Berdasarkan uraian di atas, artinya semakin mengokohkan pendapat Christie bahwa teater memang tidak bisa dilombakan karena tidak dapat dilakukan pemeringkatan yang benar-benar adil di dalam teater. Pada titik ini saya setuju bahwa teater tidak dapat dilombakan karena akan terdapat problem dalam membuat pemeringkatan teater. Tetapi saya tidak sependapat bahwa teater tidak dapat dinilai sama sekali. Nilai yang maksud di sini adalah nilai-score bukan nilai-value.
Kalau penilaian dianggap tidak adil ketika suatu bentuk pertunjukan diperbandingkan dengan bentuk pertunjukan lain, maka kriteria penilaian/lombanya yang mesti dibuat supaya ada dalam koridor penilaian yang sama. Dalam konteks ini saya masih coba percaya dengan nilai (maksudnya score, bukan value).
Jika ada koridor penilaian yang jelas, artinya setiap peserta lomba membuat karya yang sebaik mungkin berdasarkan koridor penilaian tersebut. Peserta akan melakukan idealisasi karya karena ada semacam kesepakatan bersama tentang apa yang dianggap benar dalam satu (mazhab/gaya/aliran/genre) seni yang diperlombakan. Sebut saja "mazhab panitia/mazhab penyelenggara".Â
Dengan begitu, hierarki/pemeringkatan (level skill) dalam karya tersebut masih bisa diukur. Meskipun tidak mutlak, tetapi masih tetap bisa dilombakan. Ini disebut intersubjektif, di mana kebenaran bersandar pada kesepakatan bersama terhadap suatu nilai. Dalam hal ini kriteria penilaian atau "mazhab penyelenggara".
Sebelumnya saya sebutkan bahwa saya masih percaya pada nilai-score. Karena jika tidak percaya kepada nilai-score dalam seni, maka yang harus diinterupsi pertama kali bukanlah festival seni tetapi sistem pendidikan seni yang masih menggunakan nilai-score dalam menilai seni. Menegasi nilai-score dalam seni sama dengan tidak menyepakati kehadiran sekolah seni yang masih menggunakan score dalam menilai karya-belajar para mahasiswa/peserta didik. Agak paradoks jika akademisi seni tidak memercayai nilai-score dalam seni. Toh nilai-score dalam seni digunakan untuk menilai suatu karya berdasarkan "ilmu seni" dalam konteks intersubjektif tadi.
Penilaian Karya Seni dalam Lomba
Sebuah festival teater diselenggarakan tentu saja memiliki kepentingan di dalamnya. Organisasi/Lembaga penyelenggara festival teater harus merumuskan secara detil, apa saja kepentingan tersebut dalam bentuk visi & misi (intersubjektif) atau apapun itu. Berdasarkan visi-misi tersebut, penyelenggara harus dapat membuat indikator penilaian yang dapat dijadikan acuan dalam menilai karya pada festival tersebut. Menilai dengan menguraikan value ataupun menilai dalam kerangka score/pemeringkatan pada lomba.
Dalam sebuah perlombaan seni dipilih beberapa orang juri yang dipercaya dapat merepresentasikan kepentingan penyelenggara pada bidang penilaian. Sebagai subjek penilai yang menentukan pemenang dan pemeringkatan karya, juri harus betul-betul memahami visi-misi festival/lomba dan menggunakan indikator yang dibuat oleh penyelenggara festival/lomba sebagai tolok ukur dalam menentukan benar/salah, baik/buruk dalam menilai karya peserta lomba.
Otomatis, juri harus punya kompetensi sebagai kritikus supaya mampu menguraikan sebuah pertunjukan teater secara telaten. Juri harus mampu menjelaskan karya pemenang berdasarkan kriteria yang telah dibuat oleh penyelenggara, bukan hanya berdasarkan pendapat juri yang sporadis. Jika tidak, festival/lomba teater hanya akan jadi ajang untuk tebak-tebakan selera juri. Jika itu yang terjadi, saya akan menyarankan kepada KMT untuk mengganti nama festivalnya menjadi: Festival Tebak-Tebakan Selera Juri Teater.
Teater, teater apa yang bagus hayoo?
Jakarta, 5 Juni 2023