Mohon tunggu...
Abd RaufWajo
Abd RaufWajo Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam Institut Agama Islam Negeri Ternate

Dosen Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam Institut Agama Islam Negeri Ternate

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Ibrahim A.S. dalam Sebuah Refleksi

13 Januari 2022   09:10 Diperbarui: 13 Januari 2022   09:15 223
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

By: Abd. Rauf Wajo

Ribuan tahun yang lalu, di tanah kering dan tandus serta dibalik bukit-bukit bebatuan yang ganas, sebuah cita-cita universal ummat manusia dipancangkan. Adalah sosok Nabi Ibrahim yang dikenal sebagai Bapaknya agama-gama samawi  (abu al-Millah), telah memancangkan sebuah cita-cita yang kelak terbukti melahirkan peradaban besar. 

Cita-cita kesejahteraan lahir dan batin. Suatu kehidupan yang aman, tenteram, dan sentosa serta secara materi subur dan makmur sebagaimana teruangkap dalam Q.S. Al-Baqarah : 126.

Sesungguhnya apa yang dipancangkan oleh Nabi Ibrahim itu, bukan sekedar kisah kelam yang hilang dimakan waktu, melainkan sebuah momentum sejarah yang menentukan perjalanan hidup manusia sampai sekarang ini. Ibrahim a.s. menghendaki sebuah masyarakat ideal yang bersih, yang tunduk terhadap sistem kepercayaan, nilai-nilai luhur, dan tata aturan (syariat) sebagai dasar kehidupan bersama. 

Oleh karena itu dalam Islam merayakan idul adha atau idul kurban adalah bagian dari refleksi sejarah sejarah keummatan di masa lalu yang telah dicontohi oleh Ibrahim a.s bersama putranya Islam a.s. untuk dijadikan pelajaran dalam menapaki masa kini dan akan datang.

  Dari sekian banyak riwayat tentang tentang sosok Ibrahim, ada suatu peristiwa besar yang selalu dikenang ketika datangnya Idul Adha yaitu prosesi penyembelihan Ismail a.s, sorang anak semata wayang dari nabi Ibrahim a.s yang dinanti sekian lama. 

Peristiwa ini bermula dari pernyataan nabi Ibrahim a.s ketika menjawab pertanyaan tentang 12.000 ekor ternak kambing miliknya, dimana  malaikat bertanya “milik siapa ternak sebanyak ini ?, maka dijawabnya, kepunyaan Allah tapi kini masih milikku. Sewaktu-waktu bila Allah menghendaki, aku serahkan semuanya. Jangankan ternak ini, bila Allah meminta anak kesayanganku Ismail, niscaya aku akan serahkan juga”. 

Menurut Ibnu Katsir dalam kitab al-qur’anul ‘adzim mengemukakan bahwa pernyataan nabi Ibrahim yang akan “mengorbankan anaknya bila dikehendaki Allah” itulah kemudian dijadikan bahan ujian. Yaitu Allah melalui firman-Nya dalam al-qur’an surat Ash-saffaat : 120, memerintahkan Ibrahim a.s. untuk menyembelih anaknya Ismail a.s saat usinya baru berumur baligh. 

Seorang putra yang dinanti sekian lama kelahirannya, yang elok rupawan, sehat lagi cekatan itu harus disembelih dengan tangannya sendiri demi ketundukannya pada ilaihi rab Allah SWT. 

Dan Islmail a.s ketika dimintai pendapatnya tentang mimpi dari ayahnya tersebut, tanpa keraguan sedikit ia menyetujui dirinya dikorbankan demi ketundukan dan ketaatan kepada perintah Allah SWT., hingga akhirnya proses penyembelihan itupun terjadi.

Malaikat Jibril sebagai saksi dalam tragedi pengorbanan yang tiada bandingnya dalam sejarah ummat manusia itu, terjejak kagum seraya mengucapkan “Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar”, lalu nabi Ibrahimpun menjawab “lailaha illallahu Allahu Akbar”, kemudian disambut oleh Ismail dengan penuh kaihkhlasan “Allahu Akbar Walillahil Hamdu” . Walau kemudian sedetik setelah pisau nyaris digerakkan, tiba-tiba Allah berseru dengan firmannya untuk menghentikan prosesi menyedihkan tersebut sekaligus meridhoi kedua ayah dan anak ini atas kepasrahan dan tawakkal mereka kepada Allah. Sebagai imbalan keikhlasan mereka, Allah mencukupkan dengan menyembelih seekor kambing sebagai korban.

Jejak pengorbanan Nabi Ibrahim AS yang paling besar dalam sejarah umat manusia itu, membuat Ibrahim menjadi nabi dan rasul yang mengisahkan tauladan bagi segenap ummat manusia di jagat raya ini. Berbagai peristiwa yang dialami oleh beliau harus dimaknai sebagai pesan simbolik agama, yang mengandung pelajaran berarti dalam kehidupan ini.

Sebagai mahluk yang memiliki kodrat menusiawi, mengikuti keseluruhan pengorbanan seorang nabi Ibrahim sesuai kisah di atas mungkin rasanya sulit dimanifestasikan. 

Cara terbaik yang dapat dilakukan adalah memahami makna terdalam dari sosok Ibrahim a.s untuk dijadikan sebagai tauladan dalam keseharian intaraksi spiritual maupun sosial. Ibrahim a.s. sukses memadukan dua sisi kehidupan yang harmoni, yakni sebagai seorang pengusaha kaya yang memiliki ribuan ternak, namun kulitas iman dan taqwanya kepada Allah dengan mengorbankan harta bahkan nyawa anaknya sekalipun, menjadikannya sebagai manusia terbaik dihadapan Allah.

Tingginya tingkat ketaatan nabi Ibrahim dalam menjalankan perintah Allah dan putranya Ismail yang tunduk dan patuh terhadap orang tuanya menunjukkan pribadi orang tua dan anak yang beriman dan berakhlaklakul karimah. Keteladanan mereka penting dipedomani dalam mensikapi setiap permasalahan yang melingkupi semua sisi kehidupan ini. 

Termasuk permasalahan akut generasi milineal yang saat ini terjebak dalam penyakit sosial seperti, penyalahgunaan narkotika, sabu-sabu, minuman oplosan serta obat-obat terlarang lainnya. Juga kejahatan kemanusiaan seperti tindakan pemerkosaan, pembunuhan, perkelahian dan kriminal lainnya.

Fenomena sosial tersebut, tidak lain hanyalah menunjukkan bahwa semakin jauhnya masyarakat daerah ini dari dimensi ketaqwaan dan berdampak pada lemah dan rapuhnya “ketahanan mental”, ”etos sosial” dan kekuatan moral generasi.

Ibrahim a.s juga menyadarkan kita bahwa Allah adalah pemilik tunggal harta kekayaan. Kemewahan, jabatan dan kekuasaan adalah titipan Allah, yang harus disyukuri dan dikorbankan sebagai bentuk kepakaan terhadap kemaslahatan hidup orang banyak. 

Dimasa pandemi covid 19 yang belum mereda ini, kepekaan sosial menjadi berarti terutama pada mereka yang hidup berkurangan materi. Kepekaan sosial turut memberikan rasa bahagia dan kenyamanan bagi atas penderitaan dan kesulitan yang dihadapi. Sementara rasa bahagia, merupakan vitamin penguat kekebalan tubuh manusia agar tidak mudah tertular dengan penyakit.

Untuk itu di tengah krisis ekonomi akibat pandemi ini, cara terbaik kita adalah menjadi peribadi sederhana sebagaimana tauladan Ibrahim dengan mengenyamping nafsu keduniaan dan lebih memilih hidup sederhana. Islam mengajarkan konsep kesederhanaan dengan mengutamakan kebutuhan daruriyah yang sifatnya mendesak, ketimbang hijjiah dan tahsiniyah yang hanya sebagai penunjang dan pelengkap. Sehingga uang yang dibelanjakan harus sesuai dengan kebutuhan bukan karena kemauan. 

Dengan begitu, maka rasa kepuasan dan bahagia akan bisa terwujud sesuai dengan nikmat yang Allah berikan tanpa harus memaksakan diri untuk memiliki diluar batas kemampuan kita, yang pada akhirnya menimbulkan perasaan kesemburuan sosial, emosi dan kecemasan sebagai potensi seseorang terserang penyakit.

Semoga dengan memaknai keteladanan Ibrahim, menjadikan kita pribadi yang baik dihadapan Tuhan maupun bersahaja dihadapan sesama. Wallahu’alam Bissawab.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun