Mohon tunggu...
Abby Crisma
Abby Crisma Mohon Tunggu... Lainnya - Hamba Allah Biasa | Anak'e Ibu | Citizens

Simply, writing for relaxing.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Gelas Kaca dan Jendela

15 Maret 2023   09:08 Diperbarui: 9 April 2023   11:28 336
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku tahu kamu
dari tukang-tukang yang membawa
kita berdua.

Aku tahu dari mereka
kalau kau lahir dengan bersila
dikelilingi mesin-mesin canggih.

Sementara kau tahu aku?
Harus berdiri di atas serbuk kayu
bersama jerih keringat tukang
lumuri punggungku yang suram.

Baca juga: Mata Jelalatan

Namun beruntungnya kita
akhirnya lebih diperkenalkan
lagi, oleh majikan yang pengertian.
Aku dipasang di rumah yang sama
dengan kau yang lebih dahulu
bersantai di atas meja.

Saat mereka memalu teralis kayu, tanpa sengaja aku terpalu.
Pecahnya meriah. Meriuhkan seisi materi.
Air di dalammu pun terguncang.
Sadari aku yang rapuh.

Lalu di lain hari
Saat hendak diteguk, kau tersenggol. Dirimu jatuh.
Pecahnya gemas. Melemaskan suasana.
Aku yang di luar biasa-biasa saja.
Percaya, bahwa kau tangguh.

Dan di kala gerimis
Giliranku tegap di dekat pagar
melindungi dari dingin hujan
dan jenakanya gemuruh petir
ketika bersanding dengan kau
yang memandang arah luar
menyeduh kehangatan
dengan es yang mencair

Baca juga: Pantaskah Aku?

Kita semakin akrab
Kita semakin terbuka
sebatas pada kedekatan
yang fana.

Baca juga: Obat Racikan Tuhan

Meski kita sepasang transparan
Kau terlalu bening, untuk aku yang kusam
Kau terlau tangguh, buat jiwaku yang rapuh
Dan kau terlalu berisi, bagi diriku yang sunyi
Malam-malamku tersiksa oleh angin basah
sedang di dalam, kau nyaman dengan pelukan.
Padahal kuingat, kau telah perhatian
tawarkan lap kering yang memelukmu duluan.

Aku memang kelewat bebal, untuk kau yang berakal. 

Maaf, ini segala gara-gara aku.
Kita belum sanggup melaju
memaknai sinar mentari
menjadi satu garis bias
yang selaras. 

Maka, sudahi.

Yogyakarta, 2023

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun