Dari sini Dirman memperoleh ibrah penting yang mengubah hidupnya. Ia memastikan untuk tetap bertekad menjadi pribadi yang kaya. Hanya saja, apabila keberuntungan jatuh padanya, jalan hidup yang Dirman pilih akan berbeda dari pria blasteran yang dahulu ia idolakan. Memiliki materi dan keluasan hati, jauh lebih bermakna dibandingkan keleluasaan hidup yang Dirman idamkan sebelumnya.
Dia berpikir. Untuk sementara ini, yang  bisa dilakukan adalah terus bersyukur dengan apa yang ia miliki. Mbah Uti dan pangan, sandang, serta papan yang seadanya, sudah membantunya untuk tetap hidup sampai detik ini. Dia juga berjanji, untuk berhenti mengeluhkan nasibnya dan terus mengupayakan yang terbaik bagi kehidupan keluarganya yang kini semakin kecil.Â
Sesaat sampai di rumah, Dirman tidak memutuskan langsung masuk ke dalam. Dia mencoba berleha sejenak, melepas penat, dan duduk di kursi kayu tua depan pintu utama. Kedua kakinya diselonjorkan di atas meja, sembari meluruskan pandang ke atas. Terlihat suatu kedamaian, langit jingga yang semakin lelap.Â
Seketika, benaknya membatin sekaligus menegaskan sesuatu.
"Sepertinya, menjadi diri sendiri juga tidak buruk-buruk amat"Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H