Mohon tunggu...
Muhamad Habib Koesnady
Muhamad Habib Koesnady Mohon Tunggu... Guru - Pengajar Teater

Mempelajari Seni

Selanjutnya

Tutup

Seni

Catatan Kurasi Festival Teater Pelajar Jakarta Pusat tahun 2024

7 Juli 2024   02:49 Diperbarui: 7 Juli 2024   08:12 1927
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Teater of Douven | foto: Dany Oki Darmawan/ATAP

Sebaiknya seluruh printilan artistik yang terdapat dalam pertunjukan ini adalah sesuatu yang tidak ada di dunia nyata. Hal tersebut juga dapat diterapkan pada kostum, adegan, musik, dsb. Konsistensi dari ide sampai bentuk pertunjukan dapat melahirkan hasil yang otentik. Selain itu, hal-hal kecil seperti pemilihan warna juga perlu diperhatikan. Jika latar belakang settingnya berwarna hitam, berarti gunakan kostum dengan warna selain hitam, supaya mendapatkan penonjolan dari efek kontras warna yang dihasilkan. 

Teater Teduh dengan judul Wek-Wek karya Djadoeg Djajakoesoema membawakan cerita tokoh Bagong yang kehilangan bebek dan meminta Petruk (pekerjanya) untuk mengganti bebek tersebut. Gareng datang menengahi pertikaian mereka. Naskah ini penuh dengan simbol dan makna. Sayangnya, Teater Teduh belum mampu membawakannya dengan baik. Beberapa kursi menjadi setting utama pertunjukan. Para pemeran dirias sesuai menggunakan konsep pewayangan mengikuti penamaan tokoh dalam naskah. Mereka duduk mengucapkan dialog. Sesekali menoleh sesuai dengan dialog. Belum ada adegan yang disutradarai secara signifikan. Pertunjukan hanya tampak seperti dramatic reading. Padahal, pemeran memiliki potensi yang bisa dikembangkan lebih jauh.

Teater Teduh | foto: Dany Oki Darmawan/ATAP
Teater Teduh | foto: Dany Oki Darmawan/ATAP

Teater Atlas dengan judul Adolescent karya Xoleil Y. Z. membawakan pementasan dengan konsep "teater gagasan". Bentuk yang tampak tidak selazim bentuk-bentuk yang lain. Panggung kosong. Para pelaku (aktor/aktris) menggunakan pakaian hitam-hitam. Beramai-ramai membuat adegan-adegan dengan simbolis. Mereka membuat koreografi dengan cukup baik. Terkadang sangat terasa kesan koreografinya, kadang juga terasa acak. Namun semuanya masih terasa sebagai arahan sutradara dan/atau kesepakatan yang matang.

Model pertunjukan seperti ini memang sulit diidentifikasi hanya dari bentuknya saja. Untuk menilai lebih jauh, kita harus menelisik gagasan dan metode penciptaannya. Saya menyebutnya sebagai teater gagasan atau teater ide karena tidak berorientasi pada bentuk. Pertunjukan ini tidak berangkat dari naskah lakon yang dibuat dengan bentuk yang jelas (well made play), melainkan berangkat dari naskah yang berbentuk narasi/treatment/konsep. Naskah sama sekali tidak memberikan ciri-ciri pertunjukan. Entah naskah ini dibuat dalam produksi Teater Atlas atau bukan, tetapi terasa betul bahwa pertunjukan ini mengedepankan ide dibanding bentuk. Terlihat dari cara sutradara menjelaskan konsep pertunjukan. Penjelasannya lebih menjanjikan daripada pertunjukannya. Sutradara---yang juga adalah guru---tampak sangat menguasai konsep pertunjukan. Namun sayangnya, konsep tersebut belum terealisasi dengan baik dalam pertunjukan yang dihadirkan. Sutradara menjelaskan akan ada montase-montase pada pertunjukan. Tapi nanti. Baru sebatas janji. Jika benar begitu, mungkin konsep pertunjukan Teater Atlas mengarah pada Teater Visual. Entahlah.

Teater Atlas | foto: Dany Oki Darmawan/ATAP
Teater Atlas | foto: Dany Oki Darmawan/ATAP

Proses kreatif apalagi yang bersifat eksperimental memang tidak perlu merasa terbebani oleh mazhab-mazhab seni yang sudah mapan. Namun, karena proses kreatif tidak muncul dari ruang hampa, maka mazhab-mazhab tersebut perlu dipelajari sebagai sebuah referensi supaya dapat lebih terlihat arah pertunjukannya ke mana. Terlebih lagi, dalam hal ini pertunjukan ditampilkan dalam sebuah lomba, yang mana akan ada penilaian. Ketika sebuah pertunjukan dinilai, maka dibutuhkan dramaturgi untuk menilai. Entah itu pertunjukan Teater Musikal, Realisme, Surealisme, Absurd, Teater Visual akan dinilai menurut dramaturginya masing-masing. Oleh karena itu, dramaturgi sebuah pertunjukan yang akan dinilai harus jelas.

Tanggapan Lain

Tanggung jawab sutradara dalam pertunjukan teater sangat banyak khususnya di Indonesia. Salah satu hal yang sudah menjadi lumrah adalah sutradara dituntut bertanggung jawab atas kemampuan akting para pemainnya. Padahal sutradara bukanlah pelatih akting dan dua kemampuan tersebut memiliki kompetensi yang berbeda. Namun karena unsur utama dalam teater adalah pelakunya (aktor/aktris) di atas panggung, maka sutradara harus memiliki metode untuk meningkatkan kemampuan akting para pemainnya. Sutradara harus mampu menjadi pelatih akting. Ini membutuhkan kemampuan yang mumpuni. 

Pertanyaannya, apakah memungkinkan sutradara pelajar melakukan itu? Saya agak ragu. Karena bebannya terlalu berat untuk ukuran pelajar di sekolah umum. Beberapa sutradara pelajar terlihat terbata-bata dalam menjelaskan konsep pertunjukan. Beberapa yang lain pandai menghafal & menjelaskan konsep. Daripada memaksakan kondisi yang sulit seperti ini, lebih baik pertunjukan disutradarai langsung oleh pelatihnya dengan menyebut nama pelatihnya sebagai sutradara. Ini juga sebagai bentuk penghargaan/pengakuan hasil karya pelatih. Jika ingin melatih pelajar menjadi sutradara, dapat diberikan alternatif sebagai asisten sutradara atau stage manager.

Dany Oki Darmawan/ATAP
Dany Oki Darmawan/ATAP

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun