Oleh: Muhamad Habib Koesnady
Pada 21 Maret 2023, di sebuah grup WhatsApp Keluarga Mahasiswa Teater (KMT) ISBI Bandung---yang beranggotakan anggota KMT non-aktif, Christie Maria Magdalena Laloan mengajukan sebuah pernyataan menggelitik tentang lomba teater. Kalimat yang paling menohok adalah pertanyaan "seni kok dilombakan?".
Pernyataan & pertanyaan tersebut dipicu oleh publikasi program kerja pengurus KMT periode 2023-2024. Di dalam program kerja tersebut tidak ditemukan program Festival Teater Remaja (FTR), yang mana FTR adalah kegiatan lomba teater untuk anak-anak usia remaja/sekolah di Jawa Barat. FTR adalah program rutin dua tahunan KMT sejak tahun 2010 dan terhenti tahun 2020 karena pandemi.
Setidaknya ada dua alasan mengapa FTR tidak dimasukan ke dalam program rutin pengurus KMT tahun 2023-2024. Pertama, pengurus KMT memiliki target yang sifatnya internal dan mereka ingin fokus dengan target tersebut. Karena sudah lama tidak memiliki intensitas dengan KMT, saya merasa tidak terlalu layak membahas masalah pertama ini.Â
Saya lebih tertarik membahas alasan keduanya, yakni adalah karena kegiatan FTR ini harus dievaluasi secara substansial. Festival dianggap tidak sama dengan lomba, dan seni dianggap tidak dapat dilombakan. Argumen ini dinyatakan oleh Christie Maria Magdalena Laloan, alumni Jurusan Teater/anggota KMT non-aktif ISBI Bandung.
Jauh sebelum percakapan ini, beberapa tahun lalu saya & Christie pun pernah mengajukan pertanyaan yang sama. Bahkan saat pertanyaan itu diajukan, saya sedang menjadi Ketua Pelaksana FTR V tahun 2016 dan Christie menjadi salah satu tim acara sekaligus pendukung dalam pencarian dana.Â
Setelah beberapa tahun kemudian, percakapan pada grup WhatsApp KMT tersebut mengganggu pikiran saya kembali. Saya kembali bertanya, apa betul seni itu tidak bisa dilombakan? Â Kenapa tidak bisa? Apa karena tidak bisa dinilai secara objektif?
****
Salah Kaprah Definisi Festival
Argumen pertama Christie dimulai dengan menganggap penggunaan kata 'festival' adalah salah kaprah. Menurutnya festival berbeda dengan lomba dan dua kata tersebut tidak dapat dipertukarkan karena memiliki perbedaan yang spesifik. Festival bukanlah tempat untuk memperbandingkan sebuah karya dengan karya lain dengan cara menganggap yang satu lebih baik daripada yang lain, apalagi sampai dibuat pemeringkatan.
Sedangkan, lomba sebaliknya, semua karya dinilai satu persatu secara rigid dengan menggunakan mekanisme penilaian yang relatif adil. Tujuan dari lomba adalah mencari yang terbaik dari semua karya yang dilombakan. Artinya ada pemeringkatan/ranking yang memang disengaja sejak awal. Entah sejak kapan, banyak acara yang dinamai festival namun di dalamnya berisi lomba. Sebut saja Festival Teater Jakarta, Festival Film Indonesia, dst.
Festival adalah pesta (berasal dari kata festa) di mana semua karya ditampilkan tanpa ada keharusan melakukan pemeringkatan dan dengan tujuan untuk menampilkan keunikan dari tiap karya.Â
Festival yang berarti pesta memang tidak berarti lomba. Tetapi, sebetulnya tidak ada pelarangan lomba di dalam sebuah festival. Bisa saja ada sebuah lomba dalam sebuah pesta/festival. Masalahnya adalah ketika definisi festival---yang berarti pesta, direduksi hanya menjadi sekadar lomba.
Seni kok Dilombakan?
Argumen selanjutnya yang lebih substansial adalah "seni kok dilombakan?". Artinya Christie beranggapan bahwa bahwa seni tidak bisa dilombakan. Christie tidak menyarankan untuk mengubah kata "festival" dalam FTR menjadi "lomba" atau "sayembara" akan tetapi tetap melanjutkan FTR namun dengan format festival yang bukan-lomba.Â
Saya berasumsi Christie (dan beberapa teman lain) memang ingin mengganti lomba bukan karena definisinya yang kurang tepat, tetapi karena memang memiliki keyakinan bahwa seni tidak bisa dilombakan. Keyakinan tersebut yang mendorongnya mencari argumen lain untuk mendukung keyakinannya, seperti argumen tentang definisi festival.
Kemudian saya jadi bertanya, memang kalau lomba (dalam konteks seni) masalahnya di mana? Saya anggap masalah yang muncul jika seni dilombakan ada pada cara menilai/memeringkat.Â
Apakah ada dasar objektif yang dapat digunakan dalam menilai sebuah karya seni? Jika dalam pertandingan sepak bola, sudah menjadi jelas, pemenang adalah kelompok yang berhasil memasukan bola sebanyak mungkin ke gawang lawan---tentu dengan aturan main yang sudah disepakati.Â
Jika dalam lomba lari, pelari tercepat sampai di garis finish adalah pelari terbaik. Semua aturan disepakati lalu, dengan mata telanjang kita bisa melihat secara gamblang siapa yang lebih baik dari siapa. Semua relatif pasti. Lalu bagaimana perlombaan dalam seni?
Terlebih lagi sangat sulit menemukan ukuran pasti dari seni teater. Sebagai pembanding, dalam menilai musik, penilaian pertama kali yang dilakukan adalah pernilaian terhadap benar-salah sebuah nada/suara.Â
Kita tahu nada/suara adalah fisika---memiliki ukuran-ukuran pasti. Kord C berada dalam frekuensi 261.63 Hz. Setelah secara fisika nada tersebut benar, maka barulah masuk pada penilaian musik sebagai seni.
Dalam konteks teater, sulit menemukan dasar kebenaran objektif seperti pada musik. Sejak awal, teater tidak memiliki hal yang bersifat matematis, tidak ada yang bisa dihitung secara pasti. Jika dicari-cari unsur eksak dalam teater tentu saja ada. Misalnya ilmu biologi dalam studi ketubuhan pemeran. Tetapi tidak lantas menjadikannya sebagai basis kebenaran dalam teater. Tidak menjadi hakikat teater itu sendiri.
Kalau begitu, artinya teater tidak dapat dilombakan dong?
Teater: Realitas Subjektif atau Intersubjektif?
Teater tidak hadir dalam realitas objektif seperti ilmu-ilmu eksak. Tidak ada kebenaran tunggal (objektif) dalam teater. Sebagai pelaku teater, kita dapat merumuskan teater versi kita sendiri. Bahkan dengan mengabaikan sama sekali teater yang dirumuskan oleh para ahli teater terdahulu.Â
Hal tersebut tidak mungkin terjadi pada ilmu-ilmu yang ada dalam realitas objektif seperti ilmu biologi. Jika seorang ahli biologi ingin merumuskan sesuatu, maka ia harus bersandar pada objek ilmiah dalam ilmu biologi.
Rumus-rumus teater yang saya maksud tadi lebih cocok disebut sebagai realitas subjektif dibanding realitas objektif. Realitas subjektif berkaitan dengan persepsi kita terhadap suatu objek.Â
Penekanannya ada pada persepsi, bukan pada objek. Rumusan-rumusan teater adalah contoh dari persepsi kita terhadap teater sebagai objek. Realitas ini tidak dapat diukur secara pasti karena ada dalam rumusan/konsep masing-masing individu. Dalam realitas objektif, penilaian/pengamatan didasarkan pada objek yang dinilai, sedangkan dalam realitas subjektif penilaian didasarkan pada subjek yang menilai.
Sebagai contoh, sejarah peradaban teater sejak zaman Yunani Kuno sampai hari ini selalu dipenuhi dengan interupsi-interupsi ide dan pencarian yang terus menerus membaru, menyesuaikan dengan zamannya. Kadang pendapat-pendapat tersebut saling mendukung, namun tak jarang pula pendapat satu melawan bahkan menegasi pendapat yang lain.Â
Pendapat baru dalam bidang teater tidak otomatis membatalkan pendapat sebelumnya karena dimungkinkan tiap pendapat memiliki dasar argumentasinya sendiri. Diskursus lah yang akan menentukan pendapat tersebut hanya akan menjadi pendapat individu yang sangat personal, atau dapat menjadi "ilmu baru" teater dalam kerangka realitas subjektif.
Misalnya, di zaman Yunani Kuno, Aristoteles merumuskan teori tentang konstruksi dramatik berdasarkan naskah-naskah besar di zaman itu. Konstruksi dramatik menurut Aristoteles adalah: 1. Protasis; 2. Epitasio; 3. Catastasis; & 4. Catastrophe. Sedangkan, dramatic action menurut Gustav Freytag (1816-1985) di zaman modern adalah: 1. Exposition; 2. Complication; 3. Climax; 4. Resolution; 5. Conclution; 6. Catastrophe; & 7. Denounment. Brander Mathews (1852-1929) punya pendapat yang lain lagi. Lalu, mana yang betul mana yang salah? Naskah dengan struktur dramatik yang manakah yang lebih baik?
Misalnya lagi, dalam babak teater realisme yang mulai berkembang di Eropa tahun 1850-an, muncul sebuah bentuk drama yang diperkenalkan sebagai Well made play (drama yang dibuat dengan baik).Â
Tokoh utama dari drama ini adalah Eugene Scribe (1791-1861) yang telah menulis lebih dari 400 drama. Ciri-ciri Well made play adalah: 1. Penggambaran karakter & situasi yang jelas; 2. Perkembangan kejadian yang diatur secermat-cermatnya; 3. Penuh kejutan-kejutan yang logis; 4. Penuh suspense/ketegangan; 5. Kesimpulan akhir yang masuk akal dan dapat dipercaya.
Di zaman itu, drama baru dapat dikatakan bagus, jika memenuhi syarat-syarat tersebut. Akan tetapi, sekitar lima puluh tahun kemudian terjadi pemberontakan terhadap aliran realisme. Misalnya, aliran simbolisme yang menguat pada tahun 1900 tidak memercayai panca-indera dan pemikiran rasional seperti yang dipercaya oleh penganut realisme.
Contoh lain di bidang pemeranan misalnya, Konstantin Stanislavski (1863-1938) seorang sutradara Rusia yang mengembangkan teknik peran realisme berdasarkan naskah-naskah yang ditulis Anton Chekhov. Ia mengembangkan teknik peran dengan asumsi bahwa aktor di atas panggung harus berperan menjadi sesosok tokoh yang utuh. Seperti menjadi manusia yang benar-benar hidup dalam peristiwa-peristiwa naskah.Â
Bandingkan dengan teknik alienasi (verfremdungseffekt) yang merupakan bagian dari metode acting Bertolt Brecht (1898-1956) di mana pemeran dalam mewujudkan tokoh hanyalah "seolah-olah menjadi tokoh". Bukan menjadi tokoh yang benar-benar utuh seperti pada teknik peran yang dikembangkan Stanislavski.
Dari beberapa contoh yang coba saya berikan, membuktikan bahwa membutuhkan pisau bedah penilaian yang jelas dalam melihat sebuah pertunjukan teater. Orang yang memuja Stanislavski akan menganggap acting ala Brecht, Antonin Artaud, Arifin C. Noer atau Putu Wijaya adalah acting yang buruk. Pun sebaliknya.
Namun, hal tersebut masih mending karena masih mengacu pada tokoh-tokoh teater besar di dunia atau di Indonesia. Diasumsikan pendapat tokoh-tokoh tersebut dapat dianggap sebagai "ilmu teater" dalam konteks intersubjektif tadi.Â
Sesuatu yang diyakini sebagai sebuah sumber kebenaran bersama dalam ekosistem teater yang lebih besar. Lebih repot lagi, jika yang menilai sebuah karya memiliki metode sendiri dalam menilai dan menganggap dirinya sebagai sumber kebenaran. Tetapi masih mending juga jika yang menilai masih memiliki metode dalam menilai, karena yang paling repot adalah yang menilai berdasarkan intuisinya sahaja.
Berdasarkan uraian di atas, artinya semakin mengokohkan pendapat Christie bahwa teater memang tidak bisa dilombakan karena tidak dapat dilakukan pemeringkatan yang benar-benar adil di dalam teater. Pada titik ini saya setuju bahwa teater tidak dapat dilombakan karena akan terdapat problem dalam membuat pemeringkatan teater. Tetapi saya tidak sependapat bahwa teater tidak dapat dinilai sama sekali. Nilai yang maksud di sini adalah nilai-score bukan nilai-value.
Kalau penilaian dianggap tidak adil ketika suatu bentuk pertunjukan diperbandingkan dengan bentuk pertunjukan lain, maka kriteria penilaian/lombanya yang mesti dibuat supaya ada dalam koridor penilaian yang sama. Dalam konteks ini saya masih coba percaya dengan nilai (maksudnya score, bukan value).
Jika ada koridor penilaian yang jelas, artinya setiap peserta lomba membuat karya yang sebaik mungkin berdasarkan koridor penilaian tersebut. Peserta akan melakukan idealisasi karya karena ada semacam kesepakatan bersama tentang apa yang dianggap benar dalam satu (mazhab/gaya/aliran/genre) seni yang diperlombakan. Sebut saja "mazhab panitia/mazhab penyelenggara".Â
Dengan begitu, hierarki/pemeringkatan (level skill) dalam karya tersebut masih bisa diukur. Meskipun tidak mutlak, tetapi masih tetap bisa dilombakan. Ini disebut intersubjektif, di mana kebenaran bersandar pada kesepakatan bersama terhadap suatu nilai. Dalam hal ini kriteria penilaian atau "mazhab penyelenggara".
Sebelumnya saya sebutkan bahwa saya masih percaya pada nilai-score. Karena jika tidak percaya kepada nilai-score dalam seni, maka yang harus diinterupsi pertama kali bukanlah festival seni tetapi sistem pendidikan seni yang masih menggunakan nilai-score dalam menilai seni. Menegasi nilai-score dalam seni sama dengan tidak menyepakati kehadiran sekolah seni yang masih menggunakan score dalam menilai karya-belajar para mahasiswa/peserta didik. Agak paradoks jika akademisi seni tidak memercayai nilai-score dalam seni. Toh nilai-score dalam seni digunakan untuk menilai suatu karya berdasarkan "ilmu seni" dalam konteks intersubjektif tadi.
Penilaian Karya Seni dalam Lomba
Sebuah festival teater diselenggarakan tentu saja memiliki kepentingan di dalamnya. Organisasi/Lembaga penyelenggara festival teater harus merumuskan secara detil, apa saja kepentingan tersebut dalam bentuk visi & misi (intersubjektif) atau apapun itu. Berdasarkan visi-misi tersebut, penyelenggara harus dapat membuat indikator penilaian yang dapat dijadikan acuan dalam menilai karya pada festival tersebut. Menilai dengan menguraikan value ataupun menilai dalam kerangka score/pemeringkatan pada lomba.
Dalam sebuah perlombaan seni dipilih beberapa orang juri yang dipercaya dapat merepresentasikan kepentingan penyelenggara pada bidang penilaian. Sebagai subjek penilai yang menentukan pemenang dan pemeringkatan karya, juri harus betul-betul memahami visi-misi festival/lomba dan menggunakan indikator yang dibuat oleh penyelenggara festival/lomba sebagai tolok ukur dalam menentukan benar/salah, baik/buruk dalam menilai karya peserta lomba.
Otomatis, juri harus punya kompetensi sebagai kritikus supaya mampu menguraikan sebuah pertunjukan teater secara telaten. Juri harus mampu menjelaskan karya pemenang berdasarkan kriteria yang telah dibuat oleh penyelenggara, bukan hanya berdasarkan pendapat juri yang sporadis. Jika tidak, festival/lomba teater hanya akan jadi ajang untuk tebak-tebakan selera juri. Jika itu yang terjadi, saya akan menyarankan kepada KMT untuk mengganti nama festivalnya menjadi: Festival Tebak-Tebakan Selera Juri Teater.
Teater, teater apa yang bagus hayoo?
Jakarta, 5 Juni 2023
Muhamad Habib Koesnady
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H