Mengapa tidak. Dia sudah merasa hidupnya gagal sebelum mencoba. Dia telah gagal tanpa membuktikan dahulu bahwa dirinya gagal. Dia gagal untuk menunjukkan bahwa manusia sejatinya tempatnya salah dan gagal. Terlebih lagi, dia telah gagal untuk menjadi dirinya sendiri.Â
Benar-benar mengerikan. Aku berduka padanya.
Sampai di tengah percekapan, dibuat diriku bertambah iba dan hancur. Itu terjadi sesaat dia mengatakan sesuatu, yang kemudian menjadi sabda paling tulus yang pernah aku dengar seumur hidupku.
"Tolong aku."Â
Nah, itu. Pria itu memohon sangat, sembari menatapku dengan berlinang air mata.
Sebelum dia meminta tolong, bahkan sejak awal inisiatifku untuk menghampiri, sudah kupastikan bahwa aku berniat membantunya.
Lantas kutarik lengan pria itu dengan penuh semangat, mengangkat tubuhnya yang lesu untuk berdiri tegap. Aku menyeringai tipis padanya, memberi kesan bahwa semua akan baik-baik saja. Mudah-mudahan, bibirnya tidak lagi cembung ke atas. Â
Segera kurangkul pundaknya dan mengajak pergi dari tempat itu. Kita berjalan berbarengan menuju pabrik tempatku mengais rejeki, mengingat jam presensiku sudah semakin mepet.
Sepanjang perjalanan, aku berusaha untuk menenangkan.Â
"Nanti aku coba mintakan pekerjaan sama atasanku. Pokoknya kamu mulai aja dulu, lakukan sebisamu. Jangan takut! Dan nggak usah dipikir pusing. Kalau ada apa-apa, panggil aku."
"Makasi banyak, Bro," balasnya tulus.