Mohon tunggu...
Muhamad Habib Koesnady
Muhamad Habib Koesnady Mohon Tunggu... Guru - Pengajar Teater

Mempelajari Seni

Selanjutnya

Tutup

Seni

Catatan Kurasi Festival Teater Pelajar Jakarta Pusat tahun 2024

7 Juli 2024   02:49 Diperbarui: 7 Juli 2024   08:12 2147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Senjakala Teater | foto: Dany Oki Darmawan/ATAP

Asosiasi Teater Jakarta Pusat bersama dengan Suku Dinas Kebudayaan Kota Jakarta Pusat mengadakan Kurasi Festival Teater Pelajar Jakarta Pusat pada 27, 29 & 30 Juni 2024 di Gedung Pusat Pelatihan Seni Budaya (PPSB) M. Mashabi Jakarta Pusat. Kurasi ini adalah seleksi bagi calon peserta Festival Teater Pelajar Jakarta Pusat. Peserta kurasi ini adalah para kelompok/ekstrakurikuler teater yang ada di sekolah-sekolah SMA/SMK/MA di wilayah Jakarta Pusat. 

Kurasi diikuti oleh 14 grup peserta, yaitu: 

1. Teater One Mad - SMA Taman Madya (Ayahku Pulang karya Usmar Ismail)
2. Teater Relief - SMK Ksatria (Taplak Meja karya Herlina Syarifudin)

3. Teater Dua Gambir - SMKN 2 Jakarta (Dukun-Dukunan karya Moliere adaptasi Puthut Buchori)

4. Teater Tosla - SMAN 68 Jakarta (Nurlela karya Harya Sastra Putera)

5. Teater Reptil - SMKN 38 Jakarta (Senja dengan Dua Kelelawar karya Kirdjomulyo)

6. Teater of Douven - SMAN 77 Jakarta (Tuyul Anakku karya WS Rendra)

7. Teater Ganar - SMAN 27 Jakarta (Kupetik Mimpi Untukmu karya Boby Faisal)

8. Senjakala Teater - SMKN 39 Jakarta (Rompon Skoupidion karya M Akbar Safari)

9. Triple X Teater - SMAN 30 Jakarta (Sidang Iblisi karya H. Mochtar Sum)

10. Teater Teduh - SMAN 20 Jakarta (Wek-Wek karya Djadoeg Djajakoesoema)

11. Teater Nibras - MA Istiqlal (Nyonya-Nyonya karya Wisran Hadi)

12. Teater Atlas - SMKN 14 Jakarta (Adolescent karya Xoleil Y. Z.)

13. Teater Lima - SMAN 5 Jakarta (Catatan Akhir Sekolah karya Fadhiilah S. Nuraini)

14. Teater Bengkel Mutu - SMK Muhammadiyah 1 (Masa Depan Aisyah karya Umar Karya Triyono)


Dari keempatbelas grup calon peserta FTP Jakarta Pusat, dipilih 10 grup yang akan menjadi peserta Festival Teater Pelajar Jakarta Pusat tahun 2024. Mereka mementaskan potongan pertunjukan berdurasi 15 menit dengan 5 unsur penilaian, antara lain: Pemeranan, Artistik, Penyutradaraan, Pemahaman Konsep, dan Potensi Pertunjukan. Sebagian besar pertunjukan disutradarai pelajar (?), namun beberapa kelompok disutradarai oleh pelatihnya langsung. 

Konsekuensi Memilih Teater Musikal

Secara bentuk, dari 14 kelompok peserta kurasi, ada 6 kelompok yang memilih bentuk Teater Musikal--atau, teater yang didominasi oleh musik, nyanyian & tarian. Kelompok-kelompok tersebut antara lain Teater Relief (Taplak Meja karya Herlina Syarifudin), Teater Tosla (Nurlela karya Harya Sastra Putera), Teater of Douven (Tuyul Anakku karya WS Rendra), Teater Ganar (Kupetik Mimpi Untukmu karya Boby Faisal), Senjakala Teater (Rompon Skoupidion karya M Akbar Safari), dan Teater Lima (Catatan Akhir Sekolah karya Fadhiilah S. Nuraini). 

Teater Musikal adalah bentuk seni pertunjukan teater yang menggabungkan unsur akting, nyanyian, & tarian. Ketiga unsur tersebut mesti hadir tanpa kompromi. Di saat yang sama, harus memiliki kesadaran bahwa Teater Musikal adalah seni pertunjukan teater, dan memiliki dramaturgi di dalamnya. Ketika memilih bentuk Teater Musikal, maka konsekuensinya adalah harus memiliki pemahaman dan kemampuan di bidang-bidang tersebut. 

Banyak dari para kelompok yang menampilkan Teater Musikal masih terjebak pada nyanyian dan tarian berkelompok saja. Mengabaikan sisi penokohan, penceritaan & unsur lainnya. Misalnya, di dalam sebuah pertunjukan, diceritakan ada tokoh A dan tokoh B yang bermusuhan, lalu ada adegan musikal tetapi tokoh A & B tiba-tiba bernyanyi & menari bersama melupakan alur cerita dan penokohan yang telah dibangun sebelumnya. Perbedaan kedudukan tokoh pun akhirnya lenyap.

Di luar penokohan, secara pemeranan juga terkadang hilang atau menipis. Misalnya tokoh C diceritakan menjadi orang tua. Dengan teknik akting yang dimiliki, pemeran memerankan tokoh sesuai dengan penokohan/cerita. Lalu tiba-tiba ketika menari & bernyanyi, pemeran C tidak lagi menjadi tokoh C yang tua. Tetapi menjadi dirinya sendiri. Dalam konteks teater remaja, ia menjadi remaja yang sedang menari & bernyanyi saja, serta mengabaikan tokoh yang seharusnya ia mainkan. Unsur akting/pemeranan-nya hilang/melemah. Padahal seharusnya unsur akting ketika sedang bernyanyi & menari tidak hilang. Justru harusnya malah menguat. Banyak ditemui hal-hal seperti ini dalam Teater Musikal. Adegan musikal berkelompok hanya terlihat seperti pertunjukan boy/girl band: bernyanyi dan menari, dengan mengabaikan unsur akting/pemeranan. Teater Lima memiliki kecenderungan ke sana. Hampir semua adegan yang ditampilkan adalah tarian & nyanyian berkelompok.

Teater Lima | foto: Dany Oki Darmawan/ATAP
Teater Lima | foto: Dany Oki Darmawan/ATAP

Adegan musikal berkelompok dilakukan dengan cukup baik oleh Senjakala Teater & Teater Ganar. Meskipun baru "cukup" dan masih ada kekurangan pada wilayah pemeranan, namun potensi yang ada sudah bisa dijadikan modal. Selain adegan berkelompok, Teater Musikal memungkinkan melakukan dialog satu-dua orang dengan nyanyian. Adegan seperti ini belum banyak dilakukan. Pun jika ada, dialog yang dinyanyikan secara individual belum cukup panjang. Teater of Douven menggunakan teknik ini lebih baik dibanding yang lain. 

Secara konsep, teater musikal membayangkan sebuah dunia yang didominasi oleh musik. Bayangkan, jika kita hidup dengan menggunakan musik sebagai latar belakang kehidupan kita. Ketika melakukan segala aktivitas, peristiwa, perasaan hati dan seterusnya, didorong atau didukung oleh musik. Meski dalam implementasinya ada unsur-unsur adegan yang "tidak musikal", adegan tersebut adalah adegan minor. Dominannya tetap musikal. 

Teater of Douven | foto: Dany Oki Darmawan/ATAP
Teater of Douven | foto: Dany Oki Darmawan/ATAP

Jika seorang sutradara memilih genre/bentuk/konsep pertunjukan yang sudah mapan, maka lebih baik ia menguasai konsep-konsep dari pilihannya tersebut. Meskipun, boleh saja jika yang bersangkutan memberikan penawaran-penawaran lain, namun konsep-konsep dasarnya lebih baik dikuasai terlebih dahulu. Ada beberapa kekeliruan dan/atau kebingungan para sutradara pelajar (?) dalam menjelaskan konsep pertunjukan. 

Misalnya sutradara Senjakala Teater menyebutkan "Realis-Opera" dalam menamai konsep pertunjukannya. Namun kurang mampu mengelaborasi definisi tersebut. Bahkan secara pertunjukan, tidak menggambarkan adanya indikasi dari sebuah pertunjukan "realis" atau "opera". Contoh lain adalah ketika sutradara Teater Relief menyebut pertunjukannya sebagai Teater Realis. Padahal pertunjukannya dibuka dengan tarian & nyanyian khas Teater Musikal. Agak sulit memasukan adegan tarian & nyanyian berkelompok dalam pertunjukan realisme tanpa alasan-alasan realistis yang kuat. Teater of Douven yang justru secara adegan masih sangat realistis, namun secara dialog sudah cukup musikal. Dalam hal ini Teater of Douven & Teater Tosla memiliki problem yang sama: masih ada tarik-menarik antara Teater Musikal & Teater Realisme. Selain itu Sutradara Teater Ganar menyebut pertunjukannya tidak sepenuhnya musikal. Meskipun belum jelas musikal yang tidak penuh itu seperti apa. 

Teater Ganar | foto: Dany Oki Darmawan/ATAP
Teater Ganar | foto: Dany Oki Darmawan/ATAP

Realisme Para Remaja

Selain Teater Musikal, Teater Realisme menjadi pilihan populer selanjutnya. Ada 5 kelompok membawakan pertunjukan yang terindikasi sebagai Teater Realisme. Kelompok-kelompok tersebut antara lain adalah Teater One Mad (Ayahku Pulang karya Usmar Ismail), Teater Dua Gambir (Dukun-Dukunan karya Moliere adaptasi Puthut Buchori), Teater Reptil (Senja dengan Dua Kelelawar karya Kirdjomulyo), Teater Nibras (Nyonya-Nyonya karya Wisran Hadi), Teater Bengkel Mutu (Masa Depan Aisyah karya Umar Karya Triyono). 

Secara sederhana, Teater Realisme adalah aliran pertunjukan teater yang menampilkan ilusi realitas di atas panggung. Realitas nyata adalah acuan dalam mazhab realisme. Sebuah pertunjukan dapat dikatakan sebagai pertunjukan teater realisme jika menampilkan "sesuatu yang mungkin terjadi" dalam realitas. Meskipun kemungkinan tersebut sangat kecil, tetapi jika kemungkinan tersebut masih masuk akal/rasional/realistis, maka sesuatu tersebut dapat dikatakan sebagai indikasi teater realisme. Sesuatu yang dimaksud di sini adalah peristiwa/adegan, kostum, rias, setting, dsb. 

Selain suatu peristiwa tersebut mungkin terjadi, realisme membolehkan pula menambahkan unsur-unsur dramatis di luar realitas. Hal ini lah yang membedakan teater realisme dengan realitas nyata. Misalnya, dalam realitas sehari-hari, kita tidak menggunakan penataan cahaya atau musik untuk memberikan efek dramatis, tetapi dalam pentas teater realisme, penataan cahaya dan musik digunakan. Contoh lain, dalam realitas nyata kita tidak mengatur langkah/pergerakan untuk selalu menghadap ke satu arah dan menghindari membelakangi arah tersebut, tetapi dalam teater realisme, hal tersebut dilakukan karena kita memperhitungkan arah tersebut sebagai posisi duduk para penonton. Dua hal tersebut---sesuatu yang mungkin terjadi/realistis dan unsur-unsur dramatis---adalah kunci dari teater realisme. Tentu saja akan ada tarik-menarik negosiasi antara dua hal tersebut. 

Teater One Mad | foto: Dany Oki Darmawan/ATAP
Teater One Mad | foto: Dany Oki Darmawan/ATAP

Salah satu hal yang seringkali menjadi kecanggungan dalam pertunjukan teater realisme adalah konsep dinding keempat. Banyak sekali naskah-naskah teater realisme yang menggunakan ruang tamu/rumah sebagai setting. Jika sebuah rumah dalam realitas memiliki empat dinding, maka dalam realisme kita menghilangkan salah satu dinding untuk menjadi tempat penonton. Dinding tersebut masih tetap ada secara imajiner. Sebagai pertunjukan yang realistis, kita membayangkan dinding tersebut hadir. Dinding tersebut disebut sebagai dinding keempat. 

Sayangnya, beberapa pertunjukan tidak menganggap dinding tersebut ada. Misalnya, cukup banyak adegan yang dilakukan oleh Teater One Mad menghadap ke arah penonton. Hal tersebut tidak masuk akal, karena secara imajiner di situ ada tembok.  Kecuali jika pemerannya sedang berbicara dengan tembok. Masalah ini juga mungkin terjadi pada pertunjukan teater selain realisme yang menggunakan konsep dinding keempat.

Teater Reptil | foto: Dany Oki Darmawan/ATAP
Teater Reptil | foto: Dany Oki Darmawan/ATAP

Adegan yang realistis adalah keharusan dalam teater realisme. Adegan harus terlihat benar-benar terjadi, bukan pura-pura terjadi. Teater Dua Gambir membuat adegan kejar-kejaran di antara jemuran. Salah satu pemeran terlihat seperti bersembunyi. Pemeran lain berpura-pura tidak melihat pemeran pertama, padahal melihat. Di sinilah timbul masalah adegan yang tidak realistis. Karena masih terlihat berpura-pura. Contoh lain ada pada Teater Reptil. Secara cerita peristiwa terjadi di sekitar rel kereta api. Namun, dari segi setting belum ada indikasi yang menunjukan daerah tersebut di dekat rel kereta api. Hal tersebut berdampak pada pengolahan adegan yang tidak matang. Keluar-masuk pemain dalam adegan hanya satu garis ke kiri/kanan, tanpa membuat ruang imajiner sesuai dengan cerita. Masalah ini juga terjadi pada Teater Bengkel Mutu. 

Teater Dua Gambir | foto: Dany Oki Darmawan/ATAP
Teater Dua Gambir | foto: Dany Oki Darmawan/ATAP

Teater Realisme sangat bergantung pada setting, karena setting harus dapat memperkuat ilusi realitas yang dihadirkan. Setting yang dihadirkan oleh Teater Nibras patut diapresiasi karena terlihat memiliki pemahaman terhadap konsep realisme sugestif. Teater Nibras membangun setting tidak secara utuh, melainkan hanya membangun kerangka setting seperti kusen, tiang-tiang fondasi, garis pembatas imajiner, dst. Hal tersebut juga diikuti oleh konsistensi adegan yang membangun imajinasi ruang. Teater Dua Gambir juga membangun setting dengan konsep serupa, meskipun terdapat kekurangan. Misalnya, mereka membangun potongan pagar yang memberikan imajinasi pagar tersebut memanjang sampai mentok batas rumah. Namun, ada pemeran yang menembus pagar tersebut, menghancurkan imajinasi pagar sebelumnya.

Selain masalah-masalah spesifik yang sudah disebutkan di atas, masalah yang kerap kali muncul dalam akting teater realisme adalah gaya dialog yang mendayu-dayu dan tidak natural. Masalah ini terjadi pada hampir semua pemeran di hampir semua kelompok. Selain itu juga ada problem ketubuhan. Belum ada pemeran yang secara tubuh menjadi tokoh yang diperankan. Tubuh remaja pada tiap pemeran masih sangat kuat dan menonjol. Memang salah satu kesulitan akting dalam teater realisme adalah terlihat wajar, normal & natural.

Teater Nibras | foto: Dany Oki Darmawan/ATAP
Teater Nibras | foto: Dany Oki Darmawan/ATAP

Penawaran Konsep Lain

Ada 3 kelompok yang memiliki penawaran konsep di luar Teater Musikal dan Teater Realisme. Hal tersebut dapat diapresiasi karena membuat festival menjadi lebih kaya akan bentuk. Toh bentuk pertunjukannya dibebaskan. Selanjutnya adalah menguji apakah tawaran-tawaran tersebut berpotensi menjadi pertunjukan yang matang. Ketiga kelompok ini antara lain adalah Triple X Teater (Sidang Iblis karya H. Mochtar Sum), Teater Teduh (Wek-Wek karya Djadoeg Djajakoesoema) dan Teater Atlas (Adolescent karya Xoleil Y. Z.).

Triple X Teater dengan judul Sidang Iblis membawakan peristiwa para iblis yang sedang melakukan sidang di alam lain. Peristiwa antah-berantah tersebut dibawakan dengan menampilkan wujud setan-setan yang mainstream di imajinasi orang-orang. Menggunakan sayap, kostum berwarna merah-hitam serta tanduk. Hal tersebut sah-sah saja sebagai sebuah pilihan. Namun, konsistensi terhadap pilihan menjadi penting. Ketika memilih ruang yang antah-berantah, maka segala hal yang ada di panggung juga harus antah-berantah. Misalnya, kursi-kursi yang ada di pertunjukan ini masih menggunakan kursi sekolah. 

Triple X Teater | foto: Dany Oki Darmawan/ATAP
Triple X Teater | foto: Dany Oki Darmawan/ATAP

Sebaiknya seluruh printilan artistik yang terdapat dalam pertunjukan ini adalah sesuatu yang tidak ada di dunia nyata. Hal tersebut juga dapat diterapkan pada kostum, adegan, musik, dsb. Konsistensi dari ide sampai bentuk pertunjukan dapat melahirkan hasil yang otentik. Selain itu, hal-hal kecil seperti pemilihan warna juga perlu diperhatikan. Jika latar belakang settingnya berwarna hitam, berarti gunakan kostum dengan warna selain hitam, supaya mendapatkan penonjolan dari efek kontras warna yang dihasilkan. 

Teater Teduh dengan judul Wek-Wek karya Djadoeg Djajakoesoema membawakan cerita tokoh Bagong yang kehilangan bebek dan meminta Petruk (pekerjanya) untuk mengganti bebek tersebut. Gareng datang menengahi pertikaian mereka. Naskah ini penuh dengan simbol dan makna. Sayangnya, Teater Teduh belum mampu membawakannya dengan baik. Beberapa kursi menjadi setting utama pertunjukan. Para pemeran dirias sesuai menggunakan konsep pewayangan mengikuti penamaan tokoh dalam naskah. Mereka duduk mengucapkan dialog. Sesekali menoleh sesuai dengan dialog. Belum ada adegan yang disutradarai secara signifikan. Pertunjukan hanya tampak seperti dramatic reading. Padahal, pemeran memiliki potensi yang bisa dikembangkan lebih jauh.

Teater Teduh | foto: Dany Oki Darmawan/ATAP
Teater Teduh | foto: Dany Oki Darmawan/ATAP

Teater Atlas dengan judul Adolescent karya Xoleil Y. Z. membawakan pementasan dengan konsep "teater gagasan". Bentuk yang tampak tidak selazim bentuk-bentuk yang lain. Panggung kosong. Para pelaku (aktor/aktris) menggunakan pakaian hitam-hitam. Beramai-ramai membuat adegan-adegan dengan simbolis. Mereka membuat koreografi dengan cukup baik. Terkadang sangat terasa kesan koreografinya, kadang juga terasa acak. Namun semuanya masih terasa sebagai arahan sutradara dan/atau kesepakatan yang matang.

Model pertunjukan seperti ini memang sulit diidentifikasi hanya dari bentuknya saja. Untuk menilai lebih jauh, kita harus menelisik gagasan dan metode penciptaannya. Saya menyebutnya sebagai teater gagasan atau teater ide karena tidak berorientasi pada bentuk. Pertunjukan ini tidak berangkat dari naskah lakon yang dibuat dengan bentuk yang jelas (well made play), melainkan berangkat dari naskah yang berbentuk narasi/treatment/konsep. Naskah sama sekali tidak memberikan ciri-ciri pertunjukan. Entah naskah ini dibuat dalam produksi Teater Atlas atau bukan, tetapi terasa betul bahwa pertunjukan ini mengedepankan ide dibanding bentuk. Terlihat dari cara sutradara menjelaskan konsep pertunjukan. Penjelasannya lebih menjanjikan daripada pertunjukannya. Sutradara---yang juga adalah guru---tampak sangat menguasai konsep pertunjukan. Namun sayangnya, konsep tersebut belum terealisasi dengan baik dalam pertunjukan yang dihadirkan. Sutradara menjelaskan akan ada montase-montase pada pertunjukan. Tapi nanti. Baru sebatas janji. Jika benar begitu, mungkin konsep pertunjukan Teater Atlas mengarah pada Teater Visual. Entahlah.

Teater Atlas | foto: Dany Oki Darmawan/ATAP
Teater Atlas | foto: Dany Oki Darmawan/ATAP

Proses kreatif apalagi yang bersifat eksperimental memang tidak perlu merasa terbebani oleh mazhab-mazhab seni yang sudah mapan. Namun, karena proses kreatif tidak muncul dari ruang hampa, maka mazhab-mazhab tersebut perlu dipelajari sebagai sebuah referensi supaya dapat lebih terlihat arah pertunjukannya ke mana. Terlebih lagi, dalam hal ini pertunjukan ditampilkan dalam sebuah lomba, yang mana akan ada penilaian. Ketika sebuah pertunjukan dinilai, maka dibutuhkan dramaturgi untuk menilai. Entah itu pertunjukan Teater Musikal, Realisme, Surealisme, Absurd, Teater Visual akan dinilai menurut dramaturginya masing-masing. Oleh karena itu, dramaturgi sebuah pertunjukan yang akan dinilai harus jelas.

Tanggapan Lain

Tanggung jawab sutradara dalam pertunjukan teater sangat banyak khususnya di Indonesia. Salah satu hal yang sudah menjadi lumrah adalah sutradara dituntut bertanggung jawab atas kemampuan akting para pemainnya. Padahal sutradara bukanlah pelatih akting dan dua kemampuan tersebut memiliki kompetensi yang berbeda. Namun karena unsur utama dalam teater adalah pelakunya (aktor/aktris) di atas panggung, maka sutradara harus memiliki metode untuk meningkatkan kemampuan akting para pemainnya. Sutradara harus mampu menjadi pelatih akting. Ini membutuhkan kemampuan yang mumpuni. 

Pertanyaannya, apakah memungkinkan sutradara pelajar melakukan itu? Saya agak ragu. Karena bebannya terlalu berat untuk ukuran pelajar di sekolah umum. Beberapa sutradara pelajar terlihat terbata-bata dalam menjelaskan konsep pertunjukan. Beberapa yang lain pandai menghafal & menjelaskan konsep. Daripada memaksakan kondisi yang sulit seperti ini, lebih baik pertunjukan disutradarai langsung oleh pelatihnya dengan menyebut nama pelatihnya sebagai sutradara. Ini juga sebagai bentuk penghargaan/pengakuan hasil karya pelatih. Jika ingin melatih pelajar menjadi sutradara, dapat diberikan alternatif sebagai asisten sutradara atau stage manager.

Dany Oki Darmawan/ATAP
Dany Oki Darmawan/ATAP

Terakhir, saya menyarankan agar komunitas/kelompok teater atau gabungan antar-sekolah diperbolehkan untuk mendaftar pada Festival Teater Pelajar. Saran ini muncul karena ada beberapa kondisi riil yang membuat beberapa anak di sekolah tidak mendapatkan ruang dan/atau tidak dapat menampilkan pertunjukan dengan optimal. Beberapa faktornya antara lain:

  • Tidak ada ekstrakurikuler teater di sekolah.

  • Ekstrakurikuler Teater di sekolahnya kurang diminati sehingga tidak banyak pelajar yang ikut dan teater di sekolah tersebut tidak berkembang.

  • Tidak ada dukungan dari sekolah.

  • Dll.

Kondisi-kondisi tersebut di atas harus menemui jalan keluar. Menurut hemat saya, karena kegiatan Festival Teater Pelajar ini ada di bawah Dinas Kebudayaan, bukan Dinas Pendidikan, maka cukup masuk akal jika para seniman/komunitas teater yang memiliki anggota pelajar atau usia pelajar dapat mendaftarkan diri atas nama komunitas teater dan bukan hanya atas nama sekolah. Jadi, bukan hanya kepala sekolah yang dapat menjadi "stakeholder"/penentu, apakah pelajar bisa ikut atau tidak dalam festival; tetapi seniman/komunitas teater juga dapat menentukan karena ia bisa mendaftar atas nama komunitasnya bersama anak-anak pelajar/usia pelajar yang ada di komunitasnya. 

***

Semoga Festival Teater Pelajar dapat menjadi ruang regenerasi manusia teater yang unggul dan terbuka bagi seluruh remaja, khususnya di Jakarta!

Jakarta, 6 Juli 2024

Juri Kurasi FTP Jakarta Pusat

Muhamad Habib Koesnady

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun