Selamat harlah yang ke-100 tahun untuk Nahdlatul 'Ulama, tepat memasuki 16 Rajab 1444 H. Artikel ini adalah persembahan sederhana dari saya sebagai santri, yang jujur sampai saat ini masih belum  nyantri dan NU banget nget. Jadi, maaf saya haturkan kepada pak Yai dan bu Nyai.
Sebelum memulai, mari dengan tulus kita hadiahkan al Fatihah kepada kanjeng Nabi Muhammad SAW. Lahul Fatihah.
Kepada para muassis NU, 'alim 'ulama NU, para kiai dan bu nyai, para gus dan neng, asatidz, semua insan yang senantiasa menghidupkan NU, dan tentu semua muslimin muslimat, baik yang masih hidup maupun yang telah kembali ke rahmatullah. Lahumul Fatihah.
---
Nahdlatul 'Ulama, Pengabdian untuk Keutuhan Umat dan NegaraÂ
Satu abad sudah eksistensi Nahdlatul Ulama di jagad dunia. Semua orang tentu menyadari, bahwa itu adalah waktu yang sangat lama. Dan pastinya, bukan hal mudah untuk tetap konsisten berpegang teguh pada prinsip pengabdian kepada umat dan negara.Â
Kenyaataan di lapangan, pengabdian tersebut tidak hanya ditujukan pada umat Islam dan warga Nahdliyin saja. NU mencoba merespon segala bentuk problem masyarakat. NU merangkul seluruh kalangan manusia, mau dia non-muslim, pejabat, karyawan, pengangguran, kaya, atau miskin. Â Â
Hal itu tampak, ketika NU menjadi garda terdepan dalam merajut kebersamaan di tengah kemajemukan dan perbedaan yang ada. Dan hasilnya seperti sekarang yang kita tuai, yakni kehidupan bermasyarakat dan berbangsa yang membaur, damai, serta toleran.
Situasi ini tentu akan sangat kontras, jika kita bercermin dengan kondisi di beberapa negara di Timur Tengah, yang diketahui sedang krisis dan dilanda konflik. Al Fatihah sekali lagi buat saudara kita yang di sana. Â Â Â
Urgensi keberadaan NU tersebut makin diperkuat lagi dengan pernyataan yang sempat dilontarkan beliau, mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul 'Ulama (PBNU) masa khidmat 2010-2022, al mukarrom Prof. Dr. K.H. Said Aqil Siroj.Â
Pada satu kesempatan, beliau [Pak Yai Aqil] mengatakan, bahwasanya perpecahan bangsa di Indonesia tak akan pernah terjadi selama Nahdlatul 'Ulama masih berdiri.Â
Dan sekarang, NU pun masih berdiri. Bahkan sudah satu abad dan akan terus berjalan lagi. Pengikut organisasi ini pun semakin hari kian bertambah. Jadi, kita tidak usah khawatir dengan isu-isu perpecahan yang beredar.Â
Mereka bagaikan gajah di seberang pulau, beritanya saja yang besar namun dampaknya tidak cukup kelihatan, apalagi kalau sudah dihadapkan dengan NU.Â
Seluruh masyarakat Indonesia kudu menjalin semangat persaudaraan tanpa memandang etnis, suku, ras, dan keyakinan. Apabila itu berhasil terlaksana, maka selama itu juga Indonesia akan tetap utuh dan terhindar dari konflik perbedaan, apalagi sampai perang saudara.
Tiap negara memiliki budaya, pola, dan ciri khas kehidupannya masing-masing, dimana sebagai penduduknya harus menghargai dan bangga atas perbedaan tersebut, tidak terkecuali bagi masyarakat Indonesia.
Kampanye-kampanye seperti ini lah yang menjadi ciri khas NU, yang terus digaungkan selama pengabdian mereka dalam menjaga keutuhan umat dan negara.Â
Setelah pemberdayaan dan peningkatan aspek keagamaan umat, keutuhan serta kedamaian Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menjadi prioritas utama NU. Tentunya, bukan belakangan ini saja kita mengenal NU yang seperti itu.
Bahkan dari 77 tahun lalu, sejak lahirnya Resolusi Jihad yang dikumandangkan oleh Almarhum Al Maghfurlah Al 'Arif Billah Syaikhul Akbar KH. Hasyim Asy'ari, sang pendiri organisasi Nahdlatul 'Ulama.Â
Meskipun anjuran jihad kala itu hanya ditujukan kepada para santri dan ulama ponpes untuk berperang melawan penjajahan, namun kini yang terpenting dari fenomena itu adalah esensinya.
Penerapan konteks resolusi jihad di era modern pada akhirnya tidak hanya diperuntukkan bagi kalangan muslim atau dalam bentuk peperangan semata. Adapun kini, resolusi tersebut tertuang dalam harapan besar NU kepada seluruh lapisan masyarakat untuk tulus mencintai agama, bangsa, dan negaranya sendiri.Â
Karena memang, seringkali sesusah itu untuk menghendaki sesuatu apabila tidak dinisiasi ketulusan terlebih dahulu.Â
Ketulusan itu nantinya akan menumbuhkan perasaan bela dan memiliki, sampai pada puncak yang tertinggi adalah munculnya tawasuth dalam diri.
Kalau sudah seperti ini, segala bentuk provokasi yang mengatasnamakan SARA pun tidak akan sanggup menggoyahkan hati dan pikiran semua insan di negeri ini. Apalagi sampai menciptakan perpecahan dan kegaduhan, itu akan sulit terjadi.Â
Nahdlatul 'Ulama dan Perannya terhadap Peradaban IslamÂ
Bentuk pengabdian tersebut juga sekaligus menjadi upaya NU untuk menangkal paham-paham radikal, sebagaimana isu yang sempat ramai lagi di beberapa tahun terakhir. Kendatipun faktanya, pendirian NU sendiri sejak awal adalah upaya untuk mengantisipasi hal-hal yang terlewat radiks, yakni sebuah fanatisme beragama yang menolak keras tradisi.
Itu semua berawal saat pemerintah Dinasti Saud yang melarang aktivitas ziarah ke makam Rasulullah Saw., hingga berniat untuk meruntuhkan makam tersebut. Mereka menganggap bahwa semua itu adalah bid'ah dlolalah.
Di sisi lain, Raja Saud juga tidak menyetujui dengan praktik bermazhab -yang disandarkan kepada imam fiqih empat- di area kekuasaanya, di penjuru Arab Saudi. Usut punya usut, mereka ingin menerapkan paham Wahabi sebagai madzhab resmi kerajaan.Â
Kebijakan tersebut pun segera diangkat sebagai bahan diskusi pada sebuah muktamar Islam global yang dikenal dengan Muktamar 'Alam Islami di Makkah.Â
Bagi 'ulama Aswaja, sentimen anti-mazhab yang puritan seperti ini, cenderung akan meniadakan tradisi dan budaya yang telah berkembang di dunia Islam. Lebih buruknya lagi, tentu akan mengancam kemajuan peradaban Islam itu sendiri.Â
Bukan hanya persoalan makam Nabi Saw. saja, peninggalan lainnya yang terintegrasi dengan Islam, baik berupa situs bersejarah ataupun adat istiadat, kemungkinan besar akan dimusnahkan juga oleh mereka.Â
Dengan sampainya berita tersebut ke tanah Jawa, Al Magfurlah Al 'Arif Billah K.H. Wahab Hasbullah lantas berpikir untuk segera melakukan suatu tindakan. Jalan keluar yang dipilih kelak adalah dengan menyampaikan risalah dari 'ulama Nusantara secara langsung kepada Raja Saud melalu forum muktamar.
Adapun saran yang ditawarkan beliau adalah agar sistem bermadzhab di tanah Hijaz harus tetap diberi kebebasan .
Prosesnya sangat panjang dan tidak mudah untuk menuju kesana. Berbagai pendekatan dan diplomasi dari Mbah Yai Wahab ditolak berulang kali, sekalipun oleh para modernis Islam Indonesia pada saat itu, seperti H.O.S. Tjokroaminoto dan K.H. Mas Mansur.
Kondisi itu pun mendorong Mbah Yai Wahab untuk memutar otak. Akhirnya, beliau menentukan langkah strategis melalui pembentukan sebuah komite pada tahun 1926, yang tentu direncanakan agar bisa berangkat ke muktamar. Komite tersebut kemudian dinamakan dengan komite Hijaz.Â
Setelah mendapat restu dari Mbah Hasyim Asy'ari, komite Hijaz dirasa sudah siap untuk dikirim ke muktamar. Komite tersebut berisikan 'ulama terkemuka sebagai delegasi, yakni Al Magfurlah Al 'Arif Billah K.H. Raden Asnawi Kudus.Â
Namun masalah baru muncul. Komite ini ternyata tidak bisa dikirimkan ke Makkah begitu saja. Mereka tidak berhak mengikuti forum apabila tidak ada institusi atau organisasi yang menaunginya. Maka dari itu, singkatnya, didirikanlah organisasi bernama Jam'iyah Nahdlatul 'Ulama atas usul K.H. Mas Alwi bin Abdul Aziz.
Ikhtiar fisik dan batin dari para 'alim ulama Nusantara itu pun pada akhirnya berhasil mempertahankan warisan kebudayaan dan peradaban Islam yang telah lebih dulu diperjuangkan oleh Nabi Muhammad Saw., sahabat-sahabat beliau, dan para penerus beliau setelahnya.Â
Walhasil, jama'ah umroh, haji, atau yang sekedar berkunjung ke Saudi, sampai detik ini masih berkesempatan ziarah ke makam kanjeng Nabi Saw. Sekali lagi, hal tersebut tentu tidak terlepas dari peran para 'ulama Nusantara yang tadi telah diceritakan, yaitu beliau para kyai dan sesepuh Nahdlatul 'Ulama.
Begitu lah ulasan singkat mengenai pengabdian NU untuk keutuhan umat dan negara Indonesia.Â
Terlebih lagi, NU telah megngabdi pada agama secara luas, melalui pelestarian peradaban Islam dunia, yang bukan hanya terjadi saat lahirnya NU saja, namun sampai kini, dan optimis hingga di abad yang kedua nanti.Â
Sekian, semoga Allah Swt. senantiasa membukakan hikmah-Nya melalui tulisan ini, sehingga ada sedikit pelajaran yang bisa diambil.
Allahumma Sholli 'ala Muhammad
Referensi: 1
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H