Aku tahu kamu
dari tukang-tukang yang membawa
kita berdua.
Aku tahu dari mereka
kalau kau lahir dengan bersila
dikelilingi mesin-mesin canggih.
Sementara kau tahu aku?
Harus berdiri di atas serbuk kayu
bersama jerih keringat tukang
lumuri punggungku yang suram.
Namun beruntungnya kita
akhirnya lebih diperkenalkan
lagi, oleh majikan yang pengertian.
Aku dipasang di rumah yang sama
dengan kau yang lebih dahulu
bersantai di atas meja.
Saat mereka memalu teralis kayu, tanpa sengaja aku terpalu.
Pecahnya meriah. Meriuhkan seisi materi.
Air di dalammu pun terguncang.
Sadari aku yang rapuh.
Lalu di lain hari
Saat hendak diteguk, kau tersenggol. Dirimu jatuh.
Pecahnya gemas. Melemaskan suasana.
Aku yang di luar biasa-biasa saja.
Percaya, bahwa kau tangguh.
Dan di kala gerimis
Giliranku tegap di dekat pagar
melindungi dari dingin hujan
dan jenakanya gemuruh petir
ketika bersanding dengan kau
yang memandang arah luar
menyeduh kehangatan
dengan es yang mencair
Kita semakin akrab
Kita semakin terbuka
sebatas pada kedekatan
yang fana.
Meski kita sepasang transparan
Kau terlalu bening, untuk aku yang kusam
Kau terlau tangguh, buat jiwaku yang rapuh
Dan kau terlalu berisi, bagi diriku yang sunyi
Malam-malamku tersiksa oleh angin basah
sedang di dalam, kau nyaman dengan pelukan.
Padahal kuingat, kau telah perhatian
tawarkan lap kering yang memelukmu duluan.
Aku memang kelewat bebal, untuk kau yang berakal.Â
Maaf, ini segala gara-gara aku.
Kita belum sanggup melaju
memaknai sinar mentari
menjadi satu garis bias
yang selaras.Â
Maka, sudahi.
Yogyakarta, 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H