"Hufftt ssshttttt. Huffftt sshhttt. Huffttt shhtttt."
Melodi tangisan pria dewasa tersedu-sedu, sesekali mendesak masuk ingus encer yang bersikeras untuk keluar dari goa. Itu terdengar tepat disamping container sampah, milik sebuah kantor pemasaran yang terletak di pinggir trotoar.Â
Dia duduk dengan menekuk kaki dan mengikat kedua lututnya menggunakan dua tangan. Kepalanya pun menunduk lebih dalam, hingga itu menutupi wajahnya. Penampakan tersebut seakan menunjukkan bahwa ada suatu kesengsaraan yang sedang dirasakan olehnya.Â
Aku berpapasan saat hendak menuju pabrik, berjalan tegap melewati trotar yang masih lenggang. Hari itu lumayan pagi, dan memang ada cukup waktu luang untuk bersimpati kepadanya.
Kusandarkan mini carrier di samping kakiku dan segera merunduk . Menanyakan apa gerangan yang terjadi dengan pria tersebut.
"Kamu kenapa, Bro?" ucapku dengan pelan.
Belum ada balasan. Masih dengan suara tangis dan tarikan ingus yang tak kunjung henti. Maka kukabulkan lagi saja rasa penasaranku.
"Bro, kenapa?"
Dia diam. Masih membungkuk. Tidak sedikitpun membuka kaki dan lututnya yang terlipat.Â
Maaf-maaf nih sebelumnya. Bukan karena kepengen lihat selangkangan dia. Tapi, alangkah baiknya bercakap dengan saling bertatap muka. Kurasa, itu sanggup menciptakan keakraban dan keterbukaan antar lawan bicara. Dengan itu, dia punya kesempatan untuk lebih berani bercerita apa yang sedang dialaminya. Harapku sih seperti itu.