Mohon tunggu...
Abd RaufWajo
Abd RaufWajo Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam Institut Agama Islam Negeri Ternate

Dosen Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam Institut Agama Islam Negeri Ternate

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kritik Bukan Pandemi, juga Bukan Enemy

17 Januari 2022   13:08 Diperbarui: 17 Januari 2022   13:19 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

BY: OEPHY WAJO

Awal agustus lalu, sejumlah tokoh nasional dan aktivis sosial berkumpul di Jalan Fatmawati Jakarta dalam sebuah deklarasi yang dinamai Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI). Deklarasi yang dimediasi oleh Din Syamsuddin serta beberapa tokoh kebangsaan seperti Rizal Ramli, Refly Harun, Said Didu, Rocky Gerung, Abdullah Himahua, Chusnul Mar’iyah dan lainnya itu meskipun belum fokus pada tahapan pembahasan inti, namun penjelasan beberapa sumber menyebutkan bahwa deklarasi ini adalah bagian dari gerakan moral (moral force) sejumlah elemen bangsa sebagai bentuk kritik terhadap kekuasaan pemerintahan presiden Joko Widodo yang didasari oleh keprihatinan atas berbagai persoalan yang sedang dihadapi bangsa saat ini.

Said Didu misalnya, menyebutkan gerakan ini adalah bagian dari rasa kepedulian mereka terhadap sejumlah permasalahan yang paling fundamental dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang sudah pada tahapan kritis serta mengkhawartirkan. 

Menurutnya problem yang paling umum dialami saat ini adalah kondisi ekonomi menghadapi persoalan yang berat, keretakan kohesivitas sosial, penegakan hukum yang tidak adil dan cenderung berpihak pada kekuasaan, adanya politik oligarki kekuasaan yang dipraktekkan secara massif di berbagai tempat, isu  SARA yang juga sering mengemuka dan sejumlah persoalan lainnya. 

Hal ini menurut Didu, sudah terjadi pembelokan arah pengelolan bangsa yang sudah sangat jauh dari cita-cita luhur lahirnya Indonesia dari para pendiri republik ini (founding fathers), sehingga dibutuhkan peran serta anak bangsa untuk bertindak menyelamatkan negara ini. (Kompas, 3 Agusutus 2020)

Meski terbilang sebagai gerakan moral, tanggapan sinis bahkan ejekan terhadap deklarasi menyelamatkan bangsa ini mucul dari berbagai pihak. Sebut saja aktivis sosial seperti Denny Siregar, menilai bahwa deklarasi KAMI merupakan “barisan sakit hati” yang menunggu Pilpres 2024 bahkan dia menyebut mereka yang hadir di koalisi ini “berwajah penipu”. Begitu juga dengan politisi PDIP Ruhut Sitompul yang mengaku tertawa termehek-mehek karena deklarasi ini orangnya itu-itu saja yang selalu tidak heppy dengan kepemimpinan Presiden Jokowi. (Fajar.co.id, 4 Agustus 2020)

Sebelumnya beberapa antipati terhadap kritik pemerintah juga dilakukan oleh pihak tidak dikenal dalam bentuk ancaman dan teror kepada panitia dan narasumber yang hendak menggelar diskusi Constitutional Law Society oleh Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada bertajuk "Pemecatan Presiden di Tengah Pandemi Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan",  sehingga diskusi ilmiah itu akhirnya batal digelar.

 Bahkan selevel Menteri Koordinator Kemaritiman pun mempolisikan Said Didu karena mengkritik pemerintah dan pribadinya dengan sebutan sang menteri hanya “memikirkan uang, uang dan uang” ketimbang menyelamatkan Negara dari keterpurukan ekonomi akibat pandemic covid 19, dikatakan bahwa Didu telah menyerang privasinya yang menggap lebih menempatkan materi (uang) di atas kepentingan bangsa.  

Beberapa gambaran kasuistik di atas merupakan bagian kecil dari uraian tentang rapuhnya pengakuan hak-hak sipil dalam kebebasan menyatakan pendapat dihadapan publik sebagaimana dijamin oleh konstitusi Negara. Padahal di usia kemerdekaan yang hampir seabad, semestinya semua elemen bangsa termasuk pemerintah sudah berada pada kematangan bernegara, termasuk menjungjung tinggi perbedaan pendapat serta menempatkan kritikan masyarakat sebagai kontrol sosial yang perlu diakomodir sebagi konsekuensi dari negera berdemokrasi. 

Negara demokrasi tidak menganggap kritik sebagai wabah (pandemi) yang menularkan virus kejahatan dalam tata kelola kekuasaan, bukan pula menempatkan kritikus sebagaimana layaknya musuh (enemy) yang harus dilawan.

Kekuasaan tidak dibenarkan antikritik dan sebaliknya gandrung akan pujian. Kekuasaan yang demikian itu tak ubahnya seperti cerita kelam masa lalu, dimana masyarakat menempatkan penguasa pada kedudukan yang sangat sakral dan, tentu saja jauh dari kritik serta penuh dengan puja puji yang hampir setara dengan Tuhan. 

Di Jepang, Kaisar dipercaya sebagai turunan dewa matahari, Di Cina jangankan mengkiritk para Kaisar, memandang wajahnya saja tidak boleh dan rakyat harus sujud kepada sang raja sebagai bentuk penghormatan padanya. Di Nusantara, para penguasa kerajaan Sriwijaya dan Majapahit disanjungi rakyat, dipuja puji sebagai sosok yang suci serta dianggap sebagai titisan dewa dengan kemampuan kepemimpinan yang sangat prima.

Bahkan setelah nusantara menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia, masih ditemukan menuver kekuasaan otoriter yang mengharamkan kekebasan berpendapat serta sikap kritis pada kebijakan pemerintah, meskipun hal tersebut merugikan kehidupan berbangsa dan bernegara. 

Sikap Presiden Sukarno dalam mengucilkan hak politik Hatta yang juga adalah wakilnya sendiri karena mengkritisi kesalahan kebijakan pengelolaan Negara, juga tindakan Presiden Suharto terhadap Mohammad Natsir dan kawan-kawan dengan mengucilkan hak-hak kewarganegaraannya bahkan terancam dipejara karena menandatangani Petisi 50 yang berisikan sebuah dokumen protes atas kesalahan Suharto dalam penggunaan filsafat Negara Pancasila, merukapan  bagian dari deretan noktah kelam berbegara yang menggambarkan betapa penguasa bangsa ini tidak nyaman atas kritikan rakyatnya sendiri, meskipun hal itu dibenarkan secara konstitusional.

Indonesia kini telah tumbuh menjadi sebuah Negara berdemokrasi yang diakui oleh kalangan Internasional. Salah satu cerminan Negara berdemokrasi adalah kekuasaanya tumbuh dan besar ditengah-tengah kritikan masyarakat. Negara demokrasi tidak boleh alergi dengan kritikan, melainkan menerimanya sebagai sebuah media evaluasi untuk perubahan yang lebih baik. apalagi saat ini masyarakat berada pada alaf kemuajuan tekhnologi dan keterbukaan informasi, sehingga pengetahuan publik tentang dinamika kebernegaraan menjadi keniscayaa, sehingga masyarakat akan lebih kritis untuk melakukan kontrol sosial terhadap kekuasaan sebagai suatu konsekuensi logis dari keterbukaan informasi publik.

Apalagi di kemimpinan presiden Jokowi dua periode ini banyak kebijakan yang menuai kritikan dari berbagai pihak, baik dari sisi politik, keamanan, hukum, ekonomi dan kebijakan strategis lainnya, yang dinilai kontroversial meskipun harus juga diakui ada pula sisi keberhasilannya. 

Dalam kaitan ini, peniliti Benjamin Bland menyebutkan Jokowi sebagai “Man of Contradictions”, dimana Bland secara obyektif menyeimbangkan pandangan simpatik tentang pencapaian signifikansi Jokowi dalam membangun infrastruktur jalan dan kereta api yang sangat dibutuhkan dan sempat tertunda selama beberapa dekade, sekaligus mengkritik gaya pemerintahannya yang terkadang kacau dan kontradiktif. 

Sedangkan dalam hal penangan Covid 19, Bland malah menyebut pemerintah Indonesia dibawah kemimpinan Jokowi, “menunjukkan banyak sifat terburuknya” seperti mengabaikan nasihat ahli, kurangnya kepercayaan pada masyarakat sipil, dan kegagalan untuk mengembangkan strategi yang koheren". Bahkan Refly Harun menegaskan kemimpinan Jokowi telah mengarah pada sikap feodalistik, otoritarian bahkan belakangan sempat memperagakan politik oligarki demi mempertahankan kekuasa
annya.

Kritik terhadap kinerja pemerintah Jokowi di atas bukanlah suatu wabah (pandemi) yang harus ditakuti melainkan sebagai potensi pembangunan yang mesti diapresiasi. Kritik tidak bisa dipahami sebagai suatu agresi terhadap privasi, karena keduanya perlu diletakkan pada ruang yang berbeda. Kritik dalam konteks ini berkaitan erat dengan kinerja pemerintahan yang telah diberi kekuasaan penuh oleh rakyat untuk mensejahterakan dan memakmurkan kehidupan berbagsa dan bernegara pada berbagai bidang. 

Sehingga yang dikritik adalah pemerintahannya, bukan privasi orang yang menjalankan pemerintahan tersebut. Lain soalnya jika kritik itu diarahkan kepada pribadi seorang pejabat, maka Negara perlu melakukan perlindungan terhadap hak privasinya. Jika pemerintah merasa kritik tersebut tidak obyektif ataupun tidak benar maka harusnya dibantah, baik melalui verbal (klarifikasi) maupun melalui kinerja yang lebih baik, bukan melalui sikap antipati, bahkan memusuhi (enemy) rakyatnya sendiri.

"Kebijakan dibuat untuk kepentingan rakyat. Tapi lebih banyak kepentingan pembuat kebijakan telah membunuh rakyat." (Soe Hok Gie)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun