Perspektif adiksi menunjukkan bahwa makanan tertentu, terutama yang tinggi kalori, gula, lemak, dan garam, dapat menyebabkan reaksi otak yang mirip dengan reaksi terhadap zat adiktif, seperti dopamin. Akibatnya, seseorang dapat mengkonsumsi makanan terlalu banyak dan tidak dapat menghentikannya meskipun dampak negatifnya pada kesehatan mereka[4].
Referensi:
Motoki, K., & Suzuki, S. (2020). Extrinsic factors underlying food valuation in the human brain. Frontiers in Behavioral Neuroscience, 14, 131.
-
Plassmann, H., Schelski, D. S., Simon, M. C., & Koban, L. (2022). How we decide what to eat: Toward an interdisciplinary model of gut–brain interactions. Wiley Interdisciplinary Reviews: Cognitive Science, 13(1), e1562.
Constant, A., Moirand, R., Thibault, R., & Val-Laillet, D. (2020). Meeting of minds around food addiction: insights from addiction medicine, nutrition, psychology, and neurosciences. Nutrients 12 (11): 3564.
Potenza, M. N. (2014). Obesity, food, and addiction: emerging neuroscience and clinical and public health implications. Neuropsychopharmacology, 39(1), 249.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI