Misalnya, di zaman Yunani Kuno, Aristoteles merumuskan teori tentang konstruksi dramatik berdasarkan naskah-naskah besar di zaman itu. Konstruksi dramatik menurut Aristoteles adalah: 1. Protasis; 2. Epitasio; 3. Catastasis; & 4. Catastrophe. Sedangkan, dramatic action menurut Gustav Freytag (1816-1985) di zaman modern adalah: 1. Exposition; 2. Complication; 3. Climax; 4. Resolution; 5. Conclution; 6. Catastrophe; & 7. Denounment. Brander Mathews (1852-1929) punya pendapat yang lain lagi. Lalu, mana yang betul mana yang salah? Naskah dengan struktur dramatik yang manakah yang lebih baik?
Misalnya lagi, dalam babak teater realisme yang mulai berkembang di Eropa tahun 1850-an, muncul sebuah bentuk drama yang diperkenalkan sebagai Well made play (drama yang dibuat dengan baik).Â
Tokoh utama dari drama ini adalah Eugene Scribe (1791-1861) yang telah menulis lebih dari 400 drama. Ciri-ciri Well made play adalah: 1. Penggambaran karakter & situasi yang jelas; 2. Perkembangan kejadian yang diatur secermat-cermatnya; 3. Penuh kejutan-kejutan yang logis; 4. Penuh suspense/ketegangan; 5. Kesimpulan akhir yang masuk akal dan dapat dipercaya.
Di zaman itu, drama baru dapat dikatakan bagus, jika memenuhi syarat-syarat tersebut. Akan tetapi, sekitar lima puluh tahun kemudian terjadi pemberontakan terhadap aliran realisme. Misalnya, aliran simbolisme yang menguat pada tahun 1900 tidak memercayai panca-indera dan pemikiran rasional seperti yang dipercaya oleh penganut realisme.
Contoh lain di bidang pemeranan misalnya, Konstantin Stanislavski (1863-1938) seorang sutradara Rusia yang mengembangkan teknik peran realisme berdasarkan naskah-naskah yang ditulis Anton Chekhov. Ia mengembangkan teknik peran dengan asumsi bahwa aktor di atas panggung harus berperan menjadi sesosok tokoh yang utuh. Seperti menjadi manusia yang benar-benar hidup dalam peristiwa-peristiwa naskah.Â
Bandingkan dengan teknik alienasi (verfremdungseffekt) yang merupakan bagian dari metode acting Bertolt Brecht (1898-1956) di mana pemeran dalam mewujudkan tokoh hanyalah "seolah-olah menjadi tokoh". Bukan menjadi tokoh yang benar-benar utuh seperti pada teknik peran yang dikembangkan Stanislavski.
Dari beberapa contoh yang coba saya berikan, membuktikan bahwa membutuhkan pisau bedah penilaian yang jelas dalam melihat sebuah pertunjukan teater. Orang yang memuja Stanislavski akan menganggap acting ala Brecht, Antonin Artaud, Arifin C. Noer atau Putu Wijaya adalah acting yang buruk. Pun sebaliknya.
Namun, hal tersebut masih mending karena masih mengacu pada tokoh-tokoh teater besar di dunia atau di Indonesia. Diasumsikan pendapat tokoh-tokoh tersebut dapat dianggap sebagai "ilmu teater" dalam konteks intersubjektif tadi.Â
Sesuatu yang diyakini sebagai sebuah sumber kebenaran bersama dalam ekosistem teater yang lebih besar. Lebih repot lagi, jika yang menilai sebuah karya memiliki metode sendiri dalam menilai dan menganggap dirinya sebagai sumber kebenaran. Tetapi masih mending juga jika yang menilai masih memiliki metode dalam menilai, karena yang paling repot adalah yang menilai berdasarkan intuisinya sahaja.