Mohon tunggu...
Abdan
Abdan Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

UIN RADEN MAS SAID SURAKARTA

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Ketidakjelasan Antara Teori dan Praktik dalam Tafsir Al-Quran: Pertentangan dan Keselarasan dalam Pemahaman Masyarakat

17 April 2024   00:59 Diperbarui: 17 April 2024   00:59 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Abdan Syakur

A.Mainstream Tafsir al-Qur'an

Secara tegas, ideologi ini merupakan sudut pandang yang sangat memengaruhi cara pemahaman terhadap Al-Qur'an, bahkan hingga ke level praktis.

Meskipun diakui bahwa implikasi ideologi tidak selalu mencapai level praktis, tetapi hanya berada pada level wacana atau pemikiran, namun paling tidak hingga penghujung abad ke-20 terdapat dua ideologi tafsir yang berpengaruh, Yaitu:

1.Interpretasi Substansialis

Terminologi "substansialis" pada dasarnya adalah istilah terbaru untuk menggambarkan konsep "ta'wil" atau metafora sebagaimana yang diutarakan oleh penafsir klasik Al-Qur'an. Seperti yang dimaknai oleh pengertian substansialis, interpretasi metaforis (ta'wil) juga bertujuan untuk menangkap makna substansial dan esensial di balik teks-teks Al-Qur'an yang literal. Aktivitas interpretasi semacam itu dianggap sah karena Al-Qur'an sendiri memberikan legitimasi bahwa seluruh teks Al-Qur'an terbagi dalam dua kelompok besar, yaitu al-ayat al-muhakamah (teks-teks yang tegas) dan al-ayat al-mutasyabihah (teks-teks yang ambigu) [Q.S. Ali Imran (3): 7].

Menurut Liddle, terdapat empat ciri kunci Islam substansialis, baik di dalam maupun di luar Indonesia. Pertama, substansi dari sebuah keimanan dan prakteknya diutamakan daripada bentuknya. Dalam Islam substansialis, pemahaman literalistik terhadap Al-Qur'an, meskipun dapat memenuhi ritual secara saleh, dianggap tidak lebih baik daripada komitmen moral dan kesalehan sosial yang diamalkan oleh seorang Muslim. Kedua, nilai-nilai universal yang terkandung dalam Al-Qur'an dan Hadis perlu digali kembali melalui penafsiran ulang agar tetap sejalan dengan tuntutan modernisasi. Kondisi sosial masyarakat dewasa ini berbeda dengan masyarakat Arab pada zaman Nabi Muhammad, sehingga pendekatan literalistik harus disesuaikan dengan konteks zaman modern. Ketiga, inklusifitas ajaran Islam harus dikedepankan, mengingat pertikaian antar sekte, kelompok, bahkan agama di masa lalu tidak relevan lagi dalam situasi sekarang. Oleh karena itu, dialog dengan agama dan kelompok lain harus dilakukan. Keempat, khusus di Indonesia, bentuk Negara Republik Indonesia dianggap final. Tidak perlu lagi ada perubahan ke arah pembentukan "Negara Islam". Dasar Negara Pancasila dianggap sudah cukup mengakomodir prinsip-prinsip politik ajaran Islam.

Apa yang paling penting dari keempat ciri di atas adalah peralihan - untuk tidak mengatakan meninggalkan - dari interpretasi literal kepada multi-literal (metafora). Muhammad Abduh (1850-1905) dianggap sebagai pendekar tafsir Al-Qur'an yang secara nyata mempraktekkan interpretasi metaforis dalam mengaitkan teks-teks suci dengan situasi kemoderenan.

Sebaliknya, interpretasi Al-Qur'an disampaikan dalam bentuk orasi di depan publik, dan lebih sering melalui siaran radio dan majalah berkala, seperti al-Manar, al-Urwah al-Wutsqa, al-Wa'za wa al-Irsyid, al-Da'wah ila Sabil al-Rasyad. Metode penyampaian ini memungkinkan akses yang lebih luas bagi masyarakat untuk mendapatkan pemahaman baru tentang Al-Qur'an serta memperkuat kesadaran Qur'anik dalam menghadapi tantangan zaman.

2.Interpretasi Skripturalis

Sejak Abad ke-10, masa munculnya tafsir al-Tabari (839-923 M), hingga Abad ke-19, masa Muhammad 'Abduh (1849-1905 M), dapat dianggap sebagai periode yang ditandai sebagai masa normatif karya tafsir. Tafsir-tafsir seperti karya al-Tabari, al-Zamakhshari, al-Razi, dan al-Suyuthi merupakan karya-karya yang secara umum masih mempertahankan orisinalitas argumentasi yang bersumber dari sunnah (hadis) sebagai basis komentar mereka. Berkreativitas dengan menggunakan argumentasi rasional masih terbatas pada masa tersebut. Hal ini dapat dimengerti karena tradisi intelektual pada masa pasca Muhammad 'Abduh belum mengenal formulasi saintifik yang sistemik sebagai acuan baku pada masa klasik.

Fakta historis menunjukkan bahwa meskipun tafsir karya al-Tabari (w.923 M) dan tafsir karya Fakhr al-Din al-Razi (w. 1209 M) diakui kebesarannya hingga saat ini, namun mereka belum mewariskan tradisi saintifik yang teruji. Bahkan, tradisi ini justru diteruskan secara hierarkis oleh penafsir-penafsir selanjutnya. Sehingga, dapat dikatakan bahwa masyarakat Muslim telah "mengkonsumsi" Al-Qur'an setiap harinya tanpa melalui pengujian secara historis.

Kondisi yang massif tersebut terus berlangsung hingga kedatangan Muhammad 'Abduh dengan tafsirnya yang dikenal cukup rasional, yaitu Tafsir al-Qur'an al-Hakim yang lebih terkenal dengan Tafsir al-Manar. Akibat perang salib yang berlangsung selama satu setengah abad (1096-1254 M) dan berujung pada kejatuhan Bagdad sebagai simbol kemajuan Dinasti Abbasiyah ke tangan Hulagu Khan dari Mongol pada tanggal 13 Februari 1258 M, menyebabkan stagnasi dalam kreativitas para penafsir Al-Qur'an dalam menulis karya orisinal mereka. Yang terjadi hanya kegiatan mengomentari (syarh) karya-karya ulama sebelumnya, seperti yang dilakukan oleh Imam al-Zarkasyi (w. 794 H.) dengan karyanya al-Burhan, dan Imam al-Suyuti (1445-1505 M) dengan karyanya al-Itqan. Buku yang menghimpun ratusan pokok bahasan ini merupakan ensiklopedia ilmu Al-Qur'an dari karya-karya serupa sejak munculnya buku Asbab al-Nuzul karya al-Wahidi (w. 427 H.).

Kontinuitas (taqlidi) dalam tafsir yang cenderung bercorak skripturalis atau formalistik tidak selalu buruk, selama memiliki makna asli (generic), yaitu sebelum menjadi makna teknis dengan makna sekunder seperti yang umumnya dipahami saat ini. Makna taqlid (kontinuitas) dalam arti generik tersebut merupakan sikap penerimaan terhadap suatu postulat yang diyakini memiliki otoritas sebagai akar sejarah dari sebuah tradisi intelektual. Namun, makna negatif dari taklid dapat muncul jika dipahami sebagai pengkultusan terhadap intelektual masa lampau.

Sejalan dengan pandangan di atas, Mohamed Arkoun, seorang pemikir Islam asal Aljazair, berpendapat bahwa jika seseorang memegang kuat rumus pasti (postulate) dan monarkisme intelektual, maka akan bereaksi negatif terhadap interpretasi baru atas fakta-fakta Quranik dan Islam yang berlangsung dalam suatu budaya yang serius melakukan reinterpretasi ulang atas temuan-temuan para sejarawan, sosiolog, dan pakar-pakar linguistik.

Karakteristik lain dari interpretasi skripturalis dan formalistik juga pernah dikemukakan oleh Muhammad Abed al-Jbir, seorang pemikir Muslim asal Maroko, dengan apa yang ia sebut sebagai al-fahm al-turs 'al al-turs (pemahaman tradisional atas tradisi). Ini merujuk pada suatu tradisi intelektual yang pasrah terhadap warisan intelektual masa lampau. Pendekatan semacam ini jelas mengandung sindrom kelemahan, di mana semangat kritis dan kesadaran historis terkikis. Hal ini wajar jika yang muncul kemudian adalah semacam bentuk "tradisi yang mengulang dirinya sendiri," bahkan bisa dalam format yang lebih buruk.

Sebagai contoh, ketika pemikir Islam skripturalis dewasa ini mengikuti penafsiran klasik mengenai kesalehan inklusif tanpa menyertakan pembacaan kritis atasnya, hal tersebut dapat menjadi masalah. Bagi penafsir klasik seperti al-Tabari (w. 923) dan al-Razi (w. 1209), sikap terbuka untuk menerima kebenaran agama lain bagi pemeluknya, atau yang dikenal sebagai "kesalehan inklusif," tidak dianjurkan oleh mereka. Ketika menguraikan pendapatnya tentang ungkapan "hanifan musliman" [QS. Ali Imran (3): 67], al-Tabari, meskipun juga mempertimbangkan beberapa penafsiran yang agak inklusif, tetap menegaskan pendapatnya bahwa agama Ibrahim adalah agama Muhammad (ahl al-Islam), dan bukan agama Yahudi dan Nasrani. Menurut al-Tabari, ayat di atas adalah keputusan dari Allah (qada' minallah) untuk menyelesaikan perselisihan atas klaim orang-orang Yahudi dan Kristen bahwa Nabi Ibrahim adalah penganut agama mereka. Bahkan, pada kesempatan lain, al-Tabari memberikan pengertian yang tegas tentang istilah al-hanafiyah, yaitu sikap konsistensi terhadap syariat Islam (al-istiqamah 'ala al-Islam wa syari'atuh), bukan terhadap agama Yahudi, Nasrani, dan orang-orang musyrik.

Jika mengikuti pendekatan skripturalis seperti yang digunakan oleh kedua penafsir klasik di atas tanpa melakukan pembacaan kritis, maka akan menimbulkan sikap yang eksklusif terhadap kebenaran yang dikandung oleh agama lain. Sikap eksklusif semacam ini akan membatasi pemikiran orang-orang Islam dan kemudian menimbulkan sikap antipati terhadap agama lain di luar Islam, yang selanjutnya dapat menyebabkan konflik dalam kehidupan sosial.

Demikian juga, pemetaan tradisi Islam di Indonesia yang pernah dilakukan oleh Clifford Geertz dan R. William Liddle. Geertz, misalnya, berhasil mengelompokkan budaya Jawa menjadi santri, abangan, dan priyayi, di mana kelompok santri digambarkan cenderung skripturalis dalam kehidupan mereka.

B.Implikasi Tafsir Skripturalis terhadap Radikalisasi Agama

 Menurut Max Weber, ideologi keagamaan memiliki pengaruh yang kuat terhadap berbagai sektor sosial. Jika agama dianggap sebagai ajaran kesucian, maka akan sulit untuk berubah, bahkan dapat memengaruhi aspek lain dalam kehidupan sosial. Sebaliknya, jika agama berhasil dirasionalisasikan, maka akan lebih mudah untuk merasionalisasikan aspek lain dalam kehidupan sosial.

Ada dua pendekatan dalam studi teks-teks keagamaan, yaitu pendekatan normatif dan pendekatan deskriptif. Pendekatan normatif bersifat apologetik, yang berusaha menjelaskan agama dari aspek doktrin, keunggulan sistem nilai, otentisitas teks, dan fleksibilitas ajarannya dalam sejarah dan masa depan umat manusia. Sementara itu, pendekatan deskriptif berupaya menjelaskan secara objektif aspek-aspek historis dari seluruh doktrin penting dalam suatu agama tanpa melibatkan diri dalam menilai kebenaran-kebenaran yang diyakini oleh pemeluknya.

Pada pendekatan normatif, Alwi Shihab menunjukkan pengaruhnya dengan menyebutkan sejumlah sarjana Barat dan Muslim. Dari pihak Kristen, antara abad ke-7 hingga ke-12, diwakili oleh tokoh seperti St. John of Damascus (675-753) dan Theodore Ab Gurrah (800-850). Tema sentral kajian mereka berkisar pada pembenaran ajaran Kristiani, penolakan terhadap kenabian Muhammad, dan skeptisisme terhadap otentisitas al-Qur'an. Selanjutnya, ada Elias al-Nsib (975-1046) dan Paus Gregorius VII (1020-1085), yang berusaha membuktikan kebenaran agama Kristen dengan menunjukkan kontradiksi dalam ayat-ayat al-Qur'an.

Dari pihak Islam, misalnya 'li ibn Sahl al-Taabar (w. 855) dan al-Jhiz (776-869), keduanya menulis buku dengan judul yang sama, al-Radd 'ala al-Nashara, yang bertujuan untuk menjelaskan jasa besar al-Qur'an dalam mengoreksi informasi tentang Nabi Isa (Yesus) yang telah disalahpahami oleh umat Kristen. Selain itu, Ibn Hazm (994-1064) dan Imam al-Juwain (1028-1085) berusaha membuktikan kebenaran al-Qur'an dengan menelusuri kejanggalan dalam Perjanjian Lama dan Baru, serta menganalisisnya untuk menunjukkan kelemahannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun