelompok kaya dan berkuasa -- lebih diutamakan dibandingkan permasalahan lainnya. Mereka berargumentasi bahwa keserakahan manusia adalah penyebab permasalahan ekonomi, bukan kekurangan sumber daya.Â
Menurut filsafat. Baqir al-Sadr, Islam tidak memperhitungkan hukum penawaran dan permintaan, hubungan antara keuntungan dan bunga, atau fenomena penurunan hasil produksi. Dia mendefinisikan distribusi pendapatan sebagai proses mengalokasikan sebagian hasil bersih penjualan ke berbagai kontributor pendapatan, termasuk tenaga kerja, tanah, modal, dan manajemen.Â
Distribusi ini dibagi oleh Baqir al-Sadr menjadi distribusi pra produksi dan distribusi pasca produksi, berdasarkan gagasan kepemilikan dan hak distribusi. Gagasan bahwa Tuhan cukup memenuhi semua kebutuhan manusia juga menjelaskan pemahaman Baqir al-Sadr tentang masalah ekonomi ini.Â
Distribusi yang tidak adil diakibatkan oleh sistem ekonomi yang membiarkan pihak yang lemah dieksploitasi terhadap pihak yang kuat dan menimbulkan permasalahan ekonomi. Sumber daya terbuka untuk semua orang, tetapi orang-orang dengan hati serakahlah yang mengontrol akses. Menurutnya, istilah "iqtisod" mengacu pada keseimbangan dan lebih dari sekedar ilmu ekonomi sederhana. Akibatnya, ekonomi Islam -- yang prinsip-prinsipnya bersumber dari Al-Quran dan hadis -- diadopsi sebagai pengganti teori ekonomi tradisional dan dicari solusi baru di dalamnya.[6]
 Timur Kuran, Jomo dan Muhammad Arif memperkenalkan aliran iqtisaduna yang mendapat kritik dari dua aliran modern lainnya. Mazhab Iqtisaduna dikritik karena berupaya memperkenalkan konsep-konsep baru yang sudah ada dalam teori-teori ekonom klasik sebelumnya. Meskipun arus utama dikritik karena dianggap hanya memasukkan konsep-konsep ekonomi neoklasik, namun kurang autentik karena menghilangkan unsur riba dan menambahkan unsur zakat dan kontrak.Â
Ekonomi keadilan yang dikemukakan oleh ekonomi Islam dikaji dengan pemikiran Al-Qur'an Timur. Prinsip keadilan dan kewajaran adalah dua prinsip terpenting yang dikemukakan Kuran. Dengan menggunakan instrumen distribusi kekayaan seperti zakat, warisan, dan sumbangan amal, prinsip keadilan berupaya menghindari kesenjangan dalam distribusi harta benda. Penghasilan yang melanggar hukum syariah dilarang dengan prinsip kejujuran. Kuran juga mengkritik penggunaan Zakat sebagai alat distribusi kekayaan. Ia berpendapat bahwa penerapan zakat dalam skala kecil, seperti di pertambangan, pertanian, dan produksi bahan mentah, yang umum terjadi pada awal Islam, bisa jadi efektif.Â
Menurutnya, dalam konteks modern saat ini, sulit untuk menentukan nilai nisab di banyak industri, baik yang memproduksi barang maupun yang menyediakan jasa. Hal ini membuat penerapan zakat menjadi sebuah tantangan. Kuran juga mengkritik perbedaan pendapat di kalangan ulama Madhabi. Dia mengklaim bahwa ekonomi Islam tidak koheren karena perbedaan pendapat ini. Ia menyarankan agar masyarakat menggunakan analogi dan konsensus civitas akademika (Ijma') untuk menyelesaikan persoalan ini. Hal ini memungkinkan mereka yang tidak dapat secara efektif menghukum permasalahan tersebut untuk mengambil produk hukum yang diakui yaitu ijma'. Ia menilai riba menjadi penyebab utama gejolak politik.[7]
 Dalam penelitian yang dilakukan oleh Ahmad Maulidizen, Hal ini menjelaskan bahwa mazhab yang diwakili oleh Nejatullah Siddiqi memandang ilmu ekonomi sebagai elemen yang muncul dalam pandangan dunia seseorang. Siddiqi menolak teori determinisme ekonomi Marx. Menurut Siddiqi, ekonomi Islam harus menggunakan strategi produksi dan organisasi yang paling maju. Menurutnya, sikap sosial dan hukum yang membentuk sistem, serta hubungan antarpribadilah yang secara mendasar membedakan Islam dengan agama lain. Salah satu perbedaan utama antara sistem ekonomi Islam dan Barat adalah gagasan bahwa tujuan spiritual dan moral dapat dicapai melalui kemakmuran ekonomi.Â
Untuk mengubah orientasi nilai, membangun institusi dan mengidentifikasi tujuan yang ingin dicapai, Siddiqi mengusulkan penciptaan teori neoklasik umum dan alat-alat yang diperlukan. Siddiqi memandang pemuasan kebutuhan materi sebagai sarana untuk mencapai cita-cita yang lebih tinggi, seperti kehendak Allah dan mencapai kesuksesan (falah) di dunia dan akhirat. Tetapi hanya jika moralitas dan spiritualitas merupakan kekuatan pendorong kegiatan ekonomi maka tujuan ini dapat dicapai. Ini mencakup dua bidang utama yang ingin diubah oleh Siddiqi. Ia mulai merumuskan kecurigaan perilaku yang memunculkan ide-ide "Islam". Kedua, ia berusaha memasukkan faktor-faktor fiqh (hukum Islam) ke dalam analisis ekonominya.[8]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H