Mohon tunggu...
Abd. Ghofar Al Amin
Abd. Ghofar Al Amin Mohon Tunggu... wiraswasta -

|abd.ghofaralamin@yahoo.co.id|

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Rokok Mahal, Ekonomi Nasional Terjungkal?

23 Agustus 2016   22:15 Diperbarui: 23 Agustus 2016   22:38 512
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menaikkan harga rokok hingga 50 ribu per bungkus diprediksi tidak serta-merta akan mengurangi jumlah perokok secara drastis. Rokok Mahal, Para Pecandu Tak Kehilangan Akal, khususnya mayoritas pecandu rokok yang berasal dari kalangan menengah ke bawah, mereka akan tetap merokok dengan cara “back to basic” kembali ke merokok era tradisional sebelum pabrikan rokok booming seperti sekarang ini.

Kenaikan rokok secara drastis alih-alih tidak bisa mengurangi jumlah perokok, malah akan mengakibatkan “kerugian” bagi pemerintah sendiri. Ada banyak lini kehidupan yang tergantung pada pabrik rokok, mulai dari petani tembakau, buruh pabrik rokok yang jumlahnya lebih dari 6 juta orang, pengusaha, pedagang, pengecer, bahkan hingga ke pembinaan sejumlah cabang olah raga dan bea siswa prestasi yang selama ini “dibiayai” oleh sejumlah perusahaan rokok terancam bubar, sementara pemerintah sendiri belum bisa melakukan “pembinaan” secara maksimal.

Dengan harga rokok yang selangit, pemerintah juga berharap pendapatan pajak (cukai) akan melonjak pula. Tapi kalau harga selangit, masyarakat perokok dipredikisi akan bermigrasi dari rokok pabrikan ke rokok tradisional, harapan pemerintah mendapatkan infus dana besar melalui cukai tembakau malah akan sia-sia. Pendapatan cukai tembakau (rokok) di tahun 2016 yang nilainya sampai dengan 141,7 trilliun di tahun-tahun setelah pemberlakuan harga rokok sampai 50 ribu per bungkus bisa malah anjlok, turun drastis karena masyarakat tidak lagi membeli rokok pabrikan.  Padahal saat ini industri pertembakauan memberi kontribusi perpajakan terbesar (52,7 persen) dibanding BUMN (8,5 persen), real estate, dan konstruksi (15,7 persen) maupun kesehatan dan farmasi (0,9 persen). Pemerintah yang rugi sendiri kan?

Salah satu produsen rokok nasional, PT HM Sampoerna Tbk, menilai rencana kenaikan cukai rokok harus dipertimbangkan secara menyeluruh. "Perlu kami sampaikan bahwa kenaikan harga drastis maupun kenaikan cukai secara eksesif bukan merupakan langkah bijaksana," ujar Head of Regulatory Affairs, International Trade, and Communications Sampoerna, Elvira Lianita, melalui pesan tertulis kepada Kompas.com, Minggu (21/8/2016). Menurutnya, aspek yang perlu diperhatikan sebelum menaikkan cukai rokok adalah semua mata rantai industri tembakau yang meliputi petani, pekerja, pabrik, pedagang, hingga konsumen. Baca; kompas

Untunglah, kabar bahwa rokok akan naik hingga 50 ribu per bungkus baru sekedar wacana, sehingga para pacandu rokok, petani tembakau, dan para pihak terkait akhirnya bisa bernafas lega. Pemerintah dijamin tidak akan menaikkan harga rokok setinggi langit itu secara tiba-tiba. Harga rokok kemungkinan memang akan dinaikkan, namun secara bertahap mulai tahun 2017 yang akan datang dengan prosentase kenaikan sekitar 10% dari harga (cukai) yang berlaku tahun ini.

Kenaikan harga rokok hingga 50 ribu rupiah, sama dengan pemerintah menaikkan tarif cukai hingga 365%, angka yang mustahil untuk diterapkan karena akan menimbulkan efek karambolnya yang luar biasa. Soal berapa besar prosentase kenaikan tarif cukai rokok pada tahun 2017 nanti masih dalam pembahasan. Pemerintah memang secara rutin menaikkan tarif cukai setiap tahun. Kebijakan itu biaanya diumumkan tiga bulan sebelum pergantian tahun anggaran.

Dirjen Bea Cukai Kementerian Keuangan Heru Pambudi menyatakan, pemerintah belum menetapkan tarif baru cukai rokok dan harga jual eceran. ”Sekarang fase koordinasi dan komunikasi oleh kementerian/lembaga. Kemudian pemerhati kesehatan, asosiasi pabrik rokok, dan tentu kementerian terkait yang meliputi Kementerian Pertanian, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Perdagangan,” jelasnya sebagaimana dilasir smcetak.

Pemerintah tidak akan serta merta menaikkan harga (cukai) rokok secara sepihak tanpa berkoordinasi dengan pihak-pihak terkait. Pasalnya, aspirasi banyak pihak yang berkepentingan dalam industri rokok harus didengar. ”Faktor yang mempengaruhi kan banyak. Yang concern (peduli) terhadap masalah kesehatan, yang concern terhadap petani tembakau harus didengar, juga buruh-buruh pabrik.”

Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan bahwa terkait wacana kenaikan harga rokok hingga 50 ribu, pihaknya (kemenkeu) belum membuat aturan baru mengenai harga jual eceran atau tarif cukai rokok. "Saya paham ada hasil kajian salah satu pusat kajian ekonomi apa yang disebut sentifitas kenaikan harga rokok terhadap konsumsi rokok," ujarnya di Kantor Kemenkeu, Jakarta, Senin (22/8/2016). Meski belum memutuskan kenaikan cukai rokok, pihaknya mengaku sedang mengkaji kenaikan tarif cukai, dan memastikan kebijakan harganya nanti akan dilakukan sesuai peraturan perundang-undangan yang ada. (tribun)

Wacana kenaikan harga rokok yang fantastis itu bermula dari hasil penelitian Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Manusia Universitas Indonesia. Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat UI Hasbullah Thabrany mengatakan, berdasarkan hasil survei yang dirilis pada Juli 2016, harga ideal untuk mencegah pelajar dan orang miskin mengonsumsi rokok adalah Rp 50 ribu per bungkus. Menurut dia, jumlah perokok di Indonesia 34-35 persen dari total penduduk. Dari jumlah itu, 67 persen perokok laki-laki dan 4 persen perempuan. Perokok di Indonesia harus dikendalikan. Salah satu caranya dengan menaikkan harga.

Tapi, menaikkan harga rokok ternyata tidak bisa menjadi jaminan masyarakat (perokok) akan serta-merta berkurang secara drastis pula, bahkan negara justru bisa “merugi” karenanya. Ribuan buruh pabrik rokok terancam PHK, para petani tembakau akan kehilangan pekerjaan, pabrik-pabrik terancam gulung tikar, pembinaan olah raga dan paket bea siswa yang selama ini didanai pabrik rokok pun akan bubar, dan masih banyak efek karambol yang akan mengikutinya.

Anggota Komisi VI DPR Abdul Kadir Karding, menyebutkan bahwa pada 2015 sumbangan sektor pertembakauan dari cukai Rp 139,1 triliun, jika ditambah pajak, setiap tahun bisa Rp 170 triliun. Orang yang bekerja dalam rangkaian produksi tembakau, industri keretek, cengkih, dan perdagangannya bisa menyerap sekitar 30-35 juta tenaga kerja. Belum termasuk usaha lain yang bergerak karena tembakau, seperti periklanan, jasa transportasi barang, pedagang kaki lima, dan sektor informal yang menopang ekonomi Indonesia saat krisis.

Sementara itu, Anggota Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun yang meminta pemerintah berhati-hati, karena bisa saja isu kenaikan harga rokok ditunggangi kepentingan asing yang memiliki tujuan tertentu. Apabila harga dinaikkan menjadi 50 ribu industri rokok akan bangkrut dan otomatis ribuan orang akan kehilangan pekerjaan, kemiskinan Indonesia akan membesar. 

Sektor pertembakauan selama ini, mulai dari budi daya, pengolahan, produksi, tata niaga, distribusi, dan pembangunan industri hasil tembakau mempunyai peran penting dalam menggerakkan ekonomi nasional dan mempunyai efek berantai yang sangat luas. No Smoking? Why Not! Ayo cari cara yang lebih aman untuk “Stop Merokok!” (Banyumas; 23 Agustus 2016)

Sumber; kompas, smcetak, tribun

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun